Setelah kru jolor memeriksa dan memasang dua mata pancing serta pemberat timah saya pun melepas pancing yang telah dijejali irisan daging ikan tongkol sebagai umpan. Langit semakin terang. Cuaca semakin bersahabat. Pemandangan sangat indah malam itu. Saya termangu memandang bulan penuh yang mulai bergerak perlahan mendekati ke garis vertikal sementara tangan kanan tetap menarik tali pancing.
Tidak sampai sepuluh menit setelah Haji Ashar melepas pancingnya, dua ekor ikan kakap seukuran telapak tangan telah hinggap di geladak. Dia berteriak kegirangan. Berhasil. Pancing mulai berpesta. Saya melepas senyum yang lain ikut tertawa. Tidak lama setelah itu Herman di samping saya, menunjukkan gelagat sedang di dekati ikan. Hingga beberapa saat, di mata pancingnya kini tergantung ikan yang sangat besar kira-kira seukuran 30 centimeter. Saya terkagum-kagum. Perairan di sini rupanya dikaruniai ikan yang doyan mata pancing.
Setelah Herman, lalu Pak Ruslan walau ukurannya masih terlihat persis hasil tangkapan ikan Pak Haji. Setelah itu Herman lagi, lalu pak Haji, lalu pak Ruslan. Saya mulai gelisah. “Ah saya kan memang tidak terlalu berniat untuk memancing” Ada yang membela dari dalam.
Hingga hampir sejam di titik itu, yang lain telah mengumpulkan 50an ikan besar dan kecil, namun saya masih nihil. “Saya harus dapat, malu jika pulang tanpa hasil”. Hingga tiba-tiba tali di genggaman saya terasa berat seperti hendak mengiris telunjuk. “Wah ikankah?” Batinku.
Saya lalu menyentakkan tali pancing dan terasa semakin berat. Perlahan saya tarik lalu meletakkan gulungan tali di kaki dan mulai menarik perlahan namun tetap mengatus tali di genggaman. Setelah dibantu oleh salah seorang kru kapal akhirnya, seekor ikan kakap merah sepanjang 25 centimeter juga menggantung di mata pancing saya.
“Yippieeee…” Saya dapat! Teriakku pada yang lain, pada pak Ruslan, Haji dan semua yang ada di atas jolor. Ikan kakap merah lumayan besar (paling tidak membandingkannya dengan yang lain), ikan merah bermulut lebar. Suasana semakin pikuk ketika satu persatu kawan di atas perahu bergantian menarik pancing dengan ikan yang berontak.
Saya yang awalnya tidak berniat memancing lalu setelah mendapat seekor ikan kakap besar mulai menebar senyum. “Foto dong” kataku pada Linda dan Evi. Tidak afdol rasanya memancing ikan mendekati 3 kilo tanpa difoto. Puas rasanya, saat ada yang mematuk dan menarik tali pancing lalu berhasil kita eksekusi. Pada kedalaman sekitar 20 meter itu, tangan kami mesti lincah untuk menggulung atau mengulur tali pancing sebab jika tidak, pasti akan kusut.
Kelabakan
Perairan Jammeng, teduh dan datar sementara kami seperti sekumpulan penarik tali timba sumur. Tangan tak henti menarik pancing. Ruslan yang saat jeda selalu mengisap rokok pun kelabakan saat lagi mengisap kemudian ikan telah menggelantung di pancingnya. Sontak dia harus enyahkan rokok dan berjibaku dengan tali pancing.
Haji Ashar juga demikian, posisinya yang duduk santai di penyangga jolor seperti tak pernah usai menarik pancing modernnya. Mereka kelimpulangan. Rokok, isapan, pancing dan tarikannya telah menyatu, ikan telah menyatu di bak penampungan yang telah disiapkan di kapal.
Malam yang mendebarkan sekaligus mengasikkan. Saya yang sebenarnya tidak terlalu tertarik memancing mulai merasakan sensasinya. Sungguh nikmat saat ikan bermain dan mematuk umpan di ujung pancing.