Ada kompor gas mini, yang sengaja dibawa dari rumah bersama tikar dan peralatan dapur lainnya. Di atas kompor gas mini tadi, Â digelar potongan daging untuk dibakar.
Di sampingnya ada speaker aktif untuk berkaraoke. Kami semua mendadak jadi "penyanyi" dangdut dan pop, juga lagu-lagu dari Bugis Makassar. Asyik kan?
Di Hutan Pinus ini, adalah hamparan tanah berbukit, dipenuhi berbagai jenis spot untuk foto. Setiap spot harus bayar. Saya mengitari semuanya. Ada Rumah Miring dan lain-lain.
Selain itu, juga ada Flying Fox dan Berkuda. Untuk Flying Fox, cucu ponakan kami, Andi Virdza yang baru duduk di kelas 1 SD, termasuk bocah pemberani.
Terbukti, putra tunggal dari Ilham, driver kami, ikut uji nyali bersama anak ABG, bahkan orang dewasa meluncur dari ketinggian. Jarak meluncurnya juga cukup jauh.
Di sini, kami juga bertemu Wandi, tukang bersih kotoran kuda. Dia menyapu kotoran yang berceceran di jalan, dari kuda tunggangan yang baru saja buang "air besar".
Wandi sedang menyapu sepanjang jalur berkuda, saat saya temui murid kelas 4 SDN Paranglambere ini. Dia mengaku digaji perhari Rp 100 ribu, jam kerja pukul 07.00 sampai Sore. Setiap bulan dia kumpulkan gajinya untuk membeli peralatan sekolahnya.
Obyek berikutnya, memang bukan lagi destinasi seperti lainnya yang sudah kami singgahi sebelumnya. Tapi, kami sengaja "ngelayap" hingga sampai di ketinggian di ujung Malino.
Tepatnya adalah daerah perbatasan Kabupaten Gowa, arah Kabupaten Sinjai dan Bulukumba. Kedua daerah yang disebut terakhir, adalah bagian selatan dari Kota Makassar berjarak 80-an kilometer.
Ya, semacam "Puncak Pas" setelah "Rindu Alam" di Kabupaten Bogor, Jawa Barat. Udaranya dingin dan kami harus siap berselimut jaket tebal.