Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Kenangan Saat Masih Nonton TV Layar Tabung

3 April 2022   01:26 Diperbarui: 3 April 2022   01:39 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber foto: Kominfo

Sudahkah Anda beralih dari TV analog ke digital? 

Pertanyaan ini akan muncul belakangan ini ketika kita jadi sering melihat iklan, tepatnya sosialisasi, soal program TV digital yang diperkenalkan pemerintah.

Ya, saat ini negara kita Indonesia, tengah melakukan migrasi sinyal siaran TV dari analog menjadi digital. Migrasi ini dilakukan bertahap dimulai April 2022.

Di tulisan ini, saya tidak akan membahas bagaimana cara menangkap siaran TV digital. Apakah dengan menggunakan antena, parabola, atau menggunakan layanan berbayar?

Yang saya akan ceritakan, bagaimana ketika pertama kali nonton televisi di kampung. Waktu itu saya masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD), umur saya baru 12 tahun di era 1970-an. 

Itulah pertama kali saya menonton siaran televisi di kampung saya di Mandai, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan.

Waktu itu, baru ada satu siaran televisi. Yaitu Televisi Republik Indonesia (TVRI). Masih dalam siaran hitam putih dan ada iklan "Siaran Niaga"-nya. Warga masyarakat yang memiliki pesawat televisi pun, masih langka.

Saking langkanya, jumlah pesawat televisi masih bisa dihitung dengan jari. Baru ada satu dua rumah yang memutar siaran televisi. 

Ya, televisi ketika itu, boleh dibilang barang langka. Penerangan listrik juga belum ada. Hanya lampu petromaks di rumah penduduk.

Di wilayah kecamatan tempat tinggal kami saja, hanya ada satu orang yang punya televisi. Dia perwira Angkatan Udara dari Lanud Hasanuddin. 

Orang cukup berada, punya tanah berhektar-hektar. Untuk memutar televisi, menggunakan mesin dissel, sekaligus penerangan rumah.

Saya termasuk beruntung bertetangga dengan keluarga perwira tersebut. Setiap hari bermain dengan anak-anaknya yang sebaya dengan saya. 

Itu sebabnya, saya bisa numpang nonton televisi jika malam hari. Tentu saja, jika esok harinya tidak ada PR dari sekolah, atau kebetulan malam Minggu.

Selain di rumah perwira Angkatan Udara yang cukup berada itu, kami dan anak-anak kampung cukup tertolong karena tinggal tak jauh dari komplek militer. 

Tepatnya komplek TNI Angkatan Udara Lanud Hasanuddin. Kami tinggal di pemukiman warga. Jaraknya sekitar 3 kilo meter di luar komplek.

Di satu bangunan pos penjagaan menghadap lapangan luas, dipasang kotak televisi. Tempat warga menonton secara gratis. 

Penontonnya tertib, sopan-sopan, sebab tak jauh dari situ terdapat rumah dinas para perwira. Termasuk rumah yang ditempati penguasa komplek: Komandan Pangkalan Angkatan Udara Lanud Hasanuddin.

Hampir setiap malam, kami anak-anak kampung berjalan kaki sejauh 6 kilometer pergi/pulang --- "konvoi" dari rumah ke komplek militer ini menonton acara siaran televisi. Berangkat sejak sore biar lebih lama nonton televisi.

Ketika siaran televisi pun berakhir, sudah larut malam. Bahkan sudah dinihari waktu Indonesia bagian Timur. Kamipun kembali berjalan kaki bergerobol bak karnaval yang baru pulang dari lomba Agustusan.

Mengingat peristiwa di era 1970-an itu, saya sering tertawa sendiri. Betapa mahalnya ya tontonan televisi ketika itu. 

Siapa menyangka kalau John Logie Baird, penemu televisi asal Skotlandia itu, bisa juga dinikmati karyanya bagi anak kampung seperti saya dan teman-teman.

Maka jika sekarang saya sudah bebas nonton TV sendiri di rumah, itu bukan berarti saya juga sudah siap beralih ke TV digital. Iya belum.

Televisi seperti apa yang ada di rumah saya? Alhamdulillah sudah sedikit ada kemajuan. Sudah layar datar meski belum yang Smart TV amat hehe.. 

Artinya, saya dan keluarga sudah melewati era TV layar tabung. Namun agak bingung jika harus migrasi sinyal siaran TV dari analog menjadi digital dimulai April 2022 ini.

Memang tidak semua masyarakat memahami apa itu TV digital. Apakah itu berarti saya harus membeli TV baru? Apakah saya harus berlangganan TV kabel? Bagaimana jika saya tidak memiliki anggaran untuk menikmati TV digital?

Agaknya pemerintah harus lebih gencar mensosialisasikan program Tv digital ini kepada masyarakat luas. Bagaimana tahapan mengajukan STB gratis di kota/kabupaten.

Juga memberikan semacam "kursus" kiat memasang STB pada ragam jenis TV, kiat membeli TV digital, dan life-hack serupa lainnya. Atau juga menceritakan tentang dilema beralih ke TV digital, kesulitan yang dihadapi, dan pertimbangan untung-rugi beralih ke TV digital.

Ini semua tentu saja perlu, terutama saudara kita di pedesaan. Atau jangan-jangan mereka lebih siap dari pada kita, atau saya terutama hehe...***

Salam,

Nur Terbit

Blog pribadi

Channel YouTube

Instagram

Twitter

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun