Sering kita menemukan perjanjian dalam bahasa asing, misalnya bahasa Inggris, terutama jika lawan perjanjian adalah orang atau perusahaan asing. Dalam praktek, bentuk perjanjian semacam itu seringkali dikhawatirkan keabsahannya, sehingga banyak pihak lebih memilih untuk membuatnya secara dua bahasa (bilingual). Penggunaan dua bahasa tersebut kadang menjadi semacam keterpaksaan, hal ini mengingat berlakunya UU No. 24 Tahun 2009 Tentang “Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, Serta Lagu Kebangsaan” yang mewajibkan penggunaan bahasa Indonesia dalam setiap perjanjian.
Untuk menentukan sahnya suatu perjanjian kita dapat mengukurnya lewat pasal 1320 KUHPerdata. Menurut pasal tersebut, syarat sahnya perjanjian meliputi: kata sepakat, kecakapan para pihak, suatu hal tertentu dan suatu sebab yang halal. Dalam pasal tersebut masalah bahasa bukanlah syarat sahnya perjanjian, sehingga jika perjanjian dibuat dalam bahasa asing maka perjanjian tersebut tetap sah.
Namun meskipun sah, Undang-undang No. 24 Tahun 2009 mewajibkan agar setiap perjanjian dibuat dalam bahasa Indonesia – termasuk jika melibatkan pihak asing. Selengkapnya pasal 31 mengatur demikian:
(1) Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
(2) Nota kesepahaman atau perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (1) yang melibatkan pihak asing ditulis juga dalam bahasa nasional pihak asing tersebut dan/atau bahasa Inggris.
Menurut pasal diatas, menggunakan bahasa Indonesia dalam perjanjian adalah suatu keharusan, baik perjanjian yang melibatkan lembaga swasta maupun orang-perorangan Indonesia. Meskipun bersifat wajib, tapi karena undang-undang tersebut tidak memberikan sanksi atas pelanggarannya, maka perjanjian yang menggunakan bahasa asing (atau bahasa Inggris) tetap sah dan tidak dapat dibatalkan.
Dalam praktek, kekhawatiran atas ketidakabsahan perjanjian berbahasa asing tetap tak dapat dipungkiri. Pasal 31 tersebut, misalnya, dapat digunakan oleh salah satu pihak dalam perjanjian yang beritikad tidak baik untuk menghindari kewajibannya, atau untuk membatalkan perjanjian secara sepihak dengan dalil perjanjiannya tidak sah karena tidak menggunakan bahasa Indonesia. Sebagai jalan tengah, demi menghindari adanya itikad tidak baik tersebut, atau sekedar untuk menghindari perbedaan penafsiran karena bahasa, maka tentu akan lebih baik jika setiap perjanjian dibuat dalam bahasa Indonesia. Namun jika perjanjian itu melibatkan pihak asing, sebagiknya dibuat secara bilingual dengan kualitas terjemahan yang terbaik – yang dapat menghindari semaksimal mungkin perbedaan penafsiran. (legalakses.com).
Artikel Terkait:
- Contoh-contoh Dokumen Hukum dan Surat Resmi
- Cara Membuat Surat Perjanjian
- Perikatan, Perjanjian dan Kontrak
- Perjanjian dan Syarat-syaratnya
- Nota Kesepahaman (Memorandum of Undertanding/MoU)
- Perjanjian Kerja: PKWT dan PKWTT
- Wanprestasi Perjanjian
- Peluang Usaha dan Bisnis
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H