Orang cukup berada, punya tanah berhektar-hektar. Untuk memutar televisi, menggunakan mesin dissel, sekaligus penerangan rumah.
Saya termasuk beruntung bertetangga dengan keluarga perwira tersebut. Setiap hari bermain dengan anak-anaknya yang sebaya dengan saya.Â
Itu sebabnya, saya bisa numpang nonton televisi jika malam hari. Tentu saja, jika esok harinya tidak ada PR dari sekolah, atau kebetulan malam Minggu.
Selain di rumah perwira Angkatan Udara yang cukup berada itu, kami dan anak-anak kampung cukup tertolong karena tinggal tak jauh dari komplek militer.Â
Tepatnya komplek TNI Angkatan Udara Lanud Hasanuddin. Kami tinggal di pemukiman warga. Jaraknya sekitar 3 kilo meter di luar komplek.
Di satu bangunan pos penjagaan menghadap lapangan luas, dipasang kotak televisi. Tempat warga menonton secara gratis.Â
Penontonnya tertib, sopan-sopan, sebab tak jauh dari situ terdapat rumah dinas para perwira. Termasuk rumah yang ditempati penguasa komplek: Komandan Pangkalan Angkatan Udara Lanud Hasanuddin.
Hampir setiap malam, kami anak-anak kampung berjalan kaki sejauh 6 kilometer pergi/pulang --- "konvoi" dari rumah ke komplek militer ini menonton acara siaran televisi. Berangkat sejak sore biar lebih lama nonton televisi.
Ketika siaran televisi pun berakhir, sudah larut malam. Bahkan sudah dinihari waktu Indonesia bagian Timur. Kamipun kembali berjalan kaki bergerobol bak karnaval yang baru pulang dari lomba Agustusan.
Mengingat peristiwa di era 1970-an itu, saya sering tertawa sendiri. Betapa mahalnya ya tontonan televisi ketika itu.Â
Siapa menyangka kalau John Logie Baird, penemu televisi asal Skotlandia itu, bisa juga dinikmati karyanya bagi anak kampung seperti saya dan teman-teman.