Presiden Joko Widodo tiba di Titik Kilometer Nol Indonesia di Pulau Sabang, Aceh, Selasa (10/3) canangkan slogan "Ayo kerja". (Kompas/Adrian Fajriansyah)
Menyambut kemerdekaan tahun 2015 ini Presiden Joko Widodo menyerukan slogan 'Ayo Kerja' (AK). Slogan yang bermakna ajakan sekaligus dorongan kepada rakyat agar bergegas bekerja. Slogan multi tafsir itu bisa saja sebagai tanda adanya pembukaan lapangan pekerjaan besar-besaran oleh pemerintah, bisa juga berarti rakyat banyak yang bermalas-malasan, bisa juga sekedar pencitraan untuk menemukan slogan yang sesuai dengan peringatan kemerdekaan RI. Bisa juga pesanan tim ‘pembisik’ Presiden yang melihat peluang positive di balik slogan tersebut.
Kita ingat, sebelumnya dalam kampanye dan pasca pelantikannya, Presiden kerap menyerukan slogan Revolusi Mental (RM). Namun belakangan slogan RM tampaknya kontraproduktif dan cenderung menurunkan nilai pemerintah di mata rakyat. Sebab, slogan RM itu kini telah dijadikan alat pemukul balik oleh berbagai pihak untuk menilai kebijakan pemerintah. Masa bulan madu slogan RM tampaknya sudah berakhir sebab memang lebih banyak dipersiapkan untuk menarik simpati saat kampanye saja. Tim Kepresidenan ternyata tidak cukup jauh menerawang bentuk impelementasi dari slogan RM. Membangun mental pada mental bangsa yang sedang terpuruk ternyata sangat sulit. Lebih sulit lagi sebab RM mesti dimulai dari pemimpin itu sendiri apakah itu Presiden, Wakil Prseiden, Menteri, Gubernur, Bupati, Walikota, Penegak Hukum, Anggota Dewan, atau Ketua Partai. Orang tau banyak kader partai berkoar-koar kehadapan publik tapi seketika menjadi ‘layu’ di hadapan Ketua Partai.
Adakah hubungan antara slogan AK dengan RM? kalau ditanya pemerintah mungkin akan dijawab bahwa slogan AK adalah implementasi dari RM, jadi slogan AK dengan RM sejalan. Dari semangatnya, slogan AK dengan RM tampak beriringan. Mental pelamun, pemimpi, pemalas, pengangguran mesti digerakkan dengan slogan AK. Namun menyuruh atau mendorong orang bekerja bisa jadi tidak sampai menyentuh perubahan mentalnya (kesadarannya). Terbukti banyak orang bekerja tapi tidak menambah nilai positif bagi pembangunan bangsa. Banyak orang bekerja hanya untuk kepentingan pribadi dan kelompok. Orang butuh kerja saat ini hanya untuk makan, tidak lebih. Banyak orang merasa terjepit hanya karena perut terhimpit. Orang tidak merasa bersalah jika pikirannya ‘ngeres’ hendak memuaskan nafsu syahwatnya.   Â
Jadi slogan AK sangat berorientasi fisik, bangun badannya saja, mengisi perut yang keroncongan karena sudah lama menganggur atau menambah volume kerja dari para sipemalas. Slogan AK kelihatan jelas terputus dari RM. Revolusi mental membutuhkan asupan bagi mental spritual rakyat. Rakyat sedang ‘keroncongan’ jiwanya, butuh makanan spritual tidak hanya makanan fisik belaka. Rakyat butuh asupan keteladanan yang dapat mereka jadikan standar kebenaran akan kesejatian. Sudah terlalu lama, ruang publik kekosongan sosok teladan yang benar-benar melaksanakan nilai-nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sesuai dengan yang termaktub dalam Pancasila. Â
Fisik & Mental
Pembangunan fisik jauh lebih mudah dibandingkan dengan pembangunan mental. Untuk membangun satu gedung pencakar langit yang tertinggi di dunia, seorang arsitek terlebih dahulu membuat cetak birunya dengan jelas, menentukan waktu pengerjaannya, menentukan pekerja bangunan (SDM), alat dan bahan yang dibutuhkan dapat dilihat, bisa diawasi dengan kasat mata dan hasilnya nyata bisa diraba.
Setiap terbentuknya kabupaten dan kota baru di Indonesia pasti diikuti dengan kebutuhan pembangunan infrastruktur. Lahirnya satu Kota Baru pasti membutuhkan gedung perkantoran, pembangunan jalan-jembatan, ketersediaan energi (listrik), kebutuhan air dan telekomunikasi, sekolah maupun sarana kebutuhan lainnya. Para ahli untuk membangun Kota Baru mudah didapat. Para kontraktor banyak yang bersedia ikut tender, bahkan bersedia antri menunggu. Kontraktor siap bersaing untuk menunjukkan kualitas kerja terbaik dengan pekerjaan seefisien mungkin. Â Â
Sebaliknya, tidak mudah membangun mental-spritual. Kita bisa membuat cetak biru manusia dengan standar mental yang kita inginkan. Misalnya, kita membayangkan keagungan manusia Indonesia dengan mental Pancasialis (manusia Pancasilais) yang sanggup menjadi mercusuar dunia. Manusia yang menjiwai nilai-nilai Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kebijaksanaan dan Keadilan. Berapa lama waktu yang kita butuhkan? Menentukan waktu yang dibutuhkan, kita mulai bingung. Tidak ada pelajaran di sekolah yang bisa memastikan (konstanta) berapa banyak waktu dibutuhkan membentuk mental anak bangsa.
Siapa tukang-tukang (SDM) yang akan membangunnya? Khusus untuk standar tukang (SDM) mungkin kita butuh kualifikasi yang lebih rinci. Bagaimana pengalamannya (jejak rekamnya), kapasitasnya (kemampuannya)? Apa saja alat dan bahan yang dibutuhkan untuk membangun mental anak-anak bangsa? Bagaimana campuran semen, pasir, air, besi, beserta alat kerja yang kita butuhkan untuk membangun mental? Para kontraktor mulai bingung, mungkin banyak yang mundur karena tak sanggup, meski ada juga yang memaksakan diri seolah-olah sanggup. Karena sudah diumumkan ke depan publik, mau tak mau, proyek pembangunan mental terus berjalan bersebelahan dengan proyek fisik yang juga berlangsung.
Mana Yang Lebih Dahulu?