Mohon tunggu...
Dadang Darmansyah
Dadang Darmansyah Mohon Tunggu... Lainnya - ASN di Badan Pusat Statistik

Lahir di kaki Gunung Ciremai Kabupaten Kuningan, saat ini ASN di Badan Pusat Statistik Kabupaten Ciamis, penyuka olahraga dan kuliner

Selanjutnya

Tutup

Bahasa Pilihan

Komnas PA, Anjay, dan Krisis Kesantunan

4 September 2020   16:28 Diperbarui: 4 September 2020   16:29 422
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi diksi anjay | medcom.id

Akhir-akhir ini dunia maya sedang dihebohkan dengan keluarnya surat pers rilis  Komnas PA tentang penghentian penggunaan kata ‘anjay’. Sebutan ‘anjay’ merupakan bahasa gaul muda-mudi yang dianggap padanan kata ‘anjing’. Sebuah ungkapan yang dianggap merendahkan martabat dan kedudukan seseorang. 

Komnas PA berpandangan kalimat anjay memiliki konotasi buruk yang mengandung unsur kekerasan verbal atau bullying yang dapat dipidana. Dalam siaran pers rilis tersebut juga dijelaskan jika ungkapan ‘anjay’ itu digunakan untuk menunjukkan kekaguman terhadap sesuatu maka hal itu tidak menimbulkan masalah.

Polemik istilah anjay sampai menyita perhatian para pakar bahasa. Ahli bahasa dan semiotika Insitut Teknologi Bandung (ITB), Acep Iwan Saidi beranggapan kata 'anjay' merupakan diksi yang muncul dalam pergaulan kekinian. Kemudian menjadi multitafsir karena pemaknaan setiap orang yang berbeda akibat latar belakang pengetahuan masing-masing. 

Menurutnya istilah ini muncul di pergaulan kelas bawah yang saat ini juga banyak digunakan kelas menengah atas. Saidi juga berpendapat tidak relevan jika kata anjay dalam konteks apapun ditarik ke ranah pidana. Bagaimana juga dengan diksi kata yang lain seperti monyet, babi dan sebagainya, ujarnya.

Kepala Bidang Pengembangan Pusat Pengembangan dan Perlindungan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Dora Amalia menjelaskan aspek penggunaan kata dari sisi bentuk dan penggunaan. 

Berdasarkan bentuk kata anjay merupakan bentuk kreatif dari kata anjing. Dilihat dari sisi penggunaan, kata anjay bisa juga digunakan sebagai sebuah ungkapan kekaguman karena melihat sesuatu yang menakjubkan. Bisa juga digunakan sebagai penghalusan umpatan atau bisa juga ungkapan bentuk keakraban dalam pergaulan.

Fenomena diksi anjay

Kenapa bisa seheboh itu tanggapan publik dunia maya? Berawal dari laporan seorang Lutfi Agizal ke Komnas PA berujung lahirnya pelarangan penggunaan kata anjay dalam konteks merendahkan atau melecehkan. 

Bisa jadi netizen beranggapan Komnas PA terlalu berlebihan mempermasalahkan sesuatu yang sudah menjadi bahasa sehari-hari mereka dalam pergaulan. Bahkan memberikan ancaman pidana bagi mereka yang kedapatan menggunakan kata anjay untuk merendahkan seseorang. Publik berharap masih banyak masalah perlindungan anak yang jauh lebih mendasar ketimbang mempermasalahkan kata anjay.  

Tidak dipungkiri sebagian besar penduduk Indonesia  merupakan generasi muda. Bahkan tidak lama lagi dunia, termasuk Indonesia akan mengalami bonus demografi di mana jumlah penduduk muda lebih tinggi dari usia penduduk lansia dan anak-anak. 

Karakter mereka yang selalu beradaptasi terhadap setiap perubahan yang ada. Termasuk dalam bahasa pergaulan mereka. Istilah-istilah baru dalam bahasa pergaulan mereka berkembang pesat dan menyebar dengan cepat. Apalagi di era digital di mana penyebaran informasi begitu mudah didapat dan mudah disebar hanya dengan menggerakkan jari-jemarinya.

Sebenarnya banyak padanan kata sama yang sering digunakan dalam pergaulan remaja/muda-mudi masa kini. Bahkan di saat penulis remajapun istilah-istilah tersebut juga sudah muncul. 

Banyak sekali ungkapan-ungkapan untuk mengekspresikan sesuatu dengan bahasa/istilah yang berkembang di zamannya. Sebut saja kata ‘ajrit’ atau ’anjiir’, ‘edun’ atau ‘jianjuk’ dan istilah-istilah sejenis lainnya. 

Di tatar sunda juga ada istilah “borokokok”, “nurus tunjung’ atau ‘ke’he’d’ yang sering digunakan.  Bagi mereka ungkapan seperti hal yang lumrah dan biasa dalam bahasa pergaulan mereka. Perbendaharaan kosa-kata ini terus berkembang di setiap zaman dan daerah dengan keunikannya masing-masing.

Krisis Kesantunan

Ada masalah krusial yang terjadi dalam pembentukan perilaku di kalangan generasi muda kita. Krisis kesantunan. Teringat bagaimana dulu orang tua kita mendidik kesantunan kita sejak dini. Bagaimana berbahasa yang santun dengan orang yang lebih muda, sebaya dan yang lebih tua. Tidak boleh menyebut nama kepada saudara tuanya tapi harus menggunakan mas, kakak, teteh, aa dan istilah lainnya. 

Saat berjalan melewati kerumunan orang harus bilang “punten” atau permisi dengan badan sedikit membungkuk.  Tidak hanya keluarga sebagai lembaga pembentuk perilaku berbahasa di kalangan anak, bahkan lingkungan sekolah dan lingkungan masyarakat. Mereka langsung menegur saat ada perilaku berbahasa anak-anak yang tidak patut.

Kondisi ini sangat berbeda di era sekarang. Pengaruh globalisasi melalui dunia maya yang begitu mudah di akses tanpa filter di kamar-kamar sempit mereka jauh dari jangkauan orang tua, guru dan masyarakat. Bagaimana saat ini sikap keras orang tua mendidik anak-anak dengan nilai-nilai luhur dapat berujung ‘kekerasan pada anak’ dan berakibat penjara. 

Murid mengadukan gurunya ke polisi atau anak mengadukan orang tuanya ke polisi adalah kasus yang kerap terjadi. Kekerasan verbal di media sosial kerap terjadi. Anak-anak kita begitu berani mengungkapkan kemarahan, kejengkelan, kekesalan dengan bahasa vulgar jauh dari etika dan kesantunan.

Fenomena yang terjadi tak sepenuhnya salah mereka. Mereka adalah produk lingkungan di zamannya.  Orang tua mulai acuh dengan siapa anaknya bergaul. Tidak adanya kekhawatiran saat anaknya pulang larut malam. Bisa jadi lingkungan keluarga yang tidak kondusif terhadap terbangunnya kesantunan perilaku. Apalagi tontonan televisi di mana tokoh publik mempertontonkan buruknya berbahasa dalam debat dan diskusi mereka.

Mulailah fokus terhadap permasalahan perlindungan anak yang lebih krusial. Pekerja anak, kekerasan pada anak, seks bebas di kalangan anak-anak, kriminalitas di kalangan anak-anak, sinetron remaja yang tidak mendidik, pornografi, perceraian orang tua muda, perundungan di kalangan anak-anak merupakan deretan masalah yang harus menjadi perhatian lebih.  

Kembali kepada pendidikan di keluarga merupakan solusi yang paling tepat. Orang tua adalah pendidik pertama dan utama bagi anak-anak. Keluarga yang baik akan melahirkan generasi yang baik. Keluarga yang baik akan memiliki perhatian untuk menyiapkan mereka memasuki lingkungan yang lebih luas di luar rumah mereka. Ketahanan keluarga menjadi pondasi ketahanan masyarakat. Ketahanan masyarakat menjadi tiang ketahanan negara.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Bahasa Selengkapnya
Lihat Bahasa Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun