Kenapa? Ya, karena saya sudah banyak "uang" alias banyak uban. Beruban. Atau ber-uang. Bukan "beruang", jangan salah ya
Kembali ke masalah gaya rambut. Saya akhirnya tak berlama-lama di tukang cukur, tanpa konsultasi, saya pilih cukuran model "new normal". Istilah yang lagi populer saat ini. Gaya terkesan baru tapi tetap normal.
Apa itu? Ya pokoknya kenormalan baru, atau...susah ya jelasin apa itu "new normal". Gampangnya, budaya baru. Jadi untuk rambut, menurut saya, pokoknya gak botak, gak gondrong juga. Gitu aja deh...
"Kalau begitu, yang nomor dua aja, pak haji," kata Si Akang, tukang cukur langganan saya, asli orang Garut. Nomor dua apaan? Nomor urut Pilpres, Pileg, apa Pilkada? "Maksudnya dua senti panjang rambunya, pak haji," kata Si Akang.
Saya akhirnya setuju dicukur gaya rambut "dua senti". Usulan Si Akang. Rambut "new normal". Pilihan ini sederhana saja, karena ada beberapa pertimbangan. Antara lain :
1. Irit minyak rambut
2. Hemat shampo
3. Gak repot nyisir dan bawa sisir
4. Rambut uban tak menyilaukan
5. Kepala rasanya lebih enteng.
Dari semua pertimbangan di atas, poin 5 menurut saya, lebih masuk akal. Relevan dengan kehidupan sekarang. Koq relevan? Apa hubungannya antara model rambut dengan kehidupan?
Ya, gampang saja. Dengan rambut "new normal", gak gonrdrong gak gundul, kepala lebih enteng dan lebih ringan karena minimnya rambut.
Dengan demikian, tentu akan berpengaruh ke hal lain. Misalnya, beban hidup (terasa) lebih enteng juga. Bukannya semua beban hidup, segala keruwetan masalah duniawi, adanya di kepala?
Coba saja. Kepala tempat "berlabuhnya" segala macam persoalan. Tempat bersemayam otak kita dalam berpikir. Ya, kecuali kalau isi kepala kita sudah tak punya otak, itu lain cerita
Nur Terbit
Bekasi, Selasa 26 Mei 2020.