Begitu bertemu dengan Si Jack di arrival gate harbourfront, kami langsung turun kebawah menuju stasiun kereta api dan melanjutkan perjalanan ke Kallang Station, hostel tempat kami menginap selama di Singapore.
Begitu sampai di hostel yang ternyata merupakan tempat menginap para backpacker tersebut, gue sedikit kaget karna kami tidur sekamar 6 orang, dengan kasur bertingkat, dan ada kemungkinan akan bergabung dengan backpacker lain yang bukan merupakan bagian dari tim kerja kami.
Tapi setelah gue tanyakan detailnya kepada Jack, ternyata penghuni kamar tersebut hanyalah 6 orang dari tim kita. Selang 15 menit, gue dan Jack langsung melanjutkan perjalanan menuju kantor kami di daerah Redhill atau Bukit Merah, kami menggunakan MRT disana dengan perjalanan kira-kira 20 menit.
Sementara 6 orang yang ada didalam tim itu adalah Gue, Jack, Cherry, Richie, Herry, dan Dennis. Latar belakang mereka bermacam mulai dari fresh graduate dari kampus di Singapore, Dosen di Kampus UIB Batam, serta juga ada yang memiliki pengalaman bekerja sebelumnya sebagai koki dan juga sales di Jakarta.
Sementara gue, yang merupakan fresh graduate, baru 3 bulan wisuda dari kampus di Riau, yang belum terlalu dikenal di Indonesia, ditambah lagi nggak adanya pengalaman bekerja semasa kuliah dan termasuk apatis untuk berorganisasi, menjadi sangat kaku dihari pertama kali bekerja ini. Bagaimana tidak, sekali diterima bekerja dikantor, gue langsung dikirim ke Singapore yang terkenal perfeksionis dan ngomong sehari-hari dengan full English.
Di tengah kediaman itu, dan keheranan teman-teman gue, salah seorang audience bernama Mustaqim asal Malaysia yang melihat presentasi itu, langsung berkata, "Cakap bahase ajelah, saye rase awaktu tak terlalu paham cakap English", dan gue tetap saja terdiam, macam pintu yang tidak akan bergerak kalau tak digerakkan.
Hari pertama di Singapore dan langsung masuk kerja ini memberikan shock culture level sangat parah buat gue. Pukul 6.30 sore kami keluar dari kantor, gue berjalan dengan muka yang sangat kusam dan muram. Setelah berunding, kami memutuskan untuk tidak langsung pulang ke hostel, kami memilih untuk jalan-jalan dahulu menuju Chinatown untuk mencari makan malam dengan harga miring.
Pukul 6.40 pm, kami sudah hampir tiba di Chinatown dengan berjalanan melewati depan-depan pertokoan disekitar sana. Gue sedikit terkaget, di jam segini kok masih ada matahari ya, dan baru ngeh kalo di Singapore waktunya 1 jam lebih cepat dari Jakarta. Menit berganti menit hingga pukul 07.00 pm, gue melihat sunset pertama diluar negeri, sunset yang sangat indah bagi gue, sayang gue nggak mengabadikan moment tersebut.
Sesampainya di Chinatown, kami langsung berpencar mencari makanan sesuai selera. Beruntung gue memiliki teman dengan toleransi yang tinggi, karna selain terkenal dengan murahnya, di Chinatown ini juga banyak terdapat makanan vegetarian yang otomatis itu tidak dicampurkan dengan daging, karna gue pribadi agak risau kalau makan daging di daerah sini, takutnya ada daging pork yang nyelip, kan agama gue ngelarang bro hehe.
Tapii, dikarenakan ini kali pertama gue makan vegetarian, gue sedikit mual dan hanya bisa makan setengah piring aja. Untung aja air mineral botol kecil yang gue beli seharga 1 Dollar Singapore itu udah cukup membuat perut gue full.
Ketika semakin dalam gue telusuri lorong ini, ternyata banyak pekerja lainnya yang berusia sangat tua dan masih aktif bekerja hingga larut malam. Melihat mereka, gue yang seharian ini melankolis mendadak bangkit dan kembali bersemangat untuk menghadapi tantangan selanjutnya disini.Â
Kemudian semua kesedihan dan ketakutan itu menguap, gue kembali berjalan cepat yang menandakan bangkitnya semangat dan siap untuk hari esok.
Baca Cerita Asli Gue di dangkurexplorer.com.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H