Mohon tunggu...
Dadang Pasaribu
Dadang Pasaribu Mohon Tunggu... -

pengembara mengikuti jalan yang ditempuh pengembara sebelumnya dari gelap hingga terbitnya matahari

Selanjutnya

Tutup

Politik

Ritual Perayaan : Warisi Apinya Bukan Abunya

18 Agustus 2015   17:05 Diperbarui: 18 Agustus 2015   18:16 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

RITUAL PERAYAAN : Warisi Apinya Bukan Abunya

Kita kembali merayakan kemerdekaan. Berbagai perlombaan di helat. Ada perlombaan untuk mengungkap ceria, dimana anak-anak, gadis remaja, orang tua ralut dalam baluran acara yang disuguhkan panitia. Ada juga acara menungkap jiwa mulai diskusi, analisis, drama musikal, puisi dan renungan suci membangkitkan imaji perasaan ke masa lalu. Tidak hanya perayaan disekolah atau disekitar lingkungan rumah, namun tidak ketinggalan perusahaan swasta hingga pemerintah baik di dalam maupun diluar negeri. Tidak juga surat kabar lokal, dan nasional yang meliput acara tidak ketinggalan tekevisi lokal dan televisi nasional juga membuat laporan khusus kepada segenap pemirsa.

Tempat perayaan juga tidak sebatas lapangan sepak bola, tapi juga bisa berada di gang-gang sempit, di pojok kota, di pinggir kali, di kali itu sendiri, di pegunungan, di laut, di pinggir jalan, di dalam ruang sekolah, di kantor-kantor pemerintah, di kedutaan besar, bahkan di rumah-rumah. Tidak hanya terbatas acara yang itu-itu saja namun saat ini muncul kraetifitas membuat acara-acara baru yang tak ada sebelumnya seperti lomba lari pocong pada malam hari. Kita semua gembira mengingat merdeka, dengan menyambutnya melalui ragam acara. Kita semua bersyukur menyambut merdeka yang sudah 70 tahun dalam pelukan kita.

Tahun depan kita akan bertekad melakukan kembali sebab acara demi acara terasa begitu menyentuh hati. Tidak jarang kita gembira sambil menangis mengingat perjuangan para pahlawan pejuang kemerdekaan dahulu. Tidak jarang kita merenung sejenak teringat betapa masalah bangsa masih banyak bertumpuk. Tidak jarang kita menerawang jauh kebelakang manakala begitu banyak pesan pahlawan yang masih kita lupakan.

Tidak jarang air mata kita menitik haru sebab banyak waktu kita yang terbuang dengan kegiatan yang tak perlu. Atau kita juga tersentak sadar sebab kita sadar bahwa kita ternyata adalah bangsa yang besar. Baru kita sadari, ternyata penting sekali melakukan perayaan kemerdekaan itu setiap tahunnya. Karena itu kita bertekad tahun depan kita akan merayakannya kembali.

Warisi Apinya Bukan Abunya

Tanpa kita sadari kita selalu melakukan kegiatan yang berulang-ulang untuk tujuan tertentu. Namun kita hanya sebatas melakukannya saja. Tindakan yang kita lakukan seringkali tidak “menghidupi” ruhaniah kita yang dapat membersihkan jiwa kotor kita. Ingatan yang kita bawa dalam diri kita seringkali tidak ingatan berumur pendek, yang hilang dengan mudah pada esok hari. Kita selalu senang dengan seremoni ataupun ritual. Secara perlahan seremonial atau bahkan ritual telah kita tempatkan menjadi hal yang substansial. Jika sudah melakukan perayaan maka sudah baiklah kita dihadapan Tuhan. jika sudah melakukan perayaan maka sudah benarlah kita sebagai bangsa yang menghormati jasa pahlawannya.

Bung Karno ada mengatakan “warisilah apinya bukan abunya”!!. Api adalah amsal dari jiwa. Api yang berkobar-kobar adalah makna dari jiwa yang berkobar-kobar, menyala-nyala. Jiwa para pahlawan kesuma bangsa mestinya yang berkobar-kobar menyala dalam kesadaran kita. Kita semestinya mewarisi jiwa pahlawan kemerdekaan. Kita semestinya mewarisi karakter atau mental para pejuang kemerdekaan. Mental utama para pahlawan adalah mental kesatria, jiwa kesatria, karakter para kesatria.

Apa mental sejati mereka yang sanggup memerdekaan bangsa kita? Tidak lain adalah mental sejati yaitu sanggup berkorban dengan harta dan jiwa mereka untuk membangun bangsa lepas dari belenggu penjajah. Tidak terbayang sedikitpun dibenak mereka rumah dan kekayaan atau keluarga. Semua itu sanggup mereka korbankan hanya untuk membangun anak-anak negeri. Para pahlawan berkorban dengan melihat jauh ke depan. Tidak akan menjadi pahlawan jika mereka berfikir pendek, berfikir untuk diri mereka sendiri. Tidak akan ada merdeka pada orang-orang yang sibuk menumpuk harta benda. Tidak akan ada merdeka pada orang-prang yang sibuk mencari kuasa dengan mengorbankan sesama. Tidak akan merdeka pada mereka yang sanggup menjual negara pada para penajajah. Tidak akan merdeka pada mereka yang selalu hidup bersenda gurau memikirkan nasib keluarganya semata.     

Api kesatria itulah yang hidup menyala dalam jiwa korsa. Api kesatria itulah yang hidup menyala menerangi setiap napaktilas jalan hidup para kesuma bangsa. Api kesatria itulah yang hidup menyala dari hari ke hari ditempa alam semesta. Api kesatria itulah yang hidup menyala tidak gampang padam karena dikawal oleh guru-guru bangsa yang bijak bestari. Api kesatria itulah yang hidup menyala hingga mereka mengantarkan semua kita ke depan pintu gerbang kemerdekaan kita. Api kesatria itulah yang hidup menyala yang mampu melihat masa depan bangsa harus merdeka dari penjajah. Api kesatria itulah yang hidup menyala dengan berdasar spirit suci yang datang dari Tuhan Yang Maha Esa. Api kesatria itulah yang mesti kita warisi, hari ini, esok dan di masa yang akan datang.

Alam Semesta Menjadi Guru

Bagaimana memperoleh api kesatria? Api kesatria yang hidup menyala ditempa oleh segenap penderitaan hidup bukan oleh segenap kekayaan. Api kesatria yang hidup menyala hidup dari para pemantik yang berbudi pekerti luhur bukan berasal dari pemimpin yang selalu membeli suara rakyat. Api kesatria yang hidup menyala tumbuh dari guru-guru alam semesta bukan dari guru-guru yang sibuk menjual ijazah. Api kesatria yang hidup menyala tumbuh dari alam semesta raya, dengan seluruh perjalanan yang ada di alam nusantara.

Para kesatria telah menggadaikan dirinya keharibaan Tuhan Yang Maha Kuasa. Dengan tulus ikhlas berjuang memerdekakan bangsa dari penjajah. Para kesatria kesuma bangsa telah mengkesampingkan pribadi dan keluarganya dengan menomorsatukan bangsa dan negara. Merekalah para negawaran sejati yang berjuang untuk kepentingan negara bukan untuk tujuan pribadi. Penderitaan dan jerit tangis anak bangsa yang sudah 300 tahun di jajah lah yang membuat mereka banyak belajar. Pedihnya kehidupan yang membuat mereka banyak tersadar bahwa hidup tidak bisa hanya berpangku tangan, kemerdekaan mesti diperjuangkan bukan ditunggu. Kenyataan hidup lah yang membuat para kesatria memiliki pengalaman yang sejati yang terpatri kuat dalam sanubari. Alam terhampar telah menjadi guru yang bijak bagi mereka.

Penutup

Genap sudah usia Republik 70 tahun. Masalah masih menumpuk, penderitaan rakyat masih muncul dimana-mana. Meski sudah 70 tahun, ternyata segala sesuatunya masih jauh dari harapan. Meski tak ada lagi yang datang menjajah, namun kita tetap saja masih terkungkung, masih terpasung oleh kuatnya cengkeraman asing. Hanya saja, kini kita tak sekuat dulu. Kini kita tak lagi memiliki guru yang hebat. Kita kalah oleh keinginan dan ego pribadi maupun kelompok kita masing-masing. Kita masih sibuk untuk kepentingan sesaat dan materiil. Kita belum mensasar kepentingan jangka panjang dan ideologis. Sudah 70 tahun kita hanya bisa melakukan perayaan belum mencapai substansial. Cita kemerdekaan semakin juah dari kenyataan. Dirgahayu Kemerdekaan RI yang ke-70.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun