Kabut malam mulai menghilang tersapu angin pagi awal bulan November. Kulaju motor pinjaman dari sekolah tempatku bertugas ini susuri aspal mulus kota tua yang masih senyap, sembari sesekali mengingat arah jalanan yang masih asing bagiku.Â
Tak saja jalanan yang membuatku merasa asing disini. Orang-orang, bahasa, makanan, bahkan gaya rambut para prianya pun bikin dahiku berkerut.
Bagaimana aku sampai di kota ini dua hari lalu adalah cerita panjang tak berujung, walau coba sejernih mungkin memahaminya, tetap saja tak kutemui jawabannya. Akhirnya dengan pasrah kuakui bahwa ini semua adalah jejak takdir yang harus kulalui tanpa harus bertanya mengapa.
Kota mungil dengan satu jalan utama yang mengarah ke pusat kota ini mengingatkanku akan kota-kota kecil di pesisir selatan pulau Jawa. Keramaian hanya akan ditemui jika kita berjalan ke arah pasar.Â
Tanda kehidupan mulai terlihat seiring kuarahkan motor menuju Stasiun kereta api yang tampak lebih mirip halte bis jika sepintas dilihat sembari berkendara.Â
Beberapa anak perempuan berkerudung memasuki peron dengan menggendong tas sekolah, sepagi ini mereka harus berangkat mengejar mimpi dan cita-cita tinggi untuk menjadi orang yang mulia dengan menumpuk ilmu di kepala, walau mereka pun sebenarnya belum mengerti bagaimana menggunakannya nanti.Â
Setelah Stasiun, hanya dengan satu belokan ke kiri, sampailah aku di jalanan penuh deretan toko yang sebagian masih tutup dengan papan nama yang kebanyakan tak bisa kubaca karena tertulis dalam bahasa dan huruf Thai. Membacanya saja aku tak bisa, apalagi memahaminya, keterasinganku semakin menjadi-jadi.
Seketika aku lega ketika mataku tertuju ke sebuah kedai yang berbeda dengan yang lain. Terlihat lebih modern dengan kaca-kaca lebar, namanya tertulis dalam huruf latin dan memakai bahasa Inggris..."Seven Eleven".
Gerai waralaba asal Amerika ini sesaat membuatku tenang, sejenak aku merasa tidak sepenuhnya menjadi seorang yang buta huruf di sini. Barang-barang yang dipajang tertulis dalam dua bahasa yaitu Inggris dan Thai, sehingga aku tak kuatir membeli sesuatu yang bukan kebutuhanku hanya karena salah mengira-ngira arti tulisan yang tercantum pada bungkusnya.
Segera kubeli beberapa minuman kemasan dan makanan kecil yang biasa didapati di gerai sejenis di Indonesia, penjaga toko menunjukkan keramahan diatas rata-rata yang kutahu bahwa itu standar pelayanan mereka dan dilatih saat mereka mulai bekerja.Â
Bahasa Inggris pun coba mereka gunakan untuk menyapa setelah mereka tahu aku adalah bukan berasal dari situ, entah bagaimana mereka mengenalinya? mungkinkah karena bahasa tubuhku menunjukkan bahwa aku merasa asing disini?Â