Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mengunjungi Desa yang 'Hilang' di Muara Gembong

11 Oktober 2013   08:29 Diperbarui: 24 Juni 2015   06:42 1493
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_271609" align="aligncenter" width="300" caption="Melewati tanggul dengan menggunakan perahu eretan. Orang, motor, mobilpun diangkut (foto: Nur Terbit)"][/caption] Tulisan ini lahir berawal dari rencana teman-teman wartawan cetak, online dan elektronik (TV) yang biasa nge-pos di Kabupaten - Kota Bekasi, mau menghadiri dan meliput acara pesta nelayan  di Muara Gembong.  Sebuah kecamatan perkampungan nelayan yang merupakan wilayah terujung dari Kabupaten Bekasi, Jawa Barat. Bukan hanya acara pesta nelayan itu yang membuat saya tertarik. Tapi, adanya sejumlah desa di Muara Gembong yang "hilang" akibat abrasi pantai. Langsung terlintas bagaimana serunya menulis reportase perjalanan: "Mengunjungi dan Mencari Desa Yang Hilang". Wooow... keren ya? Dari pagi buta, mereka sudah berkemas-kemas menggunakan motor berkonvoi menuju lokasi. Jarak dari Kota Bekasi ke Muara Gembong lebih dari 50 kilometer, itu saya tahu dari kilometer yang tercatat di motor saya. Pasalnya, acara pesta yang di kalangan nelayan disebut "Nadran" ini, dimulai pukul 08.00 pagi. Dihitung waktu perjalanan dan persiapan "peralatan tempur" ya, minimal sudah harus ada di lokasi 1-2 jam sebelumnya. Saya yang semula tidak masuk dalam daftar rombongan mereka, tentu saja agak repot mengikuti jejak langkah para komunitas "pemburu berita" itu. Dengan semangat dan amunisi yang ada, saya menyusul mereka tanpa bekal petunjuk sedikit pun kecuali berpegang pada pepatah atau peribahasa, "malu bertanya sesat di jalan". Akhirnya sepanjang jalanlah saya bertanya, kemana arah menuju perkampungan nelayan Muara Gembong? Selama ini, saya paling banter naik motor sampai ke Cabangbungin, kecamatan tetangga dari Muara Gembong. Itu  kalau Sabtu-Minggu mengantar istri menyuluh dan membimbing ibu-ibu dan remaja putri yang berminat jadi calon guru TK-PAUD di Cabangbungin. Itu pun badan terasa sudah "gempor" naik motor yang jaraknya dari rumah sekitar 80 kilometer pergi-pulang. Jalan menuju Cabangbungin sendiri, sudah mulus dan seluruhnya sudah dicor. Kata warga setempat, itu karena ada royek pengeboran sumur minyak Pertamina dan gencarnya janji-janji kampanye ketika pemilihan bupat Bekasi tempo hari. Selanjutnya menuju Muara Gembong masih hancur. Saat ini sebagian baru pengerasan, beberapa meter sudah dilakukan pengecoran. Aktivitas pekerja di jalan membuat kemacetan tersendiri sehingga kecepatan kendaraan harus diperlambat, menghindari lubang dan kubangan akibat dilewati kendaraan bertonase berat. Saya akhirnya memilih melewati jalan setapak di atas tanggul Kali Citarum, yang memanjang dari Cabangbungin sampai ke ujung Muara Gembong. Karena jalan setapak dan baru berupa tanah merah hingga menimbulkan kepulan debu, kita perlu ekstra hati-hati mengendarai motor. Salah-salah bisa kecebur ke dalam air tanggul yang lumayan dalam dan terjal itu. [caption id="attachment_271615" align="alignright" width="300" caption="Melintasi jalan setapak berupa tanah merah yang berdebu di sisi tanggul kali Citarum (foto: Nur Terbit)"]

13814552021567764154
13814552021567764154
[/caption] DESA YANG HILANG Hampir sepertiga penduduk Muara Gembong tinggal di pinggir pantai. Dari seper tiga wilayah itu pula, kini sudah “hilang” akibat terkena abrasi pantai. Satu dari tiga desa yang berada di pesisir pantai, salah satunya adalah Desa Pantai Mekar. “Harapan kita ke depan bersama warga, jangan ada lagi yang tergusur ombak. Sebab untuk bisa bertahan saja, warga harus melaut untuk menyukupi kehidupan dan anak mereka,” kata Kepala Desa Pantai Mekar, Darma. Desa Pantai Mekar dihuni 600 kepala keluarga (KK) dengan mayoritas mata pencaharian sebagai nelayan. Sebanyak 200 dari 600 KK tersebut, sudah pindah ke daerah lain akibat bangunan rumah mereka yang terletak persis di pinggir pantai, hilang terkena abrasi. “Sudah belasan tahun janji pemerintah pusat mau memasang tanggul penahan ombak, namun hingga kini belum juga terealisasi,” kata Mulyana, salah seorang warga yang ditemui di lokasi. Selain Desa Pantai Mekar, masih ada dua desa lagi yang juga terkena abrasi. Kedua desa itu adalah Desa Pantai Bakti dan Desa Pantai Bahagia. Jika musim air laut pasang, ketinggian ombak bisa mencapai 1-2 meter dengan radius jauh berkisar 300 meter. Tak jarang banyak rumah yang rusak karena hempasan ombak tersebut. Sungkana, warga Desa Pantai Mekar mengatakan, kemungkinan besar bila angin barat yang akan datang tahun 2014 s/d 2015, semua warga terutama yang tinggal di pinggir pantai akan habis terbawa ombak. Jika hal itu terjadi, masyarakat setempat bingung mau pindah kemana lagi? “Kalau tidak ada bantuan dari pemerintah untuk memasang dam atau tanggul penahan ombak, warga sepakat untuk memperbaiki sendiri. Tapi warga juga sadar, tanpa ada bantuan dari pemerintah untuk rakyat kecil ini, saya kira nggak mungkin mereka bisa memperbaikinya,” kata Sungkana. Menurut pria berkumis dan senang berkemeja hitam ini, program pembangunan alat penahan ombak yang sudah diajukan ke pemerintah pusat, selama belasan tahun lalu, hingga kini belum terealisasi. “Dari sekian ratus kepala keluarga yang sudah tergusur ombak itu, bisa tertolong dengan program yang sudah disiasatinya dari sejak dini,” kata Kepala Desa Pantai Mekar, Darma. “Pemerintah pusat harus serius memikirkan wilayah ujung Kabupaten Bekasi ini. Selain karena infrastruktur jalan yang rusak, mayoritas penduduk yang tinggal di daerah tersebut selama ini hanya mengandalkan perahu sebagai alat tranportasi mereka,” kata Mulyana, S.s, intelektual muda dari Muara Gembong. Menurut Mulyana yang juga pengelola Sekolah Tinggi Keguruan dan Ilmu Pendidikan (STKIP) Panca Sakti, Cabangbungin ini, terjadinya abrasi pantai di Muara Gembong diduga gara-gara penebangan tanaman mangrove secara membabi-buta. “Beberapa tahun lalu kalau memancing di muara laut, orang menggunakan tanggul sungai. Tapi sekarang sudah terkikis karena abrasi. Muara Gembong sudah habis-habisan. Juga diperparah ketika terjadi banjir tahunan, makin habis lagi. Usaha tambak warga juga hancur karena bibit ikannya hanyut terbawa arus air banjir,” kata Mulyana. Baik Mulayana, Sungkana dan Pak Desa Darma, sepakat kalau daerah Muara Gembong terus dibiarkan tidak terurus dan tidak ada penanganan khusus dari pemerintah pusat, maka 3 desa yang berada di pinggir pantai – dari 6 desa di wilayah keseluruhan Kecamatan Muara Gembong – beberapa tahun ke depan dipastikan akan hilang akibat terkena abrasi pantai. salam Bang Nur Terbit www.aliemhalvaima.blogspot.com

Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun