Syekh Yusuf Al-Makassary, seperti dikisahkan Daeng Jaga, adalah seorang putra Makassar yang mempu menembus dunia membawa kebesaran ilmu Islam, pejuang teladan, anti rasialisme, dan seorang musuh besar kompeni Belanda.
"Terbitnya berbagai buku tentang Syekh Yusuf, memberi motivasi untuk menyajikan berbagai informasi seputar potret diri Syekh Yusuf, keturunannya," tulis Daeng Jaga.
Selain itu, Daeng Jaga melihat ada nilai-nilai luhur yang dapat menjadi benang merah untuk mengenali konsepsi ajaran tasaufnya yang mungkin dapat membawa setiap insani menjadi pribadi yang memiliki ilmu Islam secara kaffa, "tentu, bila pembaca berkenan menyimaknya," kata Daeng Jaga.
Buku kedua yang diberikan kepada saya adalah "Konsepsi Ajaran Tasawuf Syekh Yusuf Al-Makassary (dinukil dari karya-karya utama Syekh) - Penerbit Orbit Jakarta.
Buku ketiga adalah "Menyingkap Tabir Budaya Islam Makassar" - Penerbit Orbit Jakarta, 2011, merupakan penelusuran Daeng Jaga dalam budaya Makassar ke relung-relung kehidupan masyarakat Makassar, dari realitas kesehariannya sampai kepada sejarah peradabannya.
Selain itu, Daeng Jaga juga menulis buku tentang "Kearifan Nagari Makassar", "Rumah Adat Makassar", juga "Seni Pertunjukan Tradisional Makassar", karya seni "Drama Perang Makassar (tiga babak), drama tari "Syekh Yusuf", dan "Bulan Sumara" (kumpulan puisi Makassar).
Dari ketiga buku Daeng Jaga yang diberikan kepada saya seperti diulas di atas, hingga saat ini masih saya koleksi di perpustakaan pribadi di Jakarta. Buku tersebut, saya harus baca kembali, meski baru saja saya dapat info bahwa hari ini Selasa Subuh 6 September 2022, Daeng Jaga (lahir 18 Agustus 1948) telah berpulang ke Rahmatullah dalam usia 74 tahun. Innalilahi wa innalillahi rojiun. Turut berduka cita.Â
Belakangan kami baru tahu, antara kami dan Daeng Jaga, ternyata masih ada hubungan keluarga dari kakek kami dan kakek Daeng Jaga. Kami sama-sama masih sebagai anak cucu para Gallarrang, yakni perangkat pemerintahan setingkat Walikota/Bupati di era Kerajaan Gowa.
Kami anak cucu Gallarrang Sudiang, sementara Daeng Jaga adalah anak cucu Gallarrang Samata. Itu sebabnya kemudian, masing-masing kakek kami ada yang "menjodohkan" anak cucu mereka. Tante atau bibi dari Daeng Jaga misalnya, diperistri oleh saudara sepupu saya juga.
Keluarga pun berkumpul di rumah duka di Pao-pao, Gowa, Sulsel. Bukan bersilaturahmi pasca lebaran haji, tapi mengantar ke tempat peristirahatan terakhirnya Daeng Jaga.