Nusantara Zamrud Khatulistiwa demikian yang dijuluki Cladius Ptolomeus ahli Geografi dari Yunani dalam bukunya ‘Geographia’. Nusantara kata Claudius sebagai tanah subur yang kaya komoditas pertanian. Julukan itu ternyata tidak mampu membuat negeri ini mensejahterakan petani sebagai penghasil Komoditi hasil pertanian. Alih-alih mensehjahterakan, mempertahankan gelar ‘Iabadiu” atau Pulau Padi seperti yang ditulis buku itu pun jauh panggang dari api. Kementrian pertanian merilis 150 ribu hektar lahan pertanian tiap tahun lenyap berubah fungsi menjadi areal non pertanian, Jika masih hidup mungkin saja buku itu akan diralat oleh penulisnya.
Kondisi itu membuat Indonesia sebagai Negara agraris bernasib tragis. negeri ini rapuh dalam bidang ketahanan pangan. Produksi domestik ternyata jauh lebih kecil dari kebutuhan dalam negeri. Petani semakin termarjinalkan karena semakin sempitnya lahan, bahkan lahan-lahan pertanian milik adat pun terampas oleh kepentingan pemilik modal guna kebutuhan industri berbagai sektor, pemerintah tidak mampu berbuat banyak. Pemerintah bukan memberi petani tanah sebagai asset produksi, malah membiarkan petani penggarap berkonflik menumbalkan nyawanya memperebutkan lahan dengan pemilik modal, korporasi perkebunan dan pertambangan yang disokong kebijakan pemerintah dengan mengantongi berbagai ijin yang merugikan rakyat.
Menyusutnya lahan pertanian yang begitu tinggi, berimplikasi terhadap produktifitas dan kesehjahteraan petani. Belum lagi kesulitan dalam mendapatkan benih, pupuk dan distribusi air, semakin mencekik leher petani kita. Anehnya kondisi ketidakadilan yang banyak ditonton rakyat itu bukan membuat pemerintah berpikir inovatif mencari terobosan mengerem laju konversi lahan dan menciptakan sistem distribusi kebutuhan produksi yang lebih adil.
Kebijakan yang diambil justru bersifat pragmatis dan sarat politisasi pangan yang semakin menambah beban hidup petani. Dalam catatan Badan Pusat Statistik (kabar bisnis, 22 Agustus 2012) untuk memenuhi kebutuhan domestik karena kurangnya jumlah produksi, Indonesia mengimpor 7 komoditas pertanian. Selain Mengimpor kentang, Gandum, Tepung Terigu,Kedelai,Jagung,Beras dengan nilai Ratusan Juta Dollar, Indonesia pun mengimpor Singkong dari Kamboja, Vietnam, Cina dan Italia yang mencapai nilai 3 Juta US Dollar. Miris dan ironis memang terdengarnya, lirik terkenal ‘tongkat kayu jadi tanaman’ yang dipopulerkan Koes Plus sudah tidak relevan lagi untuk kondisi Indonesia yang kini sebagai Negara pengimpor bahan pangan.
Ironi demi Ironi tak berhenti, kisah sedih negeri agraris ini terus berlanjut. Babak baru menebar siasat terus dilakukan. Terkesan negeri agraris akan dilepaskan dan berganti menjadi Negara industri. Menteri pertanian awal bulan September 2012 telah meresmikan peluncuran beras analog hasil penemuan Institut Pertanian Bogor (IPB). Beras analog dimungkinkan untuk mengurangi jumlah konsumsi beras tiap tahunnya. Beras analog yang dipersiapkan IPB itu terbuat dari 3 jenis tepung sebagai bahan bakunya yaitu tepung jagung, tepung sagu dan tepung singkong dengan dibuat mirip seperti bulir-bulir beras yang terbuat dari padi. Kini IPB berharap hasil penemuannya itu bisa diproduksi secara massal.
Jika keinginan IPB itu direalisasikan, sementara data tahun ini impor singkong Indonesia dari China sudah sebanyak 5.057 ton senilai US$ 1,3 juta dan dari Vietnam sebanyak 1.342 ton senilai US$ 340 ribu, setelah sebelumnya tahun lalu Italia juga mengirimkan singkongnya ke Indonesia. Sungguh volume yang sangat fantastis untuk sebuah singkong yang sangat mudah ditanam dinegeri kita.
Lalu bagaimana dengan pemenuhan jagung yang juga bakal menjadi bahan baku beras analog. Lebih hebat lagi jumlahnya dari singkong, untuk ukuran komoditas yang juga mudah ditanam di Indonesia ini pemerintah dari Januari hingga Mei tahun ini, telah mengimpor sekitar 653 ribu ton jagung dengan nilai US$ 186,4 juta. India memasukkan 548,5 ribu ton jagung dengan nilai US$ 151,7 juta. Kemudian, Amerika Serikat sebanyak 42,5 ribu ton dengan nilai US$ 14,5 juta.
Ditambah jagung dari Argentina sebesar 44,8 ribu ton sebesar US$ 13,8 juta. Sedangkan sebanyak 10,9 ribu ton jagung sebesar US$ 3,4 juta dari Brasil, dan 419 ton jagung dengan nilai US$ 1,4 juta dari Thailand.
Dipastikan, realisasi produksi beras analog secara massal hanya akan melahirkan industri baru di bidang rekayasa beras. Jika pemerintah membuat kebijakan atas pemasaran beras analog dipastikan bakal tumbuh juga perusahaan-perusahaan importir memasok kebutuhan bahan baku beras analog yang sudah diduga jumlah kebutuhannya akan naik beratus-ratus kali lipat. Lalu bagaimana dampaknya terhadap petani kita?
Pembaruan Agraria Mandeg
Tidak adanya kesadaran dan kemauan elit politik, daya tawar politik petani yang masih lemah, dan data pertanahan yang kurang memadai serta jauh dari akurat, menjadi penyebab mandegnya agenda pembaruan agraria yang diamanatkan dalam Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) sejak tahun 1960. Tidak berjalannya pembaruan agraria menjadi indikator terus berlangsungnya konversi lahan dan pemiskinan terhadap petani. Sekalipun Nanti ada kebijakan produksi massal beras analog dipastikan tidak sedikitpun berdampak positif bagi kesejahteraan petani.
Pemerintah masih terus beretorika soal reforma agraria tanpa langkah kongkrit. Konflik dan sengketa pertanahan antara rakyat dan para pemodal yang terus menguasai tanah masih terus terjadi dipelosok negeri sampai harus dialiri darah rakyat yang tertumpah.
Puncak retorika yang dilakukan penguasa dalam soal pembaruan agraria wujudnya adalah mengajukan RUU Pengadaan Tanah bagi Pembangunan untuk kepentingan Umum pada Desember 2010 yang kemudian disahkan DPR. UU No.12 Tahun 2012 ini lahir untuk menikam UUPAyang lebih pro rakyat. Lahirnya UU pengadaan tanah sangat kontradiktif dan bertolak belakang dengan semangat UUPA karena begitu mengakomodir kepentingan pemilik modal. Lolosnya UU pengadaan tanah bukti serius kesadaran dan kemauan elit politik yang masih lemah untuk menjalankan amanat UUPA.
Kemauan dan kesadaran elit baru sebatas penerbitan UUPA. Sedang implementasinya, mandeg. Bisa dibayangkan sudah 52 tahun dan 6 kali ganti presiden implementasi UUPA masih tetap jalan ditempat.Hal lain yang membuat mandeg adalah daya tawar politik dari petani Indonesia sangat rendah. Petani cenderung diposisikan warga kelas dua. Tanpa pernah mendapatkan perhatian serius Hal ini mengakibatkan posisi petani lemah dan hanya menjadi komoditas politik para elit penguasa saja. Ketidakberdayaan petani jelas terlihat dalam pengadaan pupuk misalnya, petani tidak diberi ruang untuk ikut berpartisifasi menekan laju harga pupuk dan tidak bisa ikut menentukan harga gabah saat panen tiba.
Kepemilikan lahan yang hanya di bawah 0,5 hektar membuat petani kita hanya menjadi petani yang hanya sekedar bertani untuk bertahan hidup memenuhi kehidupannya sendiri.
BPN Harus Serius
Banyak program yang dijalankan Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menjadi kepanjangan tangan pemerintah dalam persoalan pertanahan. Namun sayang program di BPN justru ikut carut-marut. Soal Prona misalnya, dalam ketentuan pasal 1 butir a PP No.131 Tahun 2010 tentang Jenis dan tarif Atas Jenis Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang berlaku pada Badan Pertanahan Nasional mengatur tentang pelayanan survei, pengukuran dan pemetaan. Pasal ini punya potensi menimbulkan persoalan hukum, dengan tidak adanya penetapan tarif resmi.
Di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat (NTB) contohnya, biaya survei, pengukuran dan pemetaan Rp100 ribu per petak tanah. Padahal pada Prona 2008 mengamanatkan pengurusannya harus berbiaya ringan (Politik Indonesia 4,September 2010). Sayangnya, APBN untuk proyek Prona juga masih sangat minim. Minimnya anggaran membuat oknum BPN berani memungut biaya dalam program sertifikasi prona. Prona 2009 di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten justru dijadikan ajang pungli. Warga maupun pihak instansi pemerintah Daerah mengaku dipungut jutaan rupiah dalam mengurus sertifikat prona namun sertifikat tak kunjung terbit juga. (Kabar Banten 22, Juli 2011)
Kini BPN mengaku memiliki data adanya 4,8 juta hektar lahan terlantar. Kepala Pusat Hukum BPN Kurnia Toha mengungkapkan, tanah tersebut bias dimanfaatkan untuk perkebunan, maka bisa menghasilkan pendapatan bagi negara. Tetapi karena tidak dipakai, tanah itu jadi sia-sia.
tanah-tanah telantar ini pada dasarnya sudah dikuasai oleh pengusaha dengan bermacam izin seperti untuk hak guna usaha (HGU), hak guna bangunan (HGB), hak pakai, atau hak pengelolaan. Namun, tanah-tanah berizin tersebut malah tidak dimanfaatkan atau ada yang memanfaatkan tidak sesuai dengan peruntukan izin. Batas waktu yang diberikan pemerintah bagi para pengusaha untuk mengelola lahan sejak diterbitkannya izin adalah tiga tahun.
Jika saja BPN mau serius seharusnya 4,7 juta hektar lahan itu berpotensi untuk kembali menjadi lahan pertanian rakyat. BPN harus segera menjalankan semua tahapan untuk bisa mengambil alih jutaan hektar tanah terlantar tersebut sesuai perundangan dan peraturan yang berlaku yang menjadi kewenangan BPN. Aturannya sudah jelas, PP No.11 Tahun 2010 tentang Penerbitan dan Pendayagunaan Lahan Terlantar. Pemerintah dapat mengambil alih dan memanfaatkannya untuk kesejahteraan petani kecil.
Target dari PP tersebut adalah tanah negara yang tidak termanfaatkan. BPN harus bisa menjamin dan menarget keberadaan tanah terlantar tersebut selesai 1 juta hektar pertahun dan meredistribusinya kepada rakyat petani,itu jika BPN mau serius menjalankan agenda reforma agraria.Pendistribusiannya pun harus benar-benar terarah kepada petani. kalau rata-rata petani ditambah 0,5 hektar maka akan ada sekitar 2 juta petani yang lahannya bertambah dalam satu tahun. BPN dan pemerintah daerah harus saling bersinergi untuk mengembalikan kesejahteraan petani melalui program tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H