Dalam Al-Quran dijelaskan bahwa setiap manusia itu adalah seorang pemimpin (khalifah) di muka bumi ini (Q.S. Al-Baqarah: 30). Kedudukan seorang manusia sebagai hamba hanyalah berlaku bagi hubungan vertikal dirinya dengan Tuhannya saja. Sehingga bila kita refleksikan firman Tuhan tersebut dengan kehidupan kita sehari-hari, maka setiap manusia itu kedudukannya sejajar atau sama rata dengan manusia lainnya karena, bagaimanapun juga, setiap manusia adalah seorang pemimpin. Namun, apabila setiap orang adalah pemimpin, masihkah bangsa dan negara kita, atau bahkan dunia ini membutuhkan seorang pemimpin.?
Hal ini saya kira patut kita renungkan kembali dimana saat ini setiap orang selalu saling memperebutkan gelar pemimpin itu sendiri, yang sayangnya tanpa dibarengi dengan tanggung jawab yang berarti dan seringkali proses perebutan kekuasaan tersebut menggunakan cara-cara yang kotor. Mulai dari institusi pemerintahan (eksekutif, legislatif, dan yudikatif), kepolisian, organisasi mahasiswa, partai politik, sampai organisasi kemasyarakatan pun, kedudukan sebagai seorang pemimpin masih sangatlah menjadi primadona untuk diperebutkan dalam institusi-institusi masyarakat kita saat ini.
Keadaan tersebut semakin diperparah ketika keran demokrasi pasca-reformasi dibuka selebar-lebarnya bagi masyarakat kita. Dengan dalih kebebasan berekspresi setiap orang berbondong-bondong untuk mencalonkan dirinya sebagai pemimpin. Berbagai cara dilakukan mulai dari cara yang halal sampai cara yang haram, dari yang rasional sampai irrasional pun dilakukan untuk bisa meraih jabatan pemimpin tersebut. Namun sayangnya, keadaan ini bukan malah memperbaiki iklim demokrasi itu sendiri, tapi justru membawanya kedalam jurang kehancuran suatu bangsa dan negara dalam berdemokrasi.
Dengan maraknya perebutan kursi kepemimpinan tersebut, kualitas kepemimpinan masyarakat kita semakin tergerus karena setiap orang hanya mementingkan dan menginginkan kekuasaan an sich, baik untuk dirinya sendiri maupun kelompoknya semata, sedangkan kepentingan umum dan norma hukum malah seringkali diabaikan. Sehingga, dalam kehidupan sehari-hari misalnya, di berbagai institusi masyarakat, dapat kita lihat banyak orang yang tidak legowo untuk memberikan kekuasaan tersebut kepada orang yang lebih pantas memilikinya, meskipun dia sendiri sebenarnya tidak mampu untuk menjalankan tampuk kepemimpinan tersebut atau tidak dipercayai sama sekali oleh publik.
Dan seringkali untuk dapat mempertahankan atau merebut kekuasaan tersebut setiap orang berani melakukannya dengan cara-cara kekerasan atau melanggar hukum. Pada kasus Pemilihan kepala daerah (Pilkada) misalnya, bau-baru ini Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mencatat, kekerasan dalam pilkada sejak 2005 menewaskan sedikitnya 59 orang dan melukai 230 orang. Bahkan sebanyak 279 rumah, 30 kantor pemerintah daerah, 11 kantor partai politik, 10 kantor KPU Daerah, dan berbagai jenis bangunan lain dirusak atau dibakar massa (Kompas, 28/06/13). Berkorelasi dengan data tersebut, tidak heran kalau saat ini kita sulit sekali menemukan seorang pemimpin yang benar-benar berkualitas dan teruji kepemimpinannya dalam berbagai hal.
Dengan kata lain, hampir disetiap lini kehidupan bangsa kita ini sedang dilanda krisis kepemimpinan. Bagaimana tidak, diberbagai berita baik itu dari media (massa) lokal maupun nasional kita seringkali disuguhi dengan kabar yang tidak sedap dari para pemimpin negeri ini. Ironisnya, krisis kepemimpinan tersebut bermula dari para elite masyarakat yang katanya sangat berpendidikan. Tidak hanya pejabat pemerintahan saja (baik pusat maupun daerah), krisis kepemimpinan ini juga terjadi pada setiap elemen masyarakat itu sendiri, mulai dari tokoh parpol, ormas, pemuka agama, pendidikan, dsb.
Perilaku yang tidak terhormat seperti melakukan KKN, kekerasan, pelecehan seksual, dan mengonsumsi narkoba yang dilakukan oleh para pemangku negeri ini seakan sudah menjadi pemberitaan yang “lazim” bagi masyarakat kita. Baru-baru ini misalnya, berdasarkan data sejak 2004 hinggal awal Juni lalu, Kementerian Dalam Negeri mencatat ada 295 kepala daerah yang terjerat kasus korupsi. Tindakan korupsi ini merupakan kasus yang sering dilakukan oleh setiap kepala daerah dibandingkan kasus-kasus hukum pidana lainnya (Kompas, 28/06/13).
Di sisi lain, dalam sebuah artikelnya, Reza Syawawi memperlihatkan bahwa dalam laporan Global Corruption Barometer 2013 yang dirilis oleh Transparency International yang berbasis di Berlin, Jerman, negara Indonesia termasuk salah satu dari 107 negara yang disurvei yang memiliki lima lembaga publik (the big five) yang berkategori terkorup. Adapun lembaga-lembaga tersebut antara lain adalah kepolisian (4,5), parlemen (4,5), pengadilan (4,4), partai politik (4,3), dan pegawai negeri sipil (4,0). Selanjutnya dijelaskan pula bahwa dalam catatan GCB sejak 2003, parlemen dan parpol menjadi lembaga yang selalu masuk dalam kategori lembaga terkorup (Opini Kompas, 24/07/13). Akibat dari adanya krisis kepemimpinan ini pantas saja kalau negeri kita semakin tertinggal dalam berbagai bidang: mulai dari ekonomi, pendidikan, politik, budaya, dsb.
Ironisnya, setiap kali pemberitaan tentang bobrokya para pemimpin negeri ini mencuat, masyarakat seakan tidak lagi terkejut atau pun cemas dengan berkata “Ah, itu mah sudah biasa”. Memang sungguh menyedihkan apabila masyarakat juga sudah berlaku apatis seperti itu dan bahkan menganggapnya sebagai sesuatu yang “wajar”. Hal ini haruslah segera dibenahi karena dalam sistem demokrasi yang sedang kita anut ini, bagaimanapun juga, mau tidak mau, partisipasi masyarakat sangatlah diperlukan. Tanpa dukungan atau partisipasi dari masyarakat negara ini tidak akan pernah bangkit dari keterpurukannya.
Namun, terlepas dari berbagai krisis yang kita hadapi akhir-akhir ini, disini kiranya kita perlu melakukan refleksi atau perenungan kembali tentang krisis kepemimpinan itu sendiri. Benarkah krisis kepemimpinan itu hanya terjadi pada segelintir elit yang bermasalah tersebut.? Ataukah justeru terjadi dalam masyarakat pada umumnya yang, walaupun berjumlah banyak, hanya bisa diam atau apatis melihat kondisi seperti ini.? Dalam hal ini saya akan mengajak para pembaca untuk memaknai kembali (si)apa itu pemimpin dan kepemimpinan itu sendiri, dan apa sebenarnya yang (seharusnya) menjadi esensi dari kepemimpinan tersebut.
Untuk memulai pembahasan ini, perlu kiranya saya ketengahkan untuk apa manusia itu diciptakan dalam sudut pandang agama, khususnya Islam sebagai agama yang saya anut. Seperti yang telah dijelaskan di awal tulisan ini, dalam Islam ditegaskan bahwa pada hakikatnya setiap manusia itu diciptakan untuk menjadi seorang pemimpin di muka bumi ini. Dengan kata lain, setiap manusia adalah seorang pemimpin itu sendiri, tanpa terkecuali. Yang membedakan dirinya dengan manusia lainnya hanyalah (derajat) ketaqwaannya terhadap Allah SWT semata.