Mohon tunggu...
Dadang Dwi Septiyan
Dadang Dwi Septiyan Mohon Tunggu... Dosen - Pendidik Musik dan Peneliti Pendidikan Seni

Music Addict

Selanjutnya

Tutup

Music

Musik dalam Mengawal Pergerakan

14 Februari 2024   06:00 Diperbarui: 14 Februari 2024   06:02 104
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada sebuah pertanyaan menarik untuk mengawali artikel ini, yang dirujuk dari satu wawancara kepada John Lennon, "Lennon, bagaimana menurut Anda cara agar kita dapat menghancurkan sistem kapitalisme di Britania?". Lennon pun menjawab dengan cukup lugas dan serius, "Jika kita menguasai Britania, kita punya tugas besar yaitu membersihkan borjuisme dan menjaga orang-orang dalam pemikiran revolusioner.....".

Lennon di tahun 1971 memang sudah lain dengan Lennon yang berpotongan poni mangkuk, berjas necis, dan mendendangkan "I Want To Hold Your Hand" dengan raut sumringah, seakan-akan cuma patah hati satu-satunya masalah yang pernah didengarnya di dunia. Lagu-lagu dan aktivitasnya sudah semakin gencar menyelami dunia politik. Lennon menggarap "Imagine" dan "Give Peace A Chance" yang menjadi repertoar para demonstran dan pegiat perjuangan perdamaian, meski Dorian Lynskey menyebut lagu Give Peace A Chance mungkin lagu protes terburuk yang pernah diciptakan oleh superstar global. Lennon terus menyuarakan korban kelaparan di pengungsian Nigeria, memberi uang kepada para gipsi dan gelandangan, dan bergabung di banyak kampanye yang cukup kondang. John Lennon dan Yoko Ono mengadaptasi kampanye Phil Ochs "War is Over" dengan sesimpel membeli papan iklan di kota-kota besar dunia untuk menyampaikan pesan: War is over-If you want it-Happy Christmas from John and Yoko.

Musik, atau musisi, terkadang dapat jadi perabot politik kelas berat. Beberapa contoh musisi yang dapat berbicara politik, contoh selain John Lennon, misalnya Slank (yang dulu) dan Iwan Fals (yang dulu-dulu sekali). Ini juga menjelaskan alasan politikus seperti Tony Blair (Mantan Perdana Menteri Britania Raya) yang lebih memilih berpose dengan Fender Stratocaster, Bill Clinton (Mantan Presiden Amerika) bermain saxophone, atau Ahmad Dhani merasa bisa menang Pilkada dengan menjanjikan mendatangkan Red Hot Chili Peppers ke Indonesia. Mereka-mereka ini adalah produk dari kemajuan teknologi media massa dan bentuk komunikasi politik di era modern. Karena jika demokrasi bukan apapun lagi selain kompetisi "komunikasi politik siapa yang paling sukses", maka komunikasi lewat artis adalah metode yang laris. Mencamkan ini dalam-dalam akan mengurangi guncangan batin yang kita terima andai terulang kasus seperti Abdee Slank yang diangkat menjadi komisaris BUMN.

Musik sebagai sebuah bentuk komunikasi politik dan sebuah model representasi politik. Untuk mewujudkan komunikasi politik, musisi harus mampu mencerminkan gejala atau peristiwa tertentu. Setiap lagu adalah politis, tiap lagu mengandung kepentingan, termasuk kepentingan untuk berdagang atau merayu perempuan. Paradigma yang membengkak itu dapat mendesak kita melihat lagu yang hanya mengatakan "aku sayang kamu" hingga ke (misalnya) analisis kelas atau gemerlap eksistensial. Opini yang dapat menjadi kebenaran secara teori, tapi lumpuh sebagai instrumen untuk mengembangkan pemahaman relasi musik terhadap ranah politis yang lebih konkret. Musik politis adalah lagu-lagu yang diciptakan secara sadar dan mengenali ideologi politiknya, atau sengaja mencari atensi pendengar untuk tujuan yang bersifat emansipasi publik. 

Dalam strategi pergerakan sosial harus menarik sekaligus mengedukasi banyak orang supaya bersedia mengontribusikan waktu dan energinya, serta memobilisasi mereka untuk terkoneksi dalam aksi-aksi yang dibutuhkan. Musik bisa saja memainkan peran ini. Akan tetapi, perbedaan antara musik sebagai "refleksi" dan musik sebagai "penyebab" kerapkali membuat bingung. Kehadiran musik dalam sebuah pergerakan dianggap berperan sebagai kekuatan, padahal nyatanya hanyalah refleksi. Musik bisa saja menjadi refleksi dari sebuah aktivitas tanpa memiliki signifikansi mempengaruhi aktivitas itu. Alhasil, kita perlu mempertanyakan, "dalam kondisi seperti apakah musik mampu berkontribusi pada perubahan sosial?"

Lalu bagaimana dengan lagu-lagu yang tidak berperan dalam pergerakan apapun, namun terjerumus dalam selera para pelawan? Sebagaimana manusia, lagu-lagu tidak dapat memilih takdirnya sendiri. Namun perlahan semua akan lebih terpetakan, bermula dari mengamati bagaimana ekosistem musik-musik ini muncul, dipelihara, dan ambil peran. 

Penulis: Dadang Dwi Septiyan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Music Selengkapnya
Lihat Music Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun