Mohon tunggu...
Muhammad Nur Abdurrahman
Muhammad Nur Abdurrahman Mohon Tunggu... -

alumni Ilmu Politik, Universitas Hasanuddin, Makasssar. Hobi menulis, traveling dan fotografi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Ketika Pemilik Media Berpolitik, Pada Siapa Wartawannya Mengabdi?

21 Maret 2014   00:41 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:41 689
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Ketika Pemilik Media Berpolitik, Pada Siapa Wartawannya Mengabdi?

Tahun 2014 adalah tahun politik bagi bangsa Indonesia. Dari bejubel warga yang berkecimpung di dunia politik, termasuklah beberapa pemilik media, seperti Ketua Umum Golkar Aburizal Bakrie yang menguasai dua televisi nasional, TVOne dan Anteve, ada juga Dahlan Iskan, peserta konvensi Capres Partai Demokrat bos jaringan suratkabar Jawa Pos Group, serta Surya Paloh, Ketua Umum Partai Demokrat yang juga pemilik MetroTV dan koran Media Indonesia. Dan nama yang terakhir: Hary Tanoesoedibjo, Ketua Dewan Pembina Partai Hanura, pemilik MNC Group yang terdiri tiga televisi nasional: RCTI, GlobalTV dan MNC. Serta koran Sindo dan SindoRadio.

Pertanyaannya kemudian, pada siapakah wartawan yang bekerja di media-media milik para politisi tersebut mengabdi? Apakah wartawan mengabdi pada pemilik media ataukah publik?

Pada tataran ideal, tentu wartawan harus mengabdi pada publik. Seperti yang disebutkan dalam salah satu dari sembilan elemen jurnalisme yang telah dipakemkan dua pemikir bidang jurnalistik: Bill Kovach dan Tom Rosenstiel, yang menyebutkan loyalitas pertama jurnalisme kepada warga.

Dalam prakteknya, wartawan yang medianya dimiliki politisi, otomatis diwajibkan mendukung segala tindak-tanduk atasannya yang berkaitan dengan aktivitas politiknya. Hal tersebut cenderung dengan dalih hierarki jabatan atau loyalitas bawahan pada atasan.

Nick Clooney, mantan penyiar berita di Los Angeles, menyebutkan dirinya selalu bekerja untuk orang-orang yang menyetel pesawat televisi di rumahnya. Nick selalu menyampaikan sikap pada seluruh atasannya, bahwa meskipun digaji oleh bosnya, loyalitasnya tetap pada para pemirsanya. Bahkan, pemilik Washington Post, Eugene Meyer, pernah menyatakan: "dalam mengejar kebenaran, medianya siap mengorbankan keuntungan materi, dalam situasi demikian diperlukan untuk kemaslahatan publik".

Kita menoleh sesaat apa yang terjadi di media-media yang dikuasai politisi. Dalam liputan kampanye, Metro TV selalu memprioritaskan kegiatan Partai Nasdem di pelbagai daerah. Surya Paloh diposisikan seperti Pemimpin Besar yang jago membakar semangat warga di setiap pidatonya. Demikian pula Koran Sindo, yang setiap kesempatan selalu menyanjung Hary Tanoe sebagai tokoh panutan dan harapan publik, demi meningkatkan popularitas bosnya dan elektabilitas partainya.

Sementara Dahlan Iskan, yang menguasai sekitar 140 media massa yang tersebar di seluruh penjuru nusantara, dalam momen roadshow Konvensi Capres Demokrat, beberapa wartawannya dikerahkan sebagai tim sukses yang mengurusi segala tetek-bengek, yang sedang dilakoni bosnya. Di salah satu gedung kantor media lokal Dahlan, terpampang layar videotron raksasa yang menampilkan slide-show foto-foto Dahlan yang didesain sedemikian rupa Dahlan yang juga bekas wartawan yang kini menjabat menteri sedang dielu-elukan warga. Sosok Dahlan di Amerika Serikat seperti Gannet yang menguasai 90 media massa di Amerika Serikat.

Ketika para jurnalis sudah dikungkung dan berubah menjadi kelompok partisan, maka warga akan ragu dengan profesi jurnalis sebagai agen pencari kebenaran. Seorang jurnalis harus sadar akan kewajiban sosialnya sebagai pengabdi publik. Ia dapat sewaktu-waktu menyatakan ketidaksepakatannya pada atasannya ketika dihadapkan pada persoalan publik.

Adolph Ochs, pemilik New York Times pernah menyatakan: sebuah media harus memberitakan berita yang tak berpihak, tanpa ada rasa takut atau berat sebelah, tanpa memandang partai, sekte atau kepentingan pihak lain yang terlibat.

Seperti halnya dengan kode etik perkumpulan editor suratkabar di Amerika Serikat yang menyebutkan nilai independensi adalah bebas dari semua kewajiban, kecuali setia pada kepentingan publik. Dari pernyataan tersebut, media harus punya nilai integritas di tengah-tengah masyarakat.

Dewan Pers berpendapat, sebagaimana diberitakan di koran Kompas (19/3), sejumlah media massa menjurus jadi pers partisan. Partai juga dinilai menggunakan siaran jurnalistik untuk kampanye. Proporsi pemberitaan parpol, caleg atau peserta Pemilu tidak seimbang menurut Ketua Dewan Pers Bagir Manan, menunjukkan betapa tidak demokratisnya media massa. Bagir mengimbau politisi yang memiliki perusahaan media untuk tetap adil saat memberitakan partai lain. Praktisi jurnalistik, perusahaan media, pemilik, pemimpin redaksi dan wartawan harus menerapkan kode etik jurnalistik, yakni harus berimbang dan independen, tanpa adanya intervensi di ruang redaksi.

Sebagai alternatif, bilamana para wartawan media mainstream sudah "terkontaminasi" kepentingan pihak tertentu, maka warga akan bergerak membentuk medianya sendiri, atau kini dikenal Jurnalisme Warga. Fenomena ini seperti halnya ketika terjadi aksi main hakim sendiri oleh warga yang menangkap basah seorang maling. Warga sudah tidak percaya pada aparat penegak hukum hingga mereka mencoba menegakkan hukum dengan caranya sendiri, bisa melalui blog atau lewat akun twitter.

Semoga di momen Pemilu 2014 ini, para wartawan tetap terjaga independensi, kualitas dan integritasnya sebagai pengabdi publik.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun