[caption id="attachment_393906" align="aligncenter" width="624" caption="Ilustrasi demo guru honorer. (KOMPAS.com/Putra Prima Perdana)"][/caption]
Membaca harian Umum Pikiran Rakyat edisi 10/12/2014 halaman 6, berita tentang “Ribuan Guru Honorer Tak Jelas Nasibnya” sahabat saya Saudara Toto Ruhiyat Ketua Umum Forum Komunikasi Guru Honor Sekolah (FKGHS) Kabupaten Bandung mengungkapkan kondisi guru honorer terutama yang belum lulus ujian Kategori 2. Mereka mempertanyakan kepastian status selanjutnya kepada pihak pemerintah. Rekrutmen CPNS melalui jalur Kategori 2 merupakan realisasi dari Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2012 sebagai perubahan kedua dari Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 tentang pengangkatan tenaga honorer menjadi CPNS.
Begitupun sahabat Saya Saudara Yanyan Ketua Forum Komunikasi Guru Honor (FKGH) Kota Bandung sering melakukan aksi mendorong political will pemerintah dalam memperhatikan guru honorer di Kota Bandung khususnya, bahkan akhir-akhir ini mereka menuntut untuk secepatnya bantuan dari Pemkot bagi guru honorer segera dicairkan.
Barangkali, Kang Toto juga Kang Yanyan merupakan potret pejuang guru honorer khususnya di Jawa Barat, dan saya yakin banyak aktivis Guru Non-PNS yang konsen mendorong kebijakan pemerintah baik tingkat lokal maupun tingkat nasional. Mereka berjuang sebagai bentuk kepedulian sesama agar terwujudnya masa depan guru honorer lebih baik.
Membicarakan guru honorer seakan tidak akan lepas dari berbagai problem, dari mulai minimnya kesejahteraan, perubahan status yang belum pasti, jaminan kesehatan, dan problem lainnya. Seakan hal itu melekat dalam menjalani profesi sebagai guru yang jika dideskripsikan tugas mereka barangkali sama dengan guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil.
Diakui atau tidak, peran guru non-PNS tersebut sangat membantu pemerintah. Peran yang begitu strategis tersebut perlu adanya pengakuan dari pemerintah baik pusat maupun daerah untuk memberikan perlindungan bagi mereka dalam berbagai aspek misalnya perlindungan kesehatan, perlindungan hukum, perlindungan profesi, perlindungan kesejahteraan, dan perlindungan hak atas kekayaan intelektual.
Contoh misalnya di Kabupaten Bandung menurut Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan jumlah guru honorer sekitar 15.000 orang sedangkan guru PNS berjumlah 13.332 orang (sumber “PR”, 10/12). Jika dijumlahkan keseluruhan guru PNS dan honorer di Kabupaten Bandung berjumlah 28.332 orang. Dari jumlah keseluruhan guru tersebut, 52 persen ternyata guru honorer turut berkontribusi dalam melayani pendidikan di Kabupaten Bandung.
Semangat mereka mendidik di sekolah/madrasah walaupun masih ada yang mendapatkan honorarium berkisar Rp. 300.000 – 500.000/bulan tidak melunturkan semangat mereka. Dengan minimnya honorarium yang mereka terima, seringkali guru honorer melakukan pekerjaan tambahan, ada yang berjualan, ada yang membuka kursus di rumahnya, ada yang wiraswasta, bahkan ada yang menjadi tukang ojeg ketika sudah selesai tugas di sekolah. Itulah salah satu potret guru honorer yang saya ketahui di lapangan. Mereka harus mendua karena tuntutan kebutuhan keluarga yang harus mereka cukupi.
Hemat penulis, pengembangan profesi dan karier guru honorer baik yang mengabdi di sekolah negeri maupun swasta di bawah Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga Kementerian Agama perlu difasilitasi oleh Pemerintah. Kewajiban tersebut tentunya bukan hanya urusan pemerintah pusat saja akan tetapi pemerintah daerah pun memiliki andil untuk melakukan hal itu. Dengan adanya sinergitas yang baik dan komitmen untuk melakukan perlindungan masa depan guru honorer, hal itu akan semakin memberikan penguatan terhadap eksistensi guru non-PNS dalam menjalani pengabdian yang tulus dan jaminan masa depannya. Semoga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H