[caption id="attachment_345162" align="aligncenter" width="700" caption="Foto: Nur Terbit -- Bagian informasi di RSUD Kota Bekasi"][/caption]
PAGI masih gelap saat berangkat menuju Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kota Bekasi untuk tujuan kontrol dan ganti perban pasca operasi putriku. Meski sudah berangkat pagi-pagi dari rumah, pasien yang menunggu antrean untuk berobat dan konsultasi dengan dokter sudah ratusan orang.
Mereka adalah pasien umum termasuk yang terbanyak adalah pasien dengan fasilitas Badan Penyelenggara Jaminan Sosial alias BPJS. Saya dapat nomor pendaftaran antrean yang ke-860.
Usai mendaftar, saya, istri dan anak yang mau kontrol ikut bergabung di deretan bangku ruang tunggu. Saya berdiri bersama pasien dan calon pasien yang tidak kebagian tempat duduk.
Biasanya kalau antrean pendaftaran sudah di posisi angka 800-an, besar kemungkinan akan mendapat giliran konsultasi dengan dokter antara pukul 13.00 - 14.00 WIB siang. Itu artinya harus menunggu hingga sore di RS. Fasilitas ruang tunggu dan bangku pasien yang terbatas, membuat mereka yang suddh sakit akan tambah sakit. Banyak pasien termasuk kakek-nenek terpaksa harus duduk di lantai.
Pihak RSUD harus buka mata buka telinga. Itu sebabnya sahabat saya: Abdullah Lahay menyemangati saya dengan kalimat, "Sabar Bang Nur Terbit, anggap saja sedang mengikuti ujian mental. Semoga Bang Nur dan putrinya diberi kekuatan dan ketabahan," katanya, meninggalkan komentar di status saya di facebook.
Saya hanya bisa menjawab, "Terma kasih pak Lahay," sambil berjanji akan terus mengirim laporan secara bersambung dari rumah sakit untuk publik dunia maya demi pertangungjawaban saya sebagai facebooker, blogger dan peserta BPJS (cieh...cieh...).
Demikian juga dengan Firdaus Pagagan yang prihatin dalam memberikan komentar. "Menyeridihkan, maka itu, saya mundur maju untuk masuk BPJS". Ngesti Setyo Murni juga mengakui, "Sudah sakit tetep harus diuji kesabaran ya bung Bang Nur Terbit ... Sabar.. sabar". R Gaper Fadli juga menimpali, " ... ulas terus".
Sahabat facebook lainnya, El Lite dan Fidia Wati, menimpali dengan komentar, "Ditunggu sambungannya pak". Sementara Mas Bengbeng menyindir dengan komentar, Â "repotnya wartawan masuk RS, semua ditulisnya,,,hehehe".
Saya ahirnya setuju dengan pendapat Abu Bagus. "Mengapa ya semua fasilitas layanan publik selalu keleleran, amburadul dan berantakan. Mengapa ya?" Lalu Ali Label memperkirakan, "mungkin 5 tahun lagi baru lebih baik, masalah utamanya ada di jumlah orang sakit tidak sebanding dengan tempat pelayanan kesehatannya".
Usamah Kadir dari Makassar mulai meragukan pelayanan kesehatan dengan fasilitas BPJS. "Kayaknya memang BPJS hanya melayani pasien yang punya penyakit direncanakan, bukan penyakit dadakan hahaha..."
*****
PUTRI saya sebenarnya sudah menjalani operasi di RSUD Kota Bekasi pada 10 Desember 2014 lalu. Masuk ke ruang perawat sehari sebelumnya dan diperbolehkan pulang oleh dokter 4 hari kemudian. Sehari setelah operasi, tumor jinak di payudara kanan dikirim bagian Patologi Anatomik utk dianalisa lewat laboratorium. Dijanjikan hasilnya 31 Desember 2014. Pagi itu tiba waktunya untuk kontrol kesekian kalinya pasca libur nasional (natal & tahun baru).
Untuk diketahui, hasil pemeriksaan laboratorium tadi, harus dibawa ke dokter yang telah melakukan tindakan operasi. Surat keterangan tadi harus dibawa ke poli bedah. Apa yang terjadi? Ternyata, hasil pemeriksaan laboratorium tersebut belum selesai sejak diserahkan 26 hari lalu. Sebegitu lamakah prosesnya? Tanda tanya ini mungkin juga menghiasi kepala pasien dan keluarganya -- yang juga lagi-lagi masih antre di depan loket. Inilah sisi lain dari potret pasien BPJS di rumah sakit era Presiden Jokowi.
Makanya, sahabat saya De Guntoro juga meninggalkan komentar di status facebook saya. "Kan antriannya panjang bang, maklum BPJS. Perlu kesabaran tingkat tinggi he he he. Smoga lekas sembuh anaknya.."
Apa yang saya posting di facebook, juga tak luput dipantai oleh Maria Etha. "Bang, apakah karena RSUD ya? Kalau di swasta mungkin lebih baik? atau RS BUMN? Memang di BUMN juga padat antriannya, tetapi perasaan saya kok lebih nyaman ya?"
Pedapat lain disampaikan oleh sahabat saya Aok Baelah. "Perlu reformasi mental para petugas rumah sakit seluruh Indonesia. Mereka sama sekali tidak punya empati dan menganggap dan memperlakukan pasien-pasien BPJS seperti pengemis. Mereka pikir RS tempat mereka bekerja adalah milik mbahnya". Nah lo...
Dimas Supriyanto menutup dengan komentar sejuk, "Mendoakan putrinya lekas sembuh dan bapaknya tetap sabar.."
[caption id="attachment_345163" align="aligncenter" width="700" caption="Foto : Nur Terbit -- Putriku di ruang rawat inap RSUD Kota Bekasi, Ruang Tulip kelas II"]
*****
KETIKA menjelang siang hari, perlahan suasana mulai terasa sepi di bagian pendaftaran pasien BPJS dan umum. Begitu juga di bagian administrasi. Padahal di dua tempat ini, naudzubillah, berjibun ratusan calon pasien maupun pasien dan keluarganya setiap hari. Saking membludaknya, jumlahnya "luber" bak air bah hingga ke tempat parkiran. Ruang gerak pun terasa susah.
"Saya sudah datang sejak dini hari, biar dapat nomor antreannya kecil," kata Kiki, pasien bedah RSUD Kota Bekasi.
Keramaian antrean di siang hari, berpindah ke depan poli. Deretan ruang poli tempat praktek dokter ini -- mulai poli saraf, poli bedah, poli ortopedi dan ruang tindakan dokter -- posisinya berada di dalam gedung RSUD di bagian tengah pintu masuk utama rumah sakit.
Deretan kursi di ruang tunggu tersebut, juga tak mampu menampung ratusan orang pasien dan calon yang akan diperiksa oleh masing-masing dokter ahli. Hanya saja, sedikit lebih nyaman karena dilengkapi AC pendingin ruangan yang dijejali manusia itu. Sangat berbeda di ruang pendaftaran dan proses administrasi pasien. Selain sempit, juga udara panas dari ruang parkiran menyebar ke tempat antrean.
Di depan masing-masing poli ini, agaknya nomor urut antrean pasien -- yang diperoleh dengan cucuran keringat perjuangan dan doa itu -- seolah tidak berlaku lagi. Ada pasien dan calon pasien bernomor urut 200-an, disalip oleh pasien lain bernomor di atas 500-an. Akibatnya sering menimbulkan emosi di antara mereka.
"Betul, nomor urut gak berlaku lagi kayaknya di ruang ini. Saya yang datang sejak pagi dengan nomor urut 100-an, dilewati oleh orang lain yang nomor urutnya lebih besar," gerutu seorang pasien yang sudah sepuh. Nah itulah bedanya di jalan raya. Kalau di jalan raya, sesama bus kota dilarang saling mendahului. Di rumah sakit, sesama pasien boleh saling menyerobot. Waduh....
Dari status saya soal BPJS yang dimuat berseri di facebook itulah, seorang teman bernama Aok Baelah lalu mengusulkan, "Om Nur, bikin LSM BPJS Watch, Forum Pengamat BPJS". Ya, boleh juga kali ya? Hehehe.. (Bersambung)
Baca juga tulisan terkait berikut ini :
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2014/12/16/pasien-bpjs-perjuangan-panjang-ke-rs--692154.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H