Mohon tunggu...
Dadang Hidayat
Dadang Hidayat Mohon Tunggu... Penulis -

Penikmat karya-karya Sastra, Filsafat, dan bacaan berkualitas lainnya.

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Masihkah Kita Membutuhkan Pemimpin?

19 Februari 2014   01:31 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:42 113
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa setiap manusia itu adalah seorang pemimpin (khalifah) di muka bumi ini (Q.S. Al-Baqarah: 30). Kedudukan seorang manusia sebagai hamba hanyalah berlaku bagi hubungan vertikal dirinya dengan Tuhannya saja. Sehingga bila kita refleksikan firman Tuhan tersebut dengan kehidupan kita sehari-hari, maka setiap manusia itu kedudukannya sejajar atau sama rata dengan manusia lainnya karena, bagaimanapun juga, setiap manusia adalah seorang pemimpin.  Namun, apabila setiap orang adalah pemimpin, masihkah bangsa dan negara kita, atau bahkan dunia ini membutuhkan seorang pemimpin.?

Hal ini saya kira patut kita renungkan kembali dimana saat ini setiap orang selalu saling memperebutkan gelar pemimpin itu sendiri, yang sayangnya tanpa dibarengi dengan tanggung jawab yang berarti dan seringkali proses perebutan kekuasaan tersebut menggunakan cara-cara yang kotor. Mulai dari institusi pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), kepolisian, organisasi mahasiswa, partai politik, sampai organisasi kemasyarakatan pun, kedudukan sebagai seorang pemimpin masih sangatlah menjadi primadona untuk diperebutkan dalam institusi-institusi masyarakat kita saat ini.

Keadaan tersebut semakin diperparah ketika keran demokrasi pasca-reformasi dibuka selebar-lebarnya bagi masyarakat kita. Dengan dalih kebebasan berekspresi setiap orang berbondong-bondong untuk mencalonkan dirinya sebagai pemimpin. Berbagai cara dilakukan mulai dari cara yang halal sampai cara yang haram, dari yang rasional sampai irrasional pun dilakukan untuk bisa meraih jabatan pemimpin tersebut. Namun sayangnya, keadaan ini bukan malah memperbaiki iklim demokrasi itu sendiri, tapi justru membawanya kedalam jurang kehancuran suatu bangsa dan negara dalam berdemokrasi.

Dengan maraknya perebutan kursi kepemimpinan tersebut, kualitas kepemimpinan masyarakat kita semakin tergerus karena setiap orang hanya mementingkan dan menginginkan kekuasaan an sich, baik untuk dirinya sendiri maupun kelompoknya semata, sedangkan kepentingan umum dan norma hukum malah seringkali diabaikan. Sehingga, dalam kehidupan sehari-hari misalnya, di berbagai institusi masyarakat, dapat kita lihat banyak orang yang tidak legowo untuk memberikan kekuasaan tersebut kepada orang yang lebih pantas memilikinya, meskipun dia sendiri sebenarnya tidak mampu untuk menjalankan tampuk kepemimpinan tersebut atau tidak dipercayai sama sekali oleh publik.

Dan seringkali untuk dapat mempertahankan atau merebut kekuasaan tersebut setiap orang berani melakukannya dengan cara-cara kekerasan atau melanggar hukum. Pada kasus Pemilihan kepala daerah (Pilkada) misalnya, bau-baru ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, kekerasan dalam pilkada sejak 2005 menewaskan sedikitnya 59 orang dan melukai 230 orang. Bahkan sebanyak 279 rumah, 30 kantor pemerintah daerah, 11 kantor partai politik, 10 kantor KPU Daerah, dan berbagai jenis bangunan lain dirusak atau dibakar massa (Kompas, 28/06/13). Berkorelasi dengan data tersebut, tidak heran kalau saat ini kita sulit sekali menemukan seorang pemimpin yang benar-benar berkualitas dan teruji kepemimpinannya dalam berbagai hal.

Dengan kata lain, hampir disetiap lini kehidupan bangsa kita ini sedang dilanda krisis kepemimpinan. Bagaimana tidak, diberbagai berita baik itu dari media (massa) lokal maupun nasional kita seringkali disuguhi dengan kabar yang tidak sedap dari para pemimpin negeri ini. Ironisnya, krisis kepemimpinan tersebut bermula dari para elite masyarakat yang katanya sangat berpendidikan. Tidak hanya pejabat pemerintahan saja (baik pusat maupun daerah), krisis kepemimpinan ini juga terjadi pada setiap elemen masyarakat itu sendiri, mulai dari tokoh parpol, ormas, pemuka agama, pendidikan, dsb.

Perilaku yang tidak terhormat seperti melakukan KKN, kekerasan, pelecehan seksual, dan mengonsumsi narkoba yang dilakukan oleh para pemangku negeri ini seakan sudah menjadi pemberitaan yang “lazim” bagi masyarakat kita. Baru-baru ini misalnya, berdasarkan data sejak 2004 hinggal awal Juni lalu, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 295 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Tindakan korupsi ini merupakan kasus yang sering dilakukan oleh setiap kepala daerah dibandingkan kasus-kasus hukum pidana lainnya (Kompas, 28/06/13).

Di sisi lain, dalam sebuah artikelnya, Reza Syawawi memperlihatkan bahwa dalam laporan Global Corruption Barometer 2013 yang dirilis oleh Transparency International yang berbasis di Berlin, Jerman, negara Indonesia termasuk salah satu dari 107 negara yang disurvei yang memiliki lima lembaga publik (the big five) yang berkategori terkorup. Adapun lembaga-lembaga tersebut antara lain adalah kepolisian (4,5), parlemen (4,5), pengadilan (4,4), partai politik (4,3), dan  pegawai negeri sipil (4,0). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa dalam catatan GCB sejak 2003, parlemen dan parpol menjadi lembaga yang selalu masuk dalam kategori lembaga terkorup (Opini Kompas, 24/07/13). Akibat dari adanya krisis kepemimpinan ini pantas saja kalau negeri kita semakin tertinggal dalam berbagai bidang: mulai dari ekonomi, pendidikan, politik, budaya, dsb.

Ironisnya, setiap kali pemberitaan tentang bobrokya para pemimpin negeri ini mencuat, masyarakat seakan tidak lagi terkejut atau pun cemas dengan berkata “Ah, itu mah sudah biasa”. Memang sungguh menyedihkan apabila masyarakat juga sudah berlaku apatis seperti itu dan bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang “wajar”. Hal ini haruslah segera dibenahi karena dalam sistem demokrasi yang sedang kita anut ini, bagaimanapun juga, mau tidak mau, partisipasi masyarakat sangatlah diperlukan. Tanpa dukungan atau partisipasi dari masyarakat negara ini tidak akan pernah bangkit dari keterpurukannya.

Namun, terlepas dari berbagai krisis yang kita hadapi akhir-akhir ini, disini kiranya kita perlu melakukan refleksi atau perenungan kembali tentang krisis kepemimpinan itu sendiri. Benarkah krisis kepemimpinan itu hanya terjadi pada segelintir elit yang bermasalah tersebut.? Ataukah justeru terjadi dalam masyarakat pada umumnya yang, walaupun berjumlah banyak, hanya bisa diam atau apatis melihat kondisi seperti ini.? Dalam hal ini saya akan mengajak para pembaca untuk memaknai kembali (si)apa itu pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri, dan apa sebenarnya yang (seharusnya) menjadi esensi dari kepemimpinan tersebut.

Untuk memulai pembahasan ini, perlu kiranya saya ketengahkan untuk apa manusia itu diciptakan dalam sudut pandang agama, khususnya Islam sebagai agama yang saya anut. Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan ini, dalam Islam ditegaskan bahwa pada hakikatnya setiap manusia itu diciptakan untuk menjadi seorang pemimpin di muka bumi ini. Dengan kata lain, setiap manusia adalah seorang pemimpin itu sendiri, tanpa terkecuali. Yang membedakan dirinya dengan manusia lainnya hanyalah (derajat) ketaqwaannya terhadap Allah SWT semata.

Dengan karunia yang telah diberikan Tuhan yang berupa hati dan pikiran itu, maka setiap manusia dengan sendirinya harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri, segala apa yang diketahuinya, maupun lingkungan sekitarnya.  Dalam hal ini jelas bahwa sosok manusia bukanlah seorang egois yang ditugasi untuk menaklukan lingkungan yang ada, melainkan ditugaskan untuk saling menjaga, membesarkan, dan singkat kata: saling peduli terhadap sesama makhluk yang telah diciptakan Allah SWT.

Dalam era demokrasi saat ini, saya menganggap bahwa krisis kepemimpinan itu terjadi karena adanya krisis kepedulian yang menjangkiti kebanyakan masyarakat kita. Atau bisa dikatakan bahwa krisis kepemimpinan sekarang ini adalah merupakan sebuah krisis kepedulian itu sendiri. Jadi, berbagai masalah yang saling bermunculan di negeri ini bukan hanya terjadi karena adanya krisis kepemimpinan pada sekelompok elit kita saja, akan tetapi lebih tepatnya pada mayoritas masyarakat kita yang diam, yang apatis, yang tidak menyadari bahwa dirinya itu adalah seorang pemimpin yang harus bertanggung jawab terhadap lingkungan sekitarnya. Karena, bagiamanapun, kalu saja setiap masyarakat kita memiliki rasa kepedulian yang tinggi maka bangsa ini tidak akan dikalahkan oleh hanya “sekelompok kecil” orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Pemimpin dan kepemimpinan itu bukanlah sesuatu yang harus diperebutkan. Akan tetapi, semua itu adalah sesuatu yang sudah menjadi bawaan setiap orang sendiri. Bahwa setiap orang harus bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya merupakan bukti bahwa setiap orang itu adalah pemimpin. Sehingga, ketika seseorang tidak pernah peduli dengan dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya, maka secara otomatis dia sudah menjadi seorang pemimpin yang buruk/gagal karena dia tidak bertanggung jawab. Dan ketika setiap orang tidak peduli atau tidak bertanggung jawab terhadap diri dan lingkungannya, bukankah hal itu sama saja dengan para koruptor, gembong narkoba, pelaku kekerasan, dan penjahat lainnya.?

Dengan demikian, dapat kita simpulkan bahwa kepedulian adalah merupakan esensi dari kepemimpinan itu sendiri. Dan orang-orang yang tidak memiliki rasa kepedulian adalah mereka-mereka yang harus bertanggung jawab atas kebobrokan yang terjadi di negeri ini. Tidak berlebihan kalau Haidar Bagir, yang suka dikenal sebagai seorang pengajar tasawuf dan dosen filsafat Islam itu, dalam sebuah acara diskusi pernah berujar bahwa “mayoritas (masyarakat) yang diam/apatis adalah sekumpulan orang-orang yang berdosa.”

Pendapat Haidar Bagir ini dapat kita pahami bersama karena ketika suatu masyarakat sudah tidak memiliki rasa kepedulian, maka suatu kejahatan atau keburukan akan semakin merajalela, dan kebaikan seperti apapun tidak akan bisa mengalahkannya. Seperti kata pepatah yang seringkali kita dengar “kejahatan yang terorganisir akan mengalahkan sebuah kebaikan yang tidak terorganisir”. Sehingga, untuk memperbaiki krisis kepemimpinan ini, mau tidak mau, kita semua harus mulai membangkitkan rasa kepedulian dalam diri setiap masyarakat agar bisa solid dan terorganisir dalam memberantas penyimpangan yang terjadi di negeri ini. Hal ini, tentu saja, merupakan sebuah konsekuensi kita sebagai para pemimpin itu sendiri untuk saling peduli.

Jadi, jika setiap orang itu adalah pemimpin, maka bangsa ini atau bahkan dunia ini pun sebenarnya sudah tidak lagi membutuhkan pemimpin, tapi hanya membutuhkan orang-orang yang peduli. Dan pada akhirnya, kita tidaklah perlu memperebutkan jabatan sebagai pemimpin, apalagi dengan memperebutkannya dengan cara-cara yang tidak pantas, karena kita semua adalah para pemimpin itu sendiri yang harus memiliki tanggung jawab dan rasa kepedulian yang tinggi bagi bangsa, negara, dan kehidupan dunia ini untuk menjadikannya lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun