Sejak zaman Orde Baru, Golkar mengakar di kampung saya. Waktu kecil, saya masih mengingat seorang tetangga yang dikucilkan lantaran berbeda pilihan. Tahun 1997, saya menjadi pemilih pemula, dan nénék memaksa saya untuk memilih Golkar tanpa memberikan alasan apapun. Bapak juga melakukan instruksi yang sama. Nénék—karena seorang véteran—memberikan iming-iming bahwa saya sudah didaftarkan menjadi anggota PPM (Pemuda Panca Marga), yang kelak bakal dapat warisan gaji. Begitulah setiap Pemilu, selalu ada instruksi, dan saya tak pernah mengindahkannya.
Pada pemilu-pemilu sebelumnya, saya tak peduli siapa yang akan jadi anggota déwan atau pemimpin. Saya hanya mencoblos yang saya suka, atau tidak sama sekali. Siapapun yang menang ya begitulah, saya terima dengan lapang dada. Tetapi kali ini, ada yang mengusik untuk bersuara sebelum penghitungan suara. Setidaknya dengan menulis.
Berawal dari obrolan kecil di ruang tengah, di sela-sela menimang sang cucu, ibu saya menceletuk: “Emih mah rék nyoblos nomer hiji (Ibu akan memilih nomor satu)!” katanya, dan kemudian diiyakan oleh bapak. Saya tak héran, mengingat sisa-sisa Golkar masih mengakar di kampung kami. Itu hak orang tua saya dalam menentukan pilihan. Justru saya merenungi jawabannya ketika ditanya “kenapa”. Dengan nada polos, ibu saya memberi alasan dengan sedikit menyudutkan, tentang fisik, tentang perbedaan keyakinan agama, tentang sesuatu yang menurut saya tidak rasional. Saya yakin ini bukan pemikiran beliau semata, melainkan bisikan dari yang lain. Dan, tiba-tiba saya bertanya pada diri sendiri, kenapa bisa berbéda pilihan dengan orang tua?
Saya tidak tahu, apa yang akan terjadi, siapapun calon yang terpilih nanti. Terserah Tuhan. Saya hanya mendapatkan sedikit sinyal dari rekam jejak mereka: tentang apa yang pernah mereka lakukan sebelum mendéklarasikan sebagai calon. Rekam jejak selama kampanye lain lagi, karena tentunya telah mendapatkan bumbu ini dan itu, dengan bisikan dari sana-sini, serta memosisikan sosok yang paling pantas untuk dipilih, karena kampanye adalah promosi. Untuk menyegarkan ingatan, saya membaca lagi kliping digital sejak tahun 1990-an sampai sekarang, mencoba bersikap netral untuk membuat poin kepatutan dan ketidakpatutan berdasarkan tafsiran pribadi tentang rekam jejak tersebut.
Meskipun berbeda pilihan, sungguh tidak sopan jika saya kemudian mengajak berdebat, dan lantas membeberkan apa yang pernah saya baca. Saya hanya bilang bahwa pilihan saya nomer dua, dengan alasan: “Karena bapak saya telah terbiasa bermandikan keringat. Bapak saya pekerja keras. Bapak saya petani. Bapak saya tukang kayu. Dan keluarga kita terdiri dari orang-orang kurus. Dan kita memilih: menentukan pilihan atau membiarkan. Dan kita tidak punya kepentingan apapun, dan kita ingin memilih dengan nurani.” Bapak hanya mengangguk, mungkin mencoba untuk mencermati getaran suara sang anak, atau bahkan sedang berusaha menyeragamkan suara.
Kéésokan harinya, saya mencari spanduk calon nomor dua, memasangnya di pagar rumah sebagai bentuk keberagaman. Dan bapak kemudian memberi makan ikan, menyaksikan ikan mas besar menyantap daun kecubung, menghilang dan kemudian menaburi padi dengan pupuk. Dari dekat tiang bendera itu, bapak berjalan menjauh, menjauh, menuju padi-padi yang ingin tumbuh dengan baik.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H