Banyak orang mengatakan pembangunan fisik dan mental dilakukan bersamaan, tak perlu ada yang mesti didahulukan satu sama lain, keduanya bisa paralel. Benar, bisa saja keduanya dilakukan bersamaan. Namun, ungkapan tersebut selalu hanya sebatas klise belaka. Para perencana pembangunan umumnya gagal dalam hal menempatkan pelaku pembangunan yang bermental agung, meskipun sejumlah syarat moral sudah turut disertakan dalam penjaringannya. Buktinya, banyak gedung dan sarana fisik yang kita bangun namun dengan mental kontraktor yang buruk. Betapa banyak gedung, jalan, jembatan, perkantoran, perhotelan, waduk, dan sarana lainnya yang rusak dengan cepat lebih cepat dari perkiraan. Berapa banyak uang yang kita gelontorkan hanya untuk menambal jalan yang setiap tahun wajib rusak. Banyak usia jalan yang hanya bertahan selama 3 bulan saja. Kita malu dengan pembangunan fisik yang dilakukan oleh negara tetangga seperti Malaysia ataupun Siangapura. Â
Untuk melihat perkembangan mental, tidak salah kita bisa kembali ke pada dunia anak-anak atau saat kita kecil. Seorang anak yang masih dalam usia emas (5-7 tahun) atau anak yang duduk di bangku sekolah dasar tidak begitu mementingkan penampilan. Namun kerap kali orang tua yang membentuk penampilan anak sesuai dengan keinginannya. Sebetulnya asupan yang paling dibutuhkan anak selain asupan untuk tubuhnya adalah asupan untuk membangun mentalnya. Anak-anak usia emas lebih membutuhkan contoh teladan dari orang tua, bimbingan dan tuntunan, belaian dan kasih sayang, wejangan yang lembut ketimbang pakaian yang mewah, permainan, ataupun gadget. Jadi, pembangunan mental menjadi hal yang utama atau sebagai pondasi dalam membentuk mental manusia agung.
Pada era Meiji, suatu klan miskin Nagaoka yang dipimpin Kobayashi Torasaburo (1870) mendapat bantuan 100 karung beras dari klan yang lain. Namun beras tersebut dijual oleh Kobayashi untuk membangun sekolah bagi penduduk desa. Dua tahun setelah peristiwa itu, Dinasti Meiji kemudian membuat program utama membangun SDM melalui pendidikan yang luas kepada seluruh rakyatnya dengan keteguhan dan keterbatasan alam yang tak sebaik Indonesia. Lima puluh tahun kemudian (1904) Jepang mengalami perang dengan Rusia. Rusia mengerahkan armada Baltiknya sebagai salah satu armada terbaik di dunia. Namun di lapangan, Jepang berhasil memukul Rusia dalam pertempuran di laut Jepang.
Di Indonesia, kita tak pungkiri banyak anak bersekolah, banyak juga anak pintar yang juara olimpiade dunia dan kita bangga terhadap semua itu. Namun pada sisi yang lain kepintaran dan kecerdasan selalu berbanding terbalik dengan urusan mental. Kita juga mengamati berapa banyak anak-anak di bangku sekolah dasar, menengah dan atas yang sudah keranjingan gadget, membuka situs porno, melakukan aktifitas seks bebas, senioritas, menggunakan narkoba dan tawuran di jalanan. Bahkan pemerintah melalui mensos mengatakan bahwa kita sudah berada pada zona darurat pornografi. Betapa kita tidak lagi memiliki pertahanan budaya, pertahanan mental dalam menahan serbuan kejahatan dari luar yang merusak mentalitas anak-anak bangsa.
Penutup
Slogan 'Ayo Kerja' (AK) dari Presiden Joko Widodo dalam menyambut kemerdekaan tahun 2015 ini tidak salah, hanya tidak tepat sasaran. Hemat saya kita masih berada di zonasi perubahan mental yang menjadi ikon Jokowi sejak masa kampanye. Kebutuhan operasionalisasi konsep revolusi mental dalam kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini sangat ditunggu. Sebab perang dunia hari ini lebih pada peperangan mental. Serbuan budaya asing yang masuk melalui berbagai media informasi sudah tak dapat dibendung. Kita hanya tinggal membangun pertahanan yang kuat. Pertahanan yang kuat tentu saja adalah mental yang kuat, jiwa yang kuat. Kita mestinya berkehendak membangun akhlak anak-anak bangsa untuk mampu bertahan dari serbuan budaya materialistik (glamour), ajakan ngeseks secara bebas, ajakan mengkonsumsi narkoba dan ajakan hidup secara individualis. Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI