Sandiaga Salahuddin Uno, cerdas, tajir, tampan, dan santun. Namanya moncer. Politik, melapangkannya jalan baru, pilihan terjal dibanding dunia bisnis yang selama ini digeluti. Ujungnya bisa manis atau pahit, sakit atau senang.
Tapi sekecil apapun peluang, Sandiaga adalah tipe orang yang berkawan dengan krisis, tahan banting, dan petarung. Dari kondisi carut marut ekonomi, bisa maksimalkan peluang, membangun jaringan bisnis, hingga jadi pesohor.
Politik bagi Sandiaga adalah hal baru, dunia yang belum lama digeluti, namun insting, keberuntungan, dan strateginya, berbuah manis.
Saat ini, menatap pilpres. Bertaruh, meletakkan jabatan wakil gubernur Jakarta untuk jabatan mentereng "Wakil Presiden".
Banyak yang nyinyir, tapi tidak sedikit yang puji. Langkahnya dianggap kurang tepat, minim prestasi, karbitan, dan sederet kata kata kurang pantas.
*****
Sandiaga tentu paham dinamika politik Indonesia, beserta kerumitannya. Di saat sistem kelembagaan negara belum maju dan modern, alat-alat kuasa itu gampang diarahkan moncongnya, untuk memukul. Karir dikubur, bisnis digembosi.
Setiap Era kekuasaan, banyak contoh, politisi oposan, naas, dan kandas seketika, berkibar diawal, terhempas diakhir.
******
Apa yang perlu dipelajari dari seorang Sandiaga?
Sebelum membahas Sandiaga, perlu diulas terlebih dahulu, cara-cara politisi menguasai pentas, membangun jejaring, dan menambah pundi-pundi kekayaan.
Sudah jadi rahasia umum, banyak politisi di republik ini, masuk gelanggang untuk memperkaya diri, memburu rente proyek, dan menilep uang rakyat, bagi-bagi fee sekian persen dari APBN dan APBD. Hasil dari praktik korupsi itu digunakan mendirikan perusahan ini, itu. Membeli ragam properti, tanah dan aset untuk dikembangkan. Sebagai sarana pencucian uang, dan digunakan kembali menancapkan pengaruh.
Tersebutlah, Setya Novanto, bermain penuh intrik dan konspirasi, melanggengkan kuasa dengan cara di luar nalar. Novanto adalah satu dari sekian banyak politisi kotor. Di luar sana, masih banyak rupa Novanto-Novanto lain. Berwujud nyata di eksekutif, legislatif, dan yudikatif.
Konspirasi itu, susah dibuktikan namun aromanya bisa tercium. Politisi bermain culas, gampang dideteksi. Media Sosial cukup masif digunakan menyiar kabar.
Baru-baru ini, dalam Pilgub Sulsel, seorang tokoh kaliber nasional ikut kontestasi. Amunisi melimpah, sudah lama meng-endorse diri, dari kampung ke kampung keliling. Menarik simpati khalayak. Apalacur, namanya kadung rusak, masih tercium aroma cengkeh, minyak dan beras, dibenak pemilih. Dia pernah meringkuk dibalik jeruji besi.
*****
Kalau ditelusur cara Sandiaga jadi jutawan, kita akan terkesima, berjuang sedari muda, mengumpulkan aset berlimpah dari perusahaan-perusahaan yang bangkrut. Ditata ulang dan dijual kembali dengan harga tinggi. Sudah puluhan perusahaan direstrukturisasi dan dijual ke pasar. Â
Sebelum jadi pebisnis, Sandiaga malah melintang di berbagai perusaan mentereng, menaiki puncak karier kemudian tersungkur jadi penganggur. Dari pengalaman yang paripurna, kemudian berubah haluan jadi pebisnis tangguh.
Dari jejak yang pernah ditapaki, dari hulu ke hilir, Sandiaga bukan bagian dari politisi pemburu rente. Mengumpulkan kekayaan dari cara tidak benar. Moralitasnya teruji dan bukan bagian dari masalah klasik politisi di Indonesia. korupsi.
*****
Jelang penetapan Capres dan Cawapres, banyak prediksi di luar kira, kemudian terpilih memasuki arena. Pilihan Prabowo pada Sandiaga juga penuh polemik, tak disangka. Sebagai kompromi atas kebuntuan lobi. Resistensi membelah mitra koalisi, cawapres dari PKS-PAN ditentang oleh Demokrat, begitupun sebaliknya. Maka, pilihan rasional merangkul, jatuh pada Sandiaga.
Sayangnya, tersiar kabar dari tweet Andi Arief politisi Demokrat, duit berkardus jadi pemulus. Jumlahnya tidak main-main, 500 Milyar. Saat seluruh mata tertuju pada layar kaya, dengan cepat disambut dan dibincangkan di medsos. Banyak yang percaya, tapi tidak sedikit menggapnya fitnah.
Orang yang marah, biasanya logikanya kalut, emosinya memuncak, timbang lara, benar atau tidak soal belakang, yg penting apa yang diinginkan terlaksana. Dan petinggi demokrat sedang terjepit.
Tidak dipilihnya AHY jadi petaka, pengaruh ekor jas bisa berpengaruh pada suara Partai Demokrat di Pileg. Pilpres dan Pileg dihelat serentak, dengan majunya kader partai akan dapat limpahan suara dari pemilih. Dan AHY sebagai pewaris trah Cikeas harus diberi arena mematangkan diri.
Dalam kacamata penulis, siapun yang dipilih Prabowo dan itu bukan AHY, maka kabar mahar tetap digunakan menghantam.
Wassalam.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H