Tanah dengan keanekaragaman mikroba yang tinggi memiliki peluang lebih besar untuk mempertahankan proses ekologis setelah gangguan (Kennedy, 1999). Kapasitas tersebut didefinisikan sebagai ketahanan yang berarti penyangga biologis terhadap gangguan dalam suatu ekosistem. Kita biasanya dapat menyatakan bahwa redundansi fungsional lebih tinggi pada tanah yang kurang terdegradasi (Harris, 2003), tetapi komposisi komunitas tanaman dapat mendukung prevalensi atau menyebabkan penekanan kelompok fungsional mikroba tertentu di dalam tanah (Matsumoto et al., 2005).
Selain aktivitas dan biomassa mikroba, indikator biokimia seperti enzim tanah juga dapat menjadi indikator kesehatan tanah yang berguna. Mereka terlibat dalam beberapa proses metabolisme dan juga responsif terhadap perubahan dalam penggunaan dan pengelolaan tanah (Nannipieri et al., 2002; Acosta-Martnez et al., 2007). Enzim adalah katalis dalam berbagai reaksi selama siklus karbon dan nutrisi dalam tanah (Balota et al., 2004; Sicardi et al., 2004), dan juga mewakili tingkat metabolisme komunitas mikroba tanah.Â
Mereka mungkin bebas di tanah sebagai eksoenzim yang diekskresikan oleh tanaman, hewan, dan terutama mikroorganisme (Weaver et al., 1994), terkait dengan struktur sel atau secara internal dalam sel, tetapi kemudian dilepaskan ke tanah setelah lisis dan kematian sel (Badiane et al., 2001). Oleh karena itu, ketika komunitas mikroba tanah terpengaruh karena penggunaan dan pengelolaan tanah, perubahan dalam aktivitas enzim tanah juga diharapkan (Nayak et al., 2007).
Keterbatasan utama penggunaan sifat biokimia individual sebagai indikator kualitas tanah adalah sifat-sifat tersebut menunjukkan tingkat variabilitas yang tinggi sebagai respons terhadap iklim, musim, lokasi geografis, dan faktor pedogenetik. Hal ini dapat mengakibatkan kesimpulan yang bertentangan dalam berbagai penelitian ketika menggambarkan dampak kontaminan atau pengelolaan tertentu terhadap kualitas tanah (Gil-Sotres et al., 2005).Â
Selain itu, dengan pengetahuan yang sebenarnya tersedia, estimasi kualitas tanah yang hanya mengandalkan sifat biokimia individual, indeks atau rasio sederhana, tidak dapat dianggap andal. Dengan demikian, diperlukan kumpulan data minimum sifat biokimia yang mampu menggambarkan kompleksitas sistem tanah untuk setiap situasi, dan harus diverifikasi apakah sifat-sifat tersebut valid secara universal. Menghadapi tantangan ini, penggunaan teknik statistik multivariat merupakan alat yang berguna untuk memilih atribut untuk penilaian kesehatan tanah.
Memahami hubungan timbal balik yang kompleks antara komponen biologis, fisik, dan kimia dapat dicapai dengan lebih baik ketika mempelajari asal-usul proses alami dan nasibnya di alam. Misalnya, melalui fotosintesis, tanaman memperbaiki dan mentransfer karbon sebagai karbohidrat ke jaring makanan, yang merupakan proses biologis terpenting di bumi. Sepanjang siklus hidupnya dan terutama di akhir siklus, sisa-sisa hewan dan tumbuhan terus-menerus mengendap ke dalam tanah.Â
Karbon organik dan mineral yang tidak dapat bergerak harus didaur ulang dalam ekosistem sebelum digunakan oleh organisme baru dalam siklus hidup yang berkelanjutan dan berkelanjutan (Schjnning et al., 2004). Dengan demikian, proses biologis sangat penting untuk menjaga kapasitas tanah dalam mendaur ulang karbon ke atmosfer dan memastikan keberlanjutan fotosintesis, bersamaan dengan mineralisasi nutrisi untuk nutrisi tanaman dan mikroba. Tanah yang sehat memiliki kapasitas untuk menjaga proses-proses ini bekerja secara berkelanjutan tanpa batas waktu.
Aktivitas dan keanekaragaman mikroba tanah berperan penting dalam keberlanjutan dengan menjaga fungsi penting dalam kesehatan tanah, yang melibatkan siklus karbon dan nutrisi (Jeffries et al., 2003; Izquierdo et al., 2005). Indikator mikroba lebih rentan daripada atribut fisik dan kimia terhadap perubahan yang diberlakukan pada lingkungan seperti penggunaan dan pengelolaan tanah (Melo dan Marchiori, 1999; Masto et al., 2009), dan karena alasan ini dapat memperkirakan gangguan apa pun dalam keberlanjutan suatu lingkungan sejak dini.
Biomassa mikroba tanah merupakan bagian hidup dari bahan organik tanah, yang dibentuk oleh jamur, bakteri, protozoa, dan alga, dan merupakan sumber nutrisi penting yang dapat memenuhi kebutuhan tanaman karena siklusnya yang cepat (Sicardi et al., 2004), dan menjadi salah satu atribut biologis utama yang digunakan dalam studi kesehatan tanah.
Selain biomassa mikroba, respirasi tanah telah banyak digunakan sebagai bioindikator kesehatan tanah baik di tanah kehutanan maupun pertanian (Bastida et al., 2008). Perubahan vegetasi seperti penggundulan hutan mengurangi respirasi mikroba dalam jangka panjang (Bastida et al., 2006) karena penurunan masukan karbon organik ke dalam tanah melalui permukaan atau rizosfer (Bini et al., 2013). Dalam sistem pertanian, pengelolaan tanah memengaruhi aktivitas mikroba, dan secara umum, pengelolaan yang kurang berdampak menghasilkan aktivitas mikroba yang lebih tinggi (Balota et al., 2003; Babujia et al., 2010).Â
Dalam skenario ini, bahan organik memodulasi aktivitas biologis sebagai sumber C, energi, dan nutrisi yang akan dimineralisasi menjadi CO 2 dan mineral. Namun, laju mineralisasi juga akan bergantung pada kuantitas dan kualitas bahan organik di dalam tanah (Zhang et al., 2006b). Secara bersamaan, biomassa mikroba akan melumpuhkan C, N, P dan nutrisi lainnya yang dapat dengan mudah dilepaskan untuk digunakan tanaman karena perputarannya yang cepat (Bayer dan Mielniczuk, 2008).