Suatu hari, saya dijapri via what's app oleh seorang teman: Masim Vavai Sugianto atau Mas Vavai sapaan akrab saya ke dia.
"Halo @Bang Nur barusan baca di FB, bang Nur berapa lama menyelesaikan pendidikan S1 dan S2 bang? Kayaknya pengalaman mirip nih hehehe.."
Setiap kali menerima pertanyaan seperti ini, saya terus terang bingung menjawabnya. Berapa lama ya? Sepertinya lama buuaanget deh.Â
Saking lamanya kuliah, dan perjuangannya dalam berusaha menyelesaikan hingga di acara wisuda, wah susah ngitungnya lagi. Tak semudah menghitung jari-jari tangan dan kaki.
Uups! Eh iya. Jumlah jari-jari tangan dan kaki kita (buka. Jari-jari sepeda loh), jumlahnya ada 20 ya? (yang jari-jarinya masih normal dan belum ada yang diamputasi ya hehe...).
Nah, begitulah jumlah jari kaki dan tahun jika dihitung waktu yang saya habiskan untuk menyelesaikan pendidikan S1 hehe..
Bayangkan, S1 bertahun-tahun. S2 juga begitu. Mahasiswa abadi dong? hehehe....(gak bisa jawab, hanya bisa hehe aja).
Saya mulai kuliah ketika saat itu belum ada yang namanya beasiswa, apalagi bantuan program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah).Â
Ibaratnya, belum lahir KIP Kuliah ketika itu. Mungkin kalau ada, baru terlintas di pikiran pencetusnya. Masih sebatas wacana dan angan.
Apakah waktu itu saya berencana ingin melanjutkan studi namun terhambat masalah biaya? Iya betul.
Betapa cemas dan bersedih hatinya kita yang ingin kuliah tapi orang tua tak mampu membiayai. Coba kalau waktu itu sudah ada beasiswa, tentu bisa kuliah dengan bantuan program Kartu Indonesia Pintar Kuliah (KIP Kuliah).
Bagi saya, jelas beasiswa KIP Kuliah sekarang ini cukup menolong. KIP Kuliah merupakan program bantuan pendidikan tinggi dari pemerintah untuk siswa yang memiliki prestasi akademi namun terkendala biaya. Nah iya kan?
Kembali kepada pengalaman  saya saat mulai kuliah.Â
Ketika itu, tidak sedikit orang yang bekerja sambil "Nyambi" kuliah. Saya di antaranya.Â
Saya kuliah sambil jadi wartawan koran daerah. Nama kampusnya di IAIN, Institut Agama Islam Negeri (sekarng UIN, Universitas Islam Negeri) Alauddin Makassar dengan memilih Fakultas Syari'ah dan Hukum.
Kuliah mulai tahun 1979-1981 setelah tamat dari PGA, Pendidikan Guru Agama (sekarang MAN, Madrasah Aliyah Negeri setingkat SMA) di Kabupaten Maros, Provinsi Sulawesi Selatan. Hanya selesai di tingkat sarjana muda (BA) setingkat Akta 1V.Â
Selanjutnya kuliah sempat mandeg. Maklum, makin banyak beban.
 Selain saya, istri saya juga melanjutkan kuliah ke S2. Sementara putra-putri saya (2 anak cukup sesuai program pemerintah, KB = keluarga berencana), juga berkejaran masuk perguruan tinggi. Pusing kepala Barbie hehe...
Lulus menyandang gelar sarjana muda (BA), tak ada biaya untuk melanjutkan kuliah, saya akhirnya memilih kembali fokus sebagai wartawan tahun 1981.Â
Status sudah bukan lagi wartawan daerah (lokal), tapi sudah jadi koresponden Harian Terbit (Pos Kota Grup) Jakarta. Artinya, korannya terbit dan dicetak di Jakarta, lalu diedarkan di Sulawesi terutama Kota Makassar.Â
Saya selama kurun waktu 1980-1984, meliput dan mencari berita untuk dikirim ke kantor redaksi di Jakarta, dan tetap masih berdomisili di Makassar.
Lulus kuliah hanya sampai tingkat III setara akta IV. Dulu belum ada SKS (Sistem Kredit Semester). Ujian nonskripsi tapi tetap buat karya ilmiah sambil riset-riset kecil-kecilan.Â
Gelarnya adalah sarjana muda Bachelor of Arts (disingkat BA), yang merupakan pencapaian tingkat sarjana muda sebelum ke sarjana lengkap (S1). Jika di IAIN atau UIN sekarang, lulusannya menyandang gelar SHi, yakni Sarjana Hukum Islam.
Sementara untuk bisa sampai ke jenjang sarjana lengkap (S1), atau sarjana Syariah/Hukum adalah perjuangan yang berliku. Akhirnya kuliah gak selesai atau gagal untuk lanjut ke jenjang S1 gara-gara sibuk jadi wartawan. Lalu tahun 1983 akhir, hijerah ke Jakarta.Â
Di Jakarta tahun 1984 gabung ke grup media Pos Kota. Tahun 1987 pulang ke Makassar menikah, lalu memboyong istri ke Jakarta. Ngontrak rumah di Tanjung Priok.Â
Tahun 1990 pindah ke Bekasi, sekalian menyicil rumah BTN (bayar tapi nyicil, kata Warkop DKI di film bioskop). Sambil tetap menjalani profesi wartawan, lalu mencoba kuliah lagi tahun 1995 untuk menyelesaikan S1 di IAIN (UIN) Syarif Hidayatullah Ciputat, Jakarta.Â
Konsekuensinya nilai mata kuliah dikonversi dengan nilai sarjana muda BA dari Makassar, juga harus tetap mengikuti kuliah 1 tahun atau dua semester + KKN + Skripsi. Dalam perjalanan, kuliahnya mandeg lagi. Asyik berburu berita hehe...
Tahun 1997 balik kampus lagi. Sambil menyelesaikan skripsi, datang reformasi, ikut demo tahun 1998 di Senayan sambil meliput.Â
Kuliah macet lagi. Nanti tahun 2004 skripsi rampung, dan diikutkan wisuda.
Kuliah macet adalah sesuatu yang akhirnya menjadi kebiasaan buruk yang tidak bisa saya hindari saat kuliah. baik di IAIN Makassar maupun di UIN Jakarta. Selain karena beban hidup sudah mulai terasa berat.Â
Waktu itu sudah berkeluarga (istri + anak), maka cuti kuliah karena gak bisa membayar uang semester, adalah solusi terbaik meskipun bukan pilihan terbaik.
Praktis 23 tahun lamanya kuliah, cuti kuliah, macet kuliah (1979-2004), Alhamdulillah akhirnya bisa juga diwisuda jadi sarjana syari'ah/hukum (S1) dengan gelar SH.i (Sarjana Hukum Islam).
Tahun 2004 dan seterusnya, masih tetap bekerja sebagai wartawan. Meliput antara lain bidang hukum, kriminal, perkotaan.Â
Dengan modal ijazah SHi dr UIN Jakarta itu pula, mencoba ikut ujian advokat, lawyer, pengacara, dan lulus tapi belum praktek/beracara pada tahun 2009.
Tahun 2011, kembali ada kesempatan kuliah S2 hukum di UIJ (Universitas Islam Jakarta, dulu UID) di Utan Kayu, Matraman, Jakarta Timur. Mengambil kelas khusus karyawan/wartawan. Wisuda S2 pada Desember tahun 2015.
Setahun sebelum wisuda di UIJ (2014), koran tempat saya bekerja di Harian Terbit, dijual dan karyawan serta wartawan semuanya pensiun dini. Kami masih dapat pesangon. Meski nilainya kecil, tapingarus disyukuri. Sudah lebih dari cukup.
Maka separuh dari uang pesangon dari kantor, saya manfaatkan untuk membayar utang pembayaran kuliah per semester. Alhamdulillah bisa ikut wisuda Desember tahun 2015.Â
Tapi persoalan tidak habis sampai di sini. Sisa uang pesangon masih kurang untuk menebus ijazah S2. Ijazah ditahan di kampus. Lima tahun kemudian (2020) baru bisa nebus ijazah S2, itupun minjam uang sama adik di Makassar, dan sampai sekarang belum saya bayar hahaha..
Itulah perjalanan saya sebagai mahasiswa -- yang betul-betul mahasiswa abadi -- karena dihitung lamanya menyelesaikan pendidikan. Dari sarjana muda (BA), sarjana lengkap (S1), magister (S2) tanpa bantuan beasiswa.
Jadi kalau ada orang yang menyepelekan tentang pencapaian satu titel sekalipun atau gelar akademis seseorang, saya keberatan.
Â
Saya selalu bilang, "pendidikan itu mahal bro..!!".
Terus terang saya bangga dengan gelar dan titel saya yang saya peroleh dengan penuh perjuangan, doa, dana dan air mata tanpa satu sen pun bantuan beasiswa itu. Serius.
Tiba-tiba bertubi-tubi suara "ping" dari handphone saya. Itu chat teman-teman komunitas saya di WAG (what's app grup) yang tengah mendiskusikan bertema "kerja sambil kuliah" itu.
Masim Vavai: "Makanya kagum buat teman-teman yg bisa kuliah tinggi dan tetap kalem, supel, mau tetap belajar. Mereka masih bisa kuliah lanjutan disela-sela kesibukan".
Omjay: "kuncinya harus fokus kalau mau selesai kuliah S2 dan S3".
Mira Sahid: "Barangkali ada info2 S2 utk usia 40an Mas Vai, Bang Nur. Boleh dishare"
"Omjay: "kalau S2 Bahasa Indonesia ada di UNJ, dan beasiswa mudah".
Masim Vavai: "Ini saya baru mulai coba cari info mbak. Kalau di Binus SMB ada jurusan ilmu komunikasi dan bisnis. Bisa juga di President University, ada beberapa jurusan S2. Saya niatan ambil yang MSIT (MT) tapi nunggu ijazah dan belum tahu apakah bisa atau tidak".
Mira Sahid: "Mudah2an diberi kemudahan dan kelancaran Mas Vavai".
Masim Vavai: "Terima kasih mbak, sehat selalu dan tetap inspiring di aktivitas-aktivitasnya".
AHU BPIP: "Selamat pagi. Ayo semangat sekolah lagi, formal ataupun non formal, beasiswa ataupun biaya sendiri".
Asyik kan diskusi mereka? Tidak ada istilah terlambat untuk kuliah. Juga ini artinya, belajar itu tidak mengenal usia. Tua-tua juga masih tetap mau sekolah.
***
Seperti kata orang bijak, "tuntutlah ilmu dari buaian hingga ke liang lahat". Atau, "tuntutlah ilmu hingga ke China".
Bagi saudaraku yang sesama Islam, juga ada pesan bijak, "menuntut ilmu adalah wajib bagi setiap muslim atau muslimat". ***
Sekian, salam:
NUR TERBIT
Media Sosial: Facebook, Instagram, Twitter, Blog, YouTube, Tiktok
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H