Di sinilah terkadang, saya terbawa emosi dan ikut hanyut dalam alur cerita yang dialami klien, terutama waktu menuliskan isi surat gugatan. Apalagi jika kasus mereka sudah terindikasi ada unsur KDRT (Kekerasan Dalam Rumah Tangga), wah makin ribet aja tuh.
Tau sendiri kan, ada kasus KDRT yang pernah menimpa pasangan artis? Si istri lapor polisi sebagai korban KDRT, eh giliran si suami ditahan, si istri cabut laporan dan berdamai. Rujuklah mereka kembali. Atau mereka punya anak balita, keduanya berupaya untuk "menculik" si anak.
Belum lagi kalau kedua pihak yang berperkara sudah saling menuduh ada unsur perselingkuhan, berebut hak pengasuhan anak, atau pembagian "gono-gini" atau harta bersama selama perkawinan yang mereka ikut persoalkan.
Padahal, satu kasus tidak boleh dicampur-baurkan dalam satu sidang perkara di pengadilan. Mau bercerai, ya cerai dululah. Berikutnya mau minta pengasuhan anak, ya monggo gugat lagi. Begitu juga soal "gono-gini".
Yang lebih terasa "nyesek" itu jika kliennya dari pihak istri. Tentu si klien ini akan "menjelek-jelekkan" perilaku suaminya -- yang notabene adalah dari kaum saya sendiri keturunan Bani Adam
Lah, saya ini kan laki-laki juga sekaligus masih berstatus suami dari istri saya di rumah. Tentu "nyesek" dong mendengar cerita klien bahwa ada suami "menelantarkan" istrinya, bahkan melakukan tindak kekerasan fisik segala.
Nah, itulah sekelumit pengalaman saya selama ini dalam menangani kasus perceraian di Pengadilan Agama (PA), juga tak jauh berbeda dengan penanganan kasus perceraian nonmuslim di Pengadilan Negeri (PN).
Tapi sebagai tenaga profesional, ya bagaimana pun harus tetap menjalankan "tugas mulia" ini dengan penuh amanah.
Terima kasih kepada para mantan klien atas kerja samanya selama ini. Semoga semua sehat wal afiat.