Pernyataan yang boleh disebut benar bahwa meningkatkan sumber daya manusia hanya dapat ditempuh melalui pendidikan baik pendidikan formal maupun nonformal. Realitanya, pendidikan formal masih merupakan primadona yang ditempuh banyak orang untuk memperoleh pendidikan setinggi-tingginya yang diasumsikan akan memudahkan mereka dalam mengarungi kehidupan yang lebih baik di masa mendatang.
Dalam perkembangannya, ternyata bahwa tidak secara otomatis pendidikan formal dapat memenuhi kebutuhan orang dalam memperoleh pendidikan justru melahirkan sejumlah permasalahan yang kadang tidak dapat diatasi oleh pendidikan formal tersebut. Â Apa itu ? seperti tidak semua peserta didik yang sedang menempuh satu jenjang pendidikan formal dapat menyelesaikannya sesuai waktu yang ditentukan, atau tidak semua lulusan pendidikan formal pada satu jenjang dapat melanjutkan kependidikan formal selanjutnya.
Orang (mungkin) sengaja melupakan atau sengaja dimarginalkan tentang kehadiran pendidikan nonformal yang sebenarnya memiliki kontribusi menyelesaikan permasalahan pendidikan yang belum dapat diselesaikan oleh pendidikan formal tanpa mengabaikan mutu. Pendidikan nonformal dapat dijadikan sebagai sarana memperoleh pendidikan yang lebih baik.
Kalau kita melirik kepada pendidikan formal di mana salah satu kriteria yang sering digunakan adalah masalah pembatasan kelompok usia. Pendidikan formal SD usia 6-12/14 tahun, pendidikan SMP usia 12-15/17 tahun dan SMA 16-19/21 tahun.
Untuk usia pendidikan formal SMA dengan rentang usia antara 16-19/21 tahun, artinya menutup peluang bagi yang usianya melebih 21 tahun sulit untuk dilayani melalui pendidikan formal SMA padahal mereka mempunyai hak untuk terlayani pendidikan selevel SMA tersebut.
Di masyarakat sekarang ini di sejumlah daerah justru masih banyak yang usia dewasa 21 tahun ke atas apalagi yang usia minimal 25 tahun yang belum memperoleh pendidikan SMA dengan berbagai alasan.
Ada masyarakat yang tidak memperoleh jenjang pendidikan formal SMA karena tidak sempat masuk sejak awal, putus sekolah di jenjang SMA tersebut, ada yang hanya sanggup sampai kelas 1, 2 bahkan awal kelas 3 SMA saja. Mereka tetap harus dilayani secara adil dan merata.
Kehadiran pendidikan kesetaraan Paket C menjadi pilihan pendidikan yang dianggap efektif. Pendidikan kesetaraan Paket C yang diselenggarakan tidak sekedar instan tetapi mengikuti prosedur yang seharusnya ditinjau dari dua aspek.
Aspek yang dimaksud berhubungan dengan masalah konten pembelajaran mengacu kepada Permendiknas Nomor 14 Tahun 2007 tentang Standar isi dan aspek yang tidak kalah pentingnya adalah aspek kondisi awal peserta didik yang akan dibelajarkan.
Mengapa masalah konten pembelajaran sangat penting dan pokok untuk diperhatikan dalam penyelenggaraan Paket C ? Harus diakui bahwa dipandang sebelah matanya aktivitas pendidikan kesetaraan paket C karena masih dianggap instan, tidak jelas prosedurnya dan cenderung asal-asalan tanpa pola pembelajaran yang terstruktur.
Padahal secara hukum normative, ada Permendiknas Nomor 14 tahun 2007 tentang standar isi yang didalamnya jelas mengatur konten yang harus dipenuhi ketika menyelenggarkan pembelajaran paket C.
Permasalahan yang ditengarai adalah kurang mampunya para pengelola di lapangan dalam menjabarkan standar isi tersebut. Atau kalaupun dilaksanakan tanpa dokumen yang tertata rapi yang tidak mampu ditunjukkan kepada public ketika memintanya.
Oleh karena itu, penjabaran yang rasional dan logis perlu dilakukan oleh para pengelola program Paket C. Paling tidak, penjabaran tersebut berhubungan dengan  analisis struktur kurikulum, pemetaan standar kredit kompetensi (SKK) ke dalam strategi pembelajaran (tatapmuka, tutorial danmandiri), penggunaan media pembelajaran yang efektif, penggunaan variasi metode pembelajaran, instrumen penilaian pembelajaran.
Mengapa pula kondisi awal peserta didik perlu diperhatikan ? ya ini kaitannya dengan layanan pembelajaran yang akan dilaksanakan.
Kalau diketahui kondisi awal peserta didik itu variatif, misalnya ada yang belum pernah di bangku SMA, putus sekolah kelas 1, putus sekolah kelas 2 atau putus sekolah kelas 3 maka layanannya pun harus variatif dan ini berpengaruh terhadap penyusunan konten pembelajaran yang akan dirancang oleh pengelola maupun tutor.
Fakta yang sangat menarik untuk dianalisis adalah, peserta didik yang usia dewasa kecenderungannya memiliki waktu luang untuk belajar relative sedikit karena mungkin mereka memiliki aktivitas sehari-hari yang sulit untuk ditinggalkan.
Umumnya kesiapan mereka dalam satu minggu hanya satu kali pertemuan untuk belajar. Artinya ada permasalahan teknis yaitu bagaimana mengoptimalkan waktu yang relative sangat terbatas tersebut dalam proses layanan pembelajaran tanpa mengabaikan standar isi yang harus dicapai ?
Oleh karena itu upaya terobosan pola pembelajaran penting dilakukan. Hitungan matematisnya dengan memperhatikan kemampuan daya tahan belajar, dalam satu hari itu dapat dilakukan pembelajaran selama maksimal 10 jam pelajaran. Dengan waktu 10 jam pelajaran tersebut sangat tidak mungkin semua matapelajaran diajarkan dengan strategi tatap muka dan atau tutorial.
Salah satu pilihan yang dapat diambil adalah dengan strategi pembelajaran tatapmuka dan tutorial untuk matapelajaran yang diujian nasionalkan (untuk Paket C Jurusan IPS) yaitu PKn, Bahasa Indonesia, Bahasa Inggris, Matematika, IPS-Ekonomi dan Sosiologi.
Sedangkan untuk matapelajaran lainnya dapat mempergunakan strategi pembelajaran mandiri. Mata pelajaran dimaksud antara lain Pendidikan Agama, Pendidikan Jasmani dan Kesenian.
Sesuai dengan aturan normative penggunaan strategi pembelajaran mandiri harus memenuhi dua syarat berikut adanya kontrak belajar dan kejelasan  instrument evaluasi mandiri.
Kontrak belajar merupakan perjanjian secara tertulis antara peserta didik dengan tutor yang isinya menyatakan kesanggupan yang bersangkutan untuk mempelajari konten matapelajaran secara mandiri dengan waktu yang disepakati termasuk kesanggupan untuk menyelesaikan tugas yang harus dikerjakan mengikuti format yang disediakan.
Instrumen evaluasi mandiri merupakan alat evaluasi yang disediakan dalam format tertentu dapat berupa tugas yang harus dikerjakan dengan kurun waktu tertentu dan prosedur yang harus diikuti peserta didik dalam mengerjakan tugas tersebut.
Pembelajaran dengan strategi tatap muka dan tutorial untuk mata pelajaran yang diujiannasionalkan maupun pembelajaran mandiri untuk matapelajaran lainnya sama-sama dilakukan evaluasi pembelajaran berdasarkan jadwal yang sudah ditentukan sehingga akan diperoleh prestasi belajar peserta didik tersebut.
Andaikata apa yang diuraikan di atas dapat dilakukan sebagai layanan pendidikan kepada masyarakat usia 25 tahun keatas yang belum memperoleh pendidikan setara SMA (sudah tentu selamat bagi yang lembaga pendidikan nonformal yang sudah dan sedang menyelenggarakan), maka diprediksi menjadi akselerasi perolehan pendidikan dalam rangka mendongkrak peningkatan rata-rata lama sekolah di suatu daerah.
Meski keberhasilannya tidak terlepas dari berbagai faktor yang turut berpengaruh, di samping factor konten seperti yang diuraikan juga factor lainnya seperti tutor yang kompeten, dukungan kebijakan, dukungan anggaran, dukungan sarana dan prasarana serta respon masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H