Impian memiliki rumah sendiri, tentu menjadi keinginan semua orang. Terutama bagi mereka yang sudah berumah tangga. Kan lucu dong, namanya sudah berumah tangga tapi belum punya rumah. Gak lengkap, masak tangga doang gak ada rumahnya? Hehe...
Begitu pula dengan yang saya alami. Awalnya saya seorang "kontraktor". Maksudnya cuma ngontrak. Dari satu rumah kontrakan ke kontrakan yang lain di bilangan Jakarta Utara. Maklum, masih kerja serabutan. Penghasilan hanya mampu untuk makan sehari-hari dan bayar kontrakan.
Ya, namanya juga masih bujangan. Belum memikirkan betapa pentingnya sandang, pangan dan papan. Yang ada di pikiran, bagaimana bisa makan hari ini. Soal di mana tidur nanti malam, ya, tiba masa tiba akal. Yang aman, numpang nginap di kontrakan teman sesama bujangan. Beres kan?
Di sinilah saya mengenal si S yang tinggal tak jauh dari kontrakan saya. Teman ini kebetulan sudah berumah tangga, jadi dia terkadang jadi tempat "curhat". Maklum, saya perantau dari Makassar, Sulsel, sejak tahun 1984. Tak ada sanak famili, dan tentu saja jauh dari orangtua. Maka S inilah kemudian saya anggap keluarga dan saudara sendiri.
Suatu hari, saya berkesempatan pulang kampung untuk pertama kalinya  sejak merantau ke Ibukota. Inilah awal mula memikirkan bagaimana berumah tangga. Hidup bertahun-tahun di rantau, masak belum punya calon istri? Minimal, pacarlah. Begitu pertanyaan keluarga di kampung. Saya hanya bercanda bahwa susah cari pacar, apalagi calon istri di kota besar seperti Jakarta.
"Lebih gampang nyari istri di kampung," canda saya. "Jelas asal-usulnya, masih steril dan belum terkena polusi ibukota". Ucapan yang saya kutip dari omongan sesama perantau di Jakarta itu, tiba-tiba lepas begitu saja di mulut saya. Ups..gak apa-apalah. Namanya juga bercanda.
Rupanya ucapan candaan saya ini, langsung direspon oleh keluarga besar saya di kampung. Sebelum balik lagi ke perantauan, keluarga sepakat menjodohkan dengan anak gadis yang masih ada hubungan keluarga. Saya malah panik dan kebingungan.Â
Dalam situasi seperti itu, saya hanya bisa menertawakan diri sendiri. Jauh-jauh merantau ke Pulau Jawa, jodohnya di kampung halaman juga akhirnya. Selanjutnya, saya tak bisa menolak niat baik keluarga. Sampai kemudian kami berdua, saya dan calon istri, "sukses" duduk di pelaminan. Hore.... (mirip cerita sinetron ya 😂🤣)
Seperti di awal tulisan, saya menyadari bahwa pada akhirnya setiap keluarga butuh rumah. Ya, namanya berumah tangga. Tidak sekedar perlu tangga, tapi juga rumahnya biar lengkap: rumah tangga.
Begitulah dinamika kehidupan. Setelah beristri, sudah harus siap dengan tempat berteduh. Kalau masih sendiri, "cuek bebek". Tapi kalau sudah berdua istri, lalu nantinya bertiga, berempat, berlima dengan anak? Nah baru deh pusing kepala berbi.