Hari-hari berlalu tanpa pernah berhenti memberiku pengalaman menarik selama jalani tugas mengajar di Lubok Kayoh School. Rutinitas mengajar selama 5 hari seminggu membuka kesempatan untuk bertemu dan mengenal lebih banyak orang-orang baru di kampung sekitar lingkungan sekolah.Â
Dari pedagang-pedagang jajanan yang berjualan diluar pagar sekolah, orang tua siswa yang sedang menunggu anaknya pulang, hingga grup tentara kerajaan yang rutin berpatroli dengan berjalan kaki lengkap dengan perlengkapan tempurnya yang setiap pagi menyisir seluruh kampung Lubok Kayoh ini.
Belum lagi jika pada akhir minggu ada kegiatan masyarakat setempat yang melibatkan sekolah seperti ulang tahun desa yang disertai festival budaya lokal dan lomba-lomba tradisional, akupun turut bersama guru-guru lain menghadirinya, dan tak membuang kesempatan untuk mengabadikan setiap momen langka itu lewat kamera.
Dalam acara-acara seperti itu semakin banyak peluangku mengenal penduduk kampung kecil ini lebih dekat, terlebih lagi banyak dari guru sekolah merupakan warga asli kampung yang sudah barang tentu memiliki kerabat dan saudara akhirnya kukenal juga.Â
Disini kualami dan kubuktikan sendiri bahwa jauh lebih mudah menjalin hubungan dengan masyarakat di daerah terpencil dibandingkan di kota besar, bahkan untuk warga asing sekalipun yang banyak terkendala dengan budaya dan bahasa. Dalam suasana psikologis masyarakat seperti ini aspek emosional lebih berperan ketimbang aspek intelektual.Â
Beberapa murid juga sesekali mengunjungiku saat akhir minggu di rumah dinas yang disediakan sekolah. Rumah ini berjarak 8 kilometer dari sekolah dan terletak di komplek perumahan dinas yang diperuntukkan bagi guru-guru pegawai pemerintah yang mengajar di sekolah-sekolah kerajaan dalam wilayah sekitar kota Tanyong Mat. Lokasinya tak jauh dari Balai kota dan kediaman Walikota, kantor Markas Tentara Distrik juga berada tak jauh dari sini lengkap dengan taman kota sebagai fasilitas umum bagi masyarakat.
Taman kota yang bernama "Ban Park" itu selalu ramai pengunjung di saat akhir pekan. Pemandangan keramaian di lapangan  taman kota itu dapat kulihat dari kamar tidur di lantai dua rumah dinas dengan desain rumah panggung yang kutinggali ini. Lapangan basket, jalur 'Ramp' skateboard dan jogging track tersedia disana sebagai fasilitas umum yang dapat digunakan siapa saja setiap waktu.
"Guru, bolehkah kami datang ke rumah Ban Park bila cuti?", tanya Fairus seorang muridku suatu hari, yang maksudnya meminta ijin untuk berkunjung ke rumahku saat libur akhir pekan, aku sedikit terkejut dengan pertanyaan itu dan sekaligus merasa senang karena mereka tak sungkan untuk lebih mengenalku lebih dekat. Langsung saja ku-iyakan permintaan mereka dan mempersilahkan untuk datang pada hari sabtu.
Pada pagi hari Sabtu yang ditentukan ku-sempatkan diri pergi ke pasar membeli makanan dan minuman untuk kusuguhkan kepada tamu-tamu kecilku ketika datang. Tak berapa lama sekembali dari pasar, Fairus pun tiba dengan tiga anak lain yang semuanya murid kelas 8.
Aku mengajar bahasa Inggris di sekolah mereka, walaupun itu bukan program studi yang aku pelajari di kampusku di Indonesia, aku cukup menguasai bahasa Inggris verbal. Po'o Sulaeman sang kepala sekolah  mencantumkan guru bahasa Inggris ketika ditanya spesifikasi guru tugas dari Indonesia yang diinginkan untuk didatangkan oleh organisasi yang mengundang kami sebagai mahasiswa Indonesia program PPL-KKN Internasional, yang merupakan kerjasama antara pemerintah Indonesia dan Thailand dalam bidang pendidikan.Â
Sebanyak 46 mahasiswa dengan spesifikasi berbeda dari berbagai kampus di Indonesia yang dikirim ke Thailand kali ini tergabung dalam angkatan IX. Pada saat mendaftar program ini kutulis Bahasa Inggris sebagai bahasa lain yang dikuasai selain Bahasa Indonesia.
Aku coba menyapa Fairus dan teman-temannya dengan bahasa Inggris ketika mereka datang, mereka tertawa dan menggeleng sambil berkata. "saye tak pandai cakap angkrik (Inggris dalam bahasa Thai) guru". Lalu kutimpali, "You have to try to speak in English if you come here, or I would not allow you to come again next time". Setelah minta aku menerjemahkan dalam bahasa melayu, lalu mereka kembali tertawa dan menjawab hampir bersamaan, "Ok sir".Â
Akhirnya kami ngobrol dengan segala bahasa yang kami punya, setidaknya berusaha sebisa mungkin saling memahami entah dengan cara apapun, dan ternyata berhasil. Mereka mulai berani mencoba memakai kata-kata dalam bahasa inggris sederhana tanpa takut dan  malu untuk salah, karena aku mengatakan pada mereka, "You are not English man but you are Thai, so that's very normal to be wrong and false when you talk in English. That's the reason why we need to learn"
Kunjungan keempat muridku siang itu kembali mengenalkanku lebih dalam tentang budaya keseharian mereka. Kami banyak mengobrol tentang kebiasaan-kebiasaan yang berbeda dalam budaya masing-masing, dan yang lebih penting lagi pertemuan ini telah berhasil meningkatkan hubungan emosional kami lebih jauh.Â
Ketika mereka berpamitan untuk pulang, aku merasa bahwa hari itu akan menjadi salah satu hari terbaik selama masa tinggalku di sini, dan kuyakin  tak akan mudah untuk melupakannya.
(bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H