Mohon tunggu...
Nur Terbit
Nur Terbit Mohon Tunggu... Jurnalis - Pers, Lawyer, Author, Blogger

Penulis buku Wartawan Bangkotan (YPTD), Lika-Liku Kisah Wartawan (PWI Pusat), Mati Ketawa Ala Netizen (YPTD), Editor Harian Terbit (1984-2014), Owner www.nurterbit.com, Twitter @Nurterbit, @IniWisataKulin1, FB - IG : @Nur Terbit, @Wartawan Bangkotan, @IniWisataKuliner Email: nurdaeng@gmail.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Indar Atmanto, Pencari Keadilan Itu Akhirnya Dipenjara

24 September 2014   22:29 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:40 1633
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="attachment_325379" align="aligncenter" width="560" caption="Berita Indar Atmanto dimuat di majalah TEMPO edisi 4-19 Agustus 2014 (Repro : Nur Terbit)"][/caption]

Selasa 23 September 2014, tiba-tiba sejumlah pria memasuki halaman kantor Indosat Pusat, depan patung kuda, di Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat di siang hari bolong itu. Di tengah cuaca panas menyengat menyiram ibukota, para tamu tersebut  “mengambil paksa” Indar Atmanto, mantan Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) -- masih anak perusahaan Indosat – membawa “tuan rumah” untuk dibawa ke Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Kelas I Sukamiskin, Bandung.

Karyawan pun heboh. Tak terkecuali bagi biro hukum Indosat. Suasana “penjemputan paksa” itu, kabarnya juga tidak ada pemberitahuan kepada penasehat hukum yang bersangkutan. Namun yang pasti, sangat memukul perasaan bagi istri dan anak-anak dari Indar Atmanto -- yang tidak menyangka bahwa tulang punggung keluarga mereka yang bersahaja itu – harus berakhir langkahnya dalam mencari keadilan. Atau lebih tepat, seperti tergambar dari judul berita “Babak Akhir Indar Mencari Keadilan”, seperti ditulis majalah TEMPO edisi 4-10 Agustus 2014.

Pagi harinya, memang para petugas tersebut sebelumnya sudah mendatangi rumah pria kelahiran 53 tahun lalu itu, di bilangan Tebet, Jakarta Selatan untuk tujuan yang sama. Mau menjemput  pria penerima  Penghargaan Satya Lencana Wira Karya Tahun 2010 dari Pemerintah RI yang diserahkan Presiden SBY itu. Sayang, yang bersangkutan sudah lebih dahulu berangkat ke kantor hingga mereka memutuskan menyusul menyambangi pria sederhana berkacamata itu. Ya, ke gedung Indosat tempat Indar Atmanto berkantor.

Seorang karyawan Indosat yang masih anak buah Indar Atmanto, menggambarkan suasana “penjemputan paksa” itu. “Seperti menjemput seorang pelaku kriminal,” cerita karyawan tersebut, sambil berlinang air mata.

“Saya adalah korban kekeliruan orang lain membaca undang-undang,” kata Indar Atmanto, yang juga pernah ditulisnya saat menyampaikan pledoi, atau nota pembelaan terdakwa saat di persidangan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).

Suasana yang digambarkan oleh karyawan Indosat pada kejadian Selasa 23 September 2014 di atas, adalah sangat mengharu-biru sebagai kenangan tidak terlupakan bagi Indar Atmanto yang pada tahun 2008  menerima penghargaan sebagai Wajib Pajak Patuh.

Kenapa? Ya, sebab hari itulah, ia resmi ditahan dan memulai menjalani kehidupan baru sebagai narapidana di Lapas Kelas I Sukamiskin, Bandung, atau penjara tempat proklamator Bung Karno pernah ditahan. Itu terjadi, setelah permohonan kasasinya ditolak oleh Mahkamah Agung melalui ketukan palu majelis hakim Yulius, Supandi, dan Imam Soebechi pada 12 Juli 2014 lalu.

Sebelumnya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menghukum Indar  Atmanto dengan 4 tahun penjara denda Rp 200 juta. Hakim Pengadian Tipikor juga mewajibkan IM2 membayar kerugian Negara Rp 1,35 triliun. Merasa tidak bersalah, saat itu juga Indar Atmanto menyatakan banding ke Pengadilan Tinggi  (PT) Jakarta.

Tapi  keputusan Pengadilan TinggiJakarta membuatnya terperenyak.  Kasus frekuensi Indosat ini sungguh memprihatinkan. Hukuman Indar diperberat dari 4 tahun menjadi 8 tahun penjara. Ia dinyatakan terbukti melakukan korupsi dalam penggunaan frekuensi 3G Indosat di 2,1 GHz. Indar menjadi Direktur Utama PT Indosat Mega Media (IM2) ketika meneken kerja sama dengan Indosat, “induk” IM2.

*****

Kamis siang, 25 September 2014, saya sebagai blogger berkesempatan menjenguk Indar Atmanto di Lapas Kelas I Sukamiskin Bandung. Adapun maksud kunjungan tersebut, sebagai bentuk keprihatinan kami selaku anggota komunitas blogger pengguna internet kepada Indar Atmanto yang pernah menerima Penghargaan Internasional dari World Broadband Alliances saat Indar Atmanto masih menjabat Dirut IM2.

Pak Indar, begitu kami menyapa beliau, mengungkapkan bahwa kasus ini sendiri bermula dari ekspansi IM2 yang ingin menyediakan layanan Internet bergerak, itu dituangkan dalam bentuk kerja sama Indosat dan IM2 pada tahun 2006. Sebelumnya pada 1996, IM2 hanya menyediakan internet melalui jaringan kabel.

Rupanya, kerja sama itu dilaporkan LSM Konsumen Telekomunikasi Indonesia ke Kejaksaan Tinggi Jawa Barat pada 6 Oktober 2011. LSM itu menuding kerja sama itu melanggar Pasal 25 ayat 1 Peraturan Pemerintah Nomor 53 Tahun 2000. Yakni penyelenggara jaringan telekomunikasi, tak diperbolehkan mengalihkan hak pengelolaan frekeuensi radio yang didapatnya dari pemerintah.

Selanjutnya Kejaksaan Agung pada awal tahun 2012 mengambil alih pengusutan kasus ini dari Kejaksaan Tinggi Jawa Barat. Belakangan Kejaksaan Agung melimpahkan berkas Indar ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, yang berlanjut jatuhnya putusan hukuman 4 tahun.

Indar lalu berupaya mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Jakarta tapi malah diperberat  jadi 8 tahun. Tidak terima dengan putusan Pengadilan Tinggi Jakarta ini, Indar lalu mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung. Namun kasasinya juga ditolak, yang berakhir ketika Indar “dijemput  paksa” dan harus segera menjalani hukuman di Lapas Kelas I Sukamiskin Bandung.

Dalam editorial Koran Tempo 7 Januari 2014 saya membaca tulisan seputar kisah perjuangan Indar Atmanto yang “kandas” dalam mencari keadilan. Editorial itu sungguh membuat haru.

“Kita setuju setiap kasus dugaan korupsi mesti diusut, dan pelakunya dihukum berat. Tapi, jika semua ini dilakukan dengan mengabaikan fakta hukum dan menyingkirkan hak-hak tersangka, itu tindakan keji. Adagium hukum menyebutkan, ‘lebih baik membebaskan seribu orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tidak bersalah’. (http://koran.tempo.co/konten/2014/01/07/331666/)

Salam,

Nur Terbit

www.nurterbit.com

www.nurterbit.blogspot.com

www.nurterbit.blogdetik.com

twitter: @Nur_TERBIT

facebook:  Bang Nur Terbit

email : nurdaeng@gmail.com

email : aliemhalvaima@yahoo.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun