Salah satu tujuan dari membentuk keluarga adalah adanya keturunan bagi suami istri. Ingat, ya, suami istri, bukan hanya kepentingan sang suami semata. Ini perlu dijelaskan karena selama ini, dalam budaya Indonesia, sepertinya mempunyai anak adalah keinginan pihak lelaki sementara istri hanya berlaku sebagai alat produksi semata. Tak percaya?
Seorang teman yang telah menikahi pacarnya selama empat tahun ogah pulang ke rumah. Ia lebih sering menghabiskan waktunya bersama teman-teman sekerjanya atau teman satu klub volinya daripada bercengkeraman di rumah bersama istri tercinta.
“Ngapain pulang cepat-cepat. Toh, di rumah nggak ada siapa-siapa,”jawabnya ketika ditanya kenapa. Tak ada siapa-siapa? Istri yang setia menjaga rumah itu siapa? Tak logis memang cara berfikirnya, tapi saya yakin suami yang berfikir seperti itu mayoritas di dunia. Mayoritas, ya, bukan keseluruhan. Camkan!
Padahal, dari bincang dan memperhatikan perilaku beberapa keluarga yang belum mempunyai keturunan, yang paling berat menerima kenyataan bahwa belum hadir anak di keluarga adalah istri.
Bagi suami, tak mempunyai anak itu adalah kekalahan. Kalah karena ia tidak mempunyai keturunan, kalah karena harga dirinya sebagai lelaki terpuruk akibat kejantanannya diragukan. Tapi bagi istri, tak dapat memberikan keturunan adalah ketakutan. Takut karena ia ternyata mandul, takut karena tak mampu membahagiakan suami dengan kehadiran anak, dan, terutama, takut dicerai karena tak mampu memberikan hadiah anak kepada suami dan keluarga suami.
Jadi, cobaan belum dipercaya mempunyai anak tak boleh menyulutkan saling menyalahkan antara suami dan istri. Malah seharusnya suami harus berperan besar untuk melindungi pasangannya dari cercaan banyak pihak, terutama keluarga, yang pasti akan selalu menyalahkan pihak perempuan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H