Mohon tunggu...
daeng enal
daeng enal Mohon Tunggu... profesional -

I'm a blogger

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Melestarikan "Local Wisdom" di Era Digital

29 Oktober 2014   18:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   19:17 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di dalam buku tulisan kluckhohn berjudul Universal Categories Of Culture ( 1953 ), membahas kerangka-kerangka kebudayaan yang kemudian dijadikan kerangka umum. Berdasarkan itu pulalah Koentjaraningrat memaparkan 7 ( tujuh ) unsur kebudayaan, diantaranya (1) sistem religi yang meliputi sistem kepercayaan, nilai dan pandangan hidup serta komunikasi keagamaan dan upacara keagamaan, (2) sistem kemasyarakatan yang meliputi kekerabatan dan sistem kenegaraan, (3) sistem pengetahuan yang meliputi pengetahuan tentang flora dan fauna, waktu, ruang, bilangan dan perilaku manusia. (4) Bahasa yaitu alat berbentuk komunikasi, baik lisan maupun tulisan, (5) kesenian meliputi seni pahat, relief, vokal, musik dan kesusastraan, (6) sistem ekonomi yang meliputi berburu, bercocok tanam, peternakan (7) sistem peralatan hidup yang meliputi tempat berlindung, perumahan, pakaian dan peralatan konsumsi.

Ketujuh unsur kebudayaan yang dikelompokkan Koentjaraningrat ini, kadang disederhanakan dengan istilah: kearifan lokal atau local wisdom. Kearifan lokal adalah nilai-nilai yang berlangsung turun temurun atau men-tradisi dikalangan masyarakat sebagai akibat dari adanya interaksi atau hubungan antara manusia dengan lingkungannya.

Seluruh daerah di Indonesia mempunyai kebudayaan, dan kearifan lokal-nya masing-masing. Seperti contoh di Bali dengan tradisi Ngaben-nya, Bau Nyale atau berburu cacing laut di Lombok NTB, Rambu Solo di Tana Toraja serta tradisi pesta panen Mappogau Hanua di Karampuang, Desa Tompobulu, Kecamatan Bulupoddo, Kabupaten Sinjai. Ketiga contoh tradisi budaya tersebut bisa terlaksana dan bertahan hingga saat ini karena adanya nilai kebersamaan dan interaksi yang terjalin sesama pendukung kebudayaan ini.

Di Karampuang, Sinjai misalnya. Kendati hanyalah sebuah dusun kecil dengan jumlah penduduk sekira 400 jiwa lebih, namun kekayaan seni dan budaya yang mereka miliki masih terjaga dari generasi ke generasi. Pranata atau sistem norma dan aturan-aturan khusus di dalam kampung tradisional Karampuang, juga sangat majemuk. Bukan hanya pranata tidak tertulis ( hukum adat ) yang dimiliki karampuang, namun pranata dalam bentuk tulisan juga bisa kita jumpai.

Dalam kawasan adat karampuang, unsur kebudayaan sistem religi dapat kita saksikan pada acara ritual adat yang tetap berlangsung intensif dengan memanfaatkan benda-benda megalit dan merupakan bukti kuat betapa penganut kepercayaan kepada leluhurnya begitu kuat. Bahkan sebagian besar tingkah laku, pola hidup dan pola pikirannya tetap berhubungan dengan leluhurnya. Ritual adat ini dapat kita saksikan saat pelaksanaan pesta adat Mappugau Hanua atau pesta kampung, yang dilaksanakan setiap bulan Oktober atau Nopember tahun berjalan.

Perangkat-perangkat adat Karampuang berhubungan dengan leluhurnya melalui ritual suci yang dilakukan pada setiap tradisi Mappogau Hanua digelar. Namun bagi anggota masyarakat yang bermukim diluar kawasan adat, perangkat adat Karampuang memberikan kesempatan kepada mereka untuk terlibat dan menyaksikan.

Dari Batu Gong ke Handphone

Pada zaman dahulu, perangkat adat atau tetua adat Karampuang memiliki cara tersendiri ketika Mappogau Hanua akan digelar. Untuk terhubung dengan warga pendukung adat Karampuang yang bermukim agak jauh dari kawasan adat, maka tetua adat yakni Sanro menggunakan media berupa batu besar. Batu ini dinamakan: Batu Gong. Dinamakan seperti itu karena memang bunyinya seperti gong ketika dipukul oleh Sanro. Batu gong tersebut masih dapat kita saksikan hingga saat ini.

Sekilas bila melihat Batu Gong, tidak ada bedanya dengan batu biasa. Namun kedalaman ilmu yang dimiliki oleh Sanro, membuat batu yang terlihat biasa tersebut bunyinya seperti gong dan bisa didengar oleh warga pendukung adat Karampuang meski bermukim agak jauh dari kawasan adat.

Dengan Batu Gong, perangkat-perangkat adat Karampuang mampu ter-koneksi atau berhubungan dengan dunia luar atau ber-interaksi dengan masyarakat lain saat pesta adat Mappogau Hanua digelar. Dengan Batu Gong, masyarakat adat Karampuang memberi kesempatan masyarakat pendukung tradisi ini menyaksikan kearifan lokal yang mereka lakukan selama pesta adat Mappogau Hanua.

Dalam konteks kekinian, tentu lahir pertanyaan: masih-kah tradisi dan kearifan lokal di kampung bernama Karampuang tetap terjaga ?. Jawabannya: Ya. Mappogau Hanua atau pesta kampung yang dilaksanakan sebagai ungkapan rasa syukur atas hasil panen yang melimpah di kampung Karampuang, adalah salah satu tradisi tahunan di Sulawesi Selatan yang tetap konsisten dilaksanakan oleh masyarakat adat Karampuang.

Sedikit-pun tidak terjadi pergeseran atau perubahan pada tahapan-tahapan pelaksanaan pesta adatnya. Begitu pula 2 (dua) rumah adat-nya yang masih berdiri kokoh hingga saat ini dan menjadi pusat aktivitas perangkat serta tetua adat-nya. Yang mengalami perubahan hanyalah pada media komunikasi yang digunakan untuk menyampaikan pesan pelaksanaan Mappogau Hanua.

Bila pada zaman dahulu Batu Gong menjadi satu-satunya alat bagi perangkat adat untuk mengundang dan memberi informasi terkait pelaksanaan pesta adat, maka di era digital saat ini, semua perangkat teknologi informasi dan komunikasi dijadikan media penyampai atau penyambung informasi. Misalnya saja penggunaan telepon seluler atau handphone. Pemanfaatannya tentu saja bukan oleh tetua adat (yang memang berpantang menggunakan teknologi). Namun oleh generasi-generasi muda-nya yang merupakan keturunan dari pendukung kebudayaan di Karampuang.

Generasi muda, keturunan dari pendukung adat Karampuang inilah yang memanfaatkan perangkat-perangkat teknologi untuk berhubungan satu sama lain. Bukan hanya handphone atau smartphone, media sosial pun mereka gunakan untuk sekadar menyampaikan pesan kepada kerabat mereka yang sudah ada di rantau bahwa pesta adat akan segera digelar. Wajar: karena mereka hidup di zaman digital.

Mengundang warga dengan batu gong, menyambut tamu dengan bebunyian gendang dan tumbukan lesung atau Mappadekko, mengolah hasil panen untuk dinikmati seluruh warga kampung, hingga ritual ke makam leluhur mereka di bukit Karampuang: adalah tahapan-tahapan dari tradisi ini yang tetap terjaga dan tidak tergerus oleh zaman digital. Mereka saling terhubung atau berinteraksi dengan cara yang sudah men-tradisi. Generasi mereka yang hidup di zaman digital juga menggunakan cara mereka sendiri: ala dunia digital. Semua saling mendukung demi terawat dan lestari-nya kearifan lokal di Karampuang.

@zainalabidinku

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun