Mohon tunggu...
Dadang Dwi Septiyan
Dadang Dwi Septiyan Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Musik dan Peneliti Pendidikan Seni

Music Addict

Selanjutnya

Tutup

Seni Pilihan

Perempuan Punk: Perlawanan dan Gaya Hidup

4 April 2024   10:27 Diperbarui: 4 April 2024   10:28 190
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Brody Dalle, The Distillers (centerblog.net) 

Gender normatif adalah memperkuat atau memaksa standar ideal dari kemaskulinan atau kefemininan. Sebagai contoh bahwa perempuan harus pintar memasak, berdandan, mengurus anak dan suami atau laki-laki harus bekerja di luar, ini gender normatif yang akhirnya berubah menjadi tidak berkuasa pada dirinya sendiri di masyarakat. Perempuan dalam skena punk akan dibahas dalam artikel ini dengan menilik dari segi penampilan perempuan punk sebagai yang termasuk bagian dari budaya masyarakat.

Penampilan yang terdiri dari berbagai atribut ini memiliki makna simbolis sebagai bentuk perlawanan terhadap budaya dominan yang cenderung ideal. Pakaian punk yang kotor, belel, kelakuan nyeleneh merupakan wujud perlawanan terhadap sesuatu yang ideal. Inti dari punk adalah tanpa kompromi dan perlawanan terhadap otoritas. Hal demikian terwujud dalam fashion punk. Fashion punk turut meramaikan dalam penyampaian pikiran, kritik sosial, protes terhadap norma sosial yang diekspresikan melalui penampilan. Punk menggunakan musik dan fashion sebagai simbolisasi dan bentuk spektakuler dari perlawanan dan resistensi. Punk juga memiliki ciri-ciri budaya jalanan, karena mereka lepas menyimpang dari budaya induknya yang mapan ingin mandiri dan bebas. Budaya jalanan bukan sekadar budaya yang timbul di jalan, akan tetapi suatu kecenderungan sistem berpikir, nilai, dan praktik sosial yang lepas menyimpang dari budaya induknya yang dianggap mapan.

Skena punk tidak hanya terdiri dari laki-laki saja, akan tetapi perempuan juga termasuk ada di dalamnya. Dalam membahas perempuan dalam skena punk ini tentu tidak dapat dipisahkan dengan identitas gendernya. Identitas berkaitan dengan konsepsi yang dimiliki individu tentang dirinya sendiri dan citra diri individu itu di mata orang lain. Identitas merujuk pada pertanyaan tentang siapa perempuan punk dan bagaimana orang lain melihatnya. Identitas bukan sesuatu yang given, tetapi sebuah produksi yang tidak pernah final, selalu dalam proses dan dikontruksi direkontruksi dalam sistem penandaan atau representasi. Identitas dibentuk secara performatif melalui wacana, tidak muncul by nature di masyarakat atau ada sejak lahir, melainkan dibentuk secara performativitas. Jadi identitas gender itu adalah efek yang diproduksi oleh individu karena menampilkan secara berulang tindakan atau praktik yang secara sosial diterima sebagai penanda identitas laki-laki atau perempuan. Performativitas gender menyiratkan bahwa individu membentuk identitas gendernya, seperti layaknya memilih baju. Untuk menjadi seorang perempuan misalnya individu akan memilih baju yang secara sosial dianggap menampilkan femininitas. Jadi pilihan baju, cara berjalan, bermake up, bertingkah laku feminim itu bukan produk identitas feminim. Identitas feminim diperoleh karena individu menampilkan sikap dan perilaku berulang. Hal demikian yang disebut sebagai gender acts.

Gender acts tidak diinternalisasi oleh tubuh, akan tetapi dilekatkan atau ditorehkan pada tubuh. Individu dalam hal ini, memang dapat memilih untuk menampilkan gender actsnya, namun pilihan itu sudah disediakan oleh norma-norma yang sudah disepakati secara sosial atau masyarakat. Norma sosial ini yang terkadang membatasi individu dalam mengkontruksi identitasnya. Jadi norma sosial inilah yang mengikat individu tersebut untuk menampilkan gender acts nya. Hal demikian yang disebut sebagai gender normatif, yakni norma sosial yang memperkuat atau memaksa standar ideal dari kemaskulinan atau kefeminiman. Perempuan punk adalah perempuan yang pergi dari pusat patriarkal untuk mencari kebebasan dan kemandirian.

Perempuan sering diposisikan sebagai objek dan atraktif tidaknya seorang perempuan menjadi sangat tergantung pada definisi yang ditetapkan oleh laki-laki. Perempuan cenderung menjadikan tubuhnya sendiri sebagai objek untuk mencapai kategori atraktif semacam cantik, menarik, langsing, manis atau putih. Perempuan diajak untuk selalu melakukan observasi terhadap tubuhnya sendiri dan memastikan bahwa mereka melakukan hal yang tepat seperti yang diharapkan dan diangankan oleh kaum laki-laki. Industri kecantikan dan fashion sering mengajak perempuan untuk menikmati proses observasi dan olah tubuhnya sebagai objek fetish. Perempuan selalu diajak untuk men ikmati dan bangga dengan posisinya sebagai objek tatapan, ketika banyak mata menatap kagum pada penampilan. Hal tersebut merupakan pandangan umum laki-laki terhadap perempuan yang dianggap gender normayif di bidang penampilan, fashion, dan tata rias muka maupun rambut. Perempuan punk melawan pandangan umum tersebut, karena mereka memiliki gaya hidup atau style penampilan yang memiliki fungsi dan simbol tertentu.

Banyak perempuan yang menjadi punk karena pergaulan, perceraian orangtua, ekonomi keluarga, dan lingkungan atau pergaulan yang mempengaruhi mereka memilih gaya hidup punk. Perempuan punk merasa nyaman dengan hidup yang dijalani, mandiri, tidak peduli dengan kritikan orang, dan bebas berekspresi melalui seni atau hasil karya yang dibuat sendiri, serta melakukan kritik sosial pada pemerintah. Penguat mereka untuk menjadi punk yaitu musik punk dan ideologi punk tentunya, yang selalu menjadikan perempuan punk ini lebih berani, kuat, dan mandiri. Musik dianggap sebagai media untuk berkumpul, berekspresi, dan menyuarakan ideologi mereka tentang kebebasan dan kritik sosial. 

Bukan tanpa maksud, perempuan punk berpenampilan berbeda. Rambut berwarna, mohawk, piercing dimana-mana, tattoo, dll adalah simbol yang ingin disampaikan oleh mereka melalui penampilannya tersebut. Mohawk, rambut yang berbentuk duri menjulang ke atas sebagai simbol menentang penguasa yakni anti penindasan yang zalim. Selain itu sebagai simbol perlawanan bagi kaum tertindas yang tidak terima posisi mereka di bawah, karena punk menganggap strata mereka adalah takdir yang dapat dilawan dan mereka mampu mengatasi takdir tersebut dengan bermusik. Jeans robek yang terkadang juga digunakan oleh perempuan punk ini sebagai simbol kemerdekaan gerak dikarenakan ruang gerak mereka dibatasi dan terhimpit oleh lingkungan. Tattoo, sebagai simbol kekuasaan atas tubuhnya dan rasa cinta akan seni yang dimiliki oleh tubuhnya. Berikutnya piercing adalah simbol penguasaan penuh terhadap tubuh, karena piercing menimbulkan rasa sakit maka makna yang terkandung adalah kita sebagai manusia harus kuat dalam menahan rasa sakit dan segala rintangan hidup. Jangan takut sakit dan bahaya, semua dapat diatasi jika kita kuat. Yang terakhir dan ini juga cukup identik dari seorang punkers, yaitu boots. Boots ini biasanya dipakai oleh prajurit untuk melalui medan sulit, berbatu, dan licin. Perempuan punk menggunakan boots sebagai simbol bahwa punk akan siap menghadapi rintangan apapun baik sosial, hukum, hingga ekonomi. 

Perempuan punk ini memang berbeda dengan perempuan pada umumnya yang ingin tampil sesuai dengan gender normatifnya. Jadi seolah ada transformasi dari objek laki-laki menjadi subjek laki-laki. Tidak heran, jika perempuan punk ini memiliki kepercayadirian  dan sering mencantumkan atribut-atribut yang menandai atraktivitas fisiknya, yang sebetulnya bias dengan tatapan laki-laki. Perempuan punk selalu mencoba untuk tidak mempedulikan stigma sosial tentang penampilannya bahwa perempuan harus girly, anggun, cantik, natural, halus, dan lain sebagainya. Dalam estetika punk, perempuan punk berupaya untuk menghilangkan diri dari budaya dominasi dan gender normatif yang diresepkan oleh aturan sosial. Perempuan punk keluar dari pusat patriarki dan menentang ide-ide feminitas. Perempuan punk memiliki pengalaman dan relasi gender yang berbeda dengan kaum perempuan pada umumnya, hal demikian yang bisa dilihat dari gender acts. Perempuan punk menampilkan gender acts secara subyektif yang tidak tunduk pada aturan sosial sebagai identitasnya.

Ditulis oleh Dadang Dwi Septiyan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun