Mohon tunggu...
Dadang Pasaribu
Dadang Pasaribu Mohon Tunggu... -

pengembara mengikuti jalan yang ditempuh pengembara sebelumnya dari gelap hingga terbitnya matahari

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mewaspadai Solusi Cacat KPU pada Daerah Calon Tunggal

18 Agustus 2015   08:46 Diperbarui: 18 Agustus 2015   09:03 117
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Terdapat 13 daerah yang awalnya memiliki calon tunggal dalam pemilihan kepala daerah di berbagai daerah. Berdasarkan ketentuan UU Pemilukada 2015, KPU membuka pendaftaran kembali. Hasilnya, terdapat enam daerah yang menerima tambahan yaitu Kabupaten Serang, Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Asahan, Kabupaten Purbalingga, Kabupaten Bolaang Mongondow Timur dan Kabupaten Minahasa Selatan. Dengan begitu  tersisa 7 kabupaten dan kota yang masih memiliki calon tunggal. Berdasarkan UU Pemilukada 2015 disebut bahwa ke tujuh daerah tersebut wajib ditunda pelaksanaannya samapi pada tahun 2017. KPU kemudian membuka kembali perpanjangan khusus bagi ke tujuh daerah tersebut berdasar rekomendasi dari BAWASLU yang bertentangan dengan UU Pemilukada 2015. Hasilnya ada 5 Kabupaten dan Kota yang tetap saja masih memiliki calon tunggal. Sementara ada daerah yang mendapat tambahan pasangan calon yaitu Kota Surabaya (Jawa Timur) dan Kabupaten Pacitan (Jawa Timur) dan Kota Samarinda (Kalimantan Timur).

Kita wajib bertanya, mengapa tetap terdapat calon tunggal dalam Pilkada serentak 2015 meski KPU sudah dua kali membuka pendaftaran ulang? Mengapa KPU membuka perpanjangan pendaftaran Pilkada hanya berdasar rekomendasi Bawaslu yang bertentangan dengan UU Pemilukada?

Pingin Menang Sendiri

Beberapa keanehan terjadi dilapangan seputar munculnya pasangan tunggal seperti di Kota Surabaya. Tanpa adanya calon independen praktis Pilkada Kota Surabaya hanya diikuti calon dari partai politik. Kursi DPRD yang berjumlah 50 kursi, 15 kursi diantaranya adalah milik PDIP sementara partai lain berbagi sisanya. Sebagai satu-satunya parpol yang bisa mengusung pasangan calon secara tunggal inilah PDIP kelihatan percaya diri. Tanpa butuh berkoalisi melibatkan partai lain PDIP langsung “tancap gas” mengusung Risma-Wisnu (petahana) sendirian di depan. Apalagi didukung oleh performa Risma yang sangat menonjol, pasti sulit dibendung oleh calon lainnya. Benar saja, hingga penutupan pendaftran tanggal 28 Juli 2015 hanya Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dengan calonnya Risma-Wisnu yang sudah mendaftar ke KPUD Surabaya.

“Kelakuan” PDIP yang tampil sendiri inilah yang memantik respon negatif partai lainnya seperti Gerindra, Demokrat, PKB, Golkar, PAN dan PKS yang kemudian membentuk blok baru yaitu blok Majapahit yang memiliki 29 kursi, menyisakan 6 kursi lainnya milik Hanura, PPP, Nasdem yang belum menentukan arah, apakah bergabung ke PDIP atau ke Majapahit. Sampai detik terakhir sebenarnya ada pasangan Dhimam Abror-Haries Purwoko yang telah datang ke KPU untuk mendaftar pada hari Senin. Namun, di tengah proses pendaftaran, Haries Purwoko yang dicalonkan sebagai wakil wali kota memilih mundur bahkan menghilang yang membuat calon walikota Dhimam Abror tertinggal sendirian. Hasil penyelidikan ternyata Haries Purwoko tidak siap menjadi “calon boneka”.

Partai Tanpa Kader

Sementara itu, ditundanya tahapan pilkada di Kabupaten Blitar sangat disayangkan warga Blitar. Mereka menilai, partai politik gagal mencetak kadernya, sehingga mereka tidak mempunyai figur yang tepat maju menjadi calon kepala daerah.  "Kami sayangkan mundurnya pilkada ini, dan ini menunjukkan partai politik gagal mencetak kadernya jadi pemimpin di Blitar. Anggaran mereka besar, tapi tidak mampu mencetak kader," kata Joko Prasetyo, salah seorang warga Kabupaten Blitar. Ia juga meminta KPU mengembalikan sisa anggaran yang belum digunakan untuk tahapan pilkada. Hal itu sebagai wujud pertanggungjawaban, mengingat kegiatan pilkada ditunda hingga 2017.  "Masyarakat juga harus mengawasi, jika ada penyerapan yang tidak sesuai dengan ketentuan harus dikembalikan," katanya. 

Untuk menghadapi calon Pasangan Petahana Kabupaten Blitar (Jawa Timur), M. Riyanto/Petahana-Urip Widodo (PDIP + Gerindra 19 Kursi) sebetulnya terdapat sembilan partai yang mendeklarasikan diri sebagai koalisi, yaitu koalisi rakyat Blitar Berjuang, yang terdiri dari PKB, PAN, Partai Gerindra, Partai Golkar, Partai Demokrat, PKS, Partai Nasdem, PPP, serta Partai Hanura. Koordinator koalisi Suswati mengatakan deklarasi itu dilakukan dengan tujuan sama, menjadikan Kabupaten Blitar lebih baik. Koalisi ini mengantongi 34 kursi dari total 50 kursi di legislatif. Namun, nyatanya sampai hari terakhir pendaftaran, tidak ada calon lain yang mendafta. 

Aksi Borong Partai & Dendam

Fenomena calon tunggal juga terjadi sebagai akibat dari adanya aksi borong partai. Pasangan Petahana di Kab. Tasikmalaya UU Ruzhanul telah menguasai 40 kursi DPRD dari 50 kursi yang ada. Sebagai calon Petahana dan di dukung 80% jumlah kursi anggota DPRD membuat calon lawan merasa “keder”. Anehnya, andaikanpun UU Ruzhanul mau memborong semua dukungan tetap saja masih bisa dilakukan. Tidak ada aturan main (undang-undang dan PKPU) yang membatasinya. Aturan Pilkada hanya tidak mengijinkan adanya pasangan tunggal itu saja. Jadi, setiap pasangan dengan kemampuan yang dia miliki bisa saja memborong partai dan bisa saja membuat “calon boneka”.   

Kuatnya petahana dan adanya aksi borong partai tersebut serta ancaman kekalahan inilah yang membuat respon lawan menjadi negatif. Sebagai jawaban terhadap siuasi sulit itu, tidak jarang pasangan petahana menunggu adanya calon pasangan lain mendaftar terlebih dahulu. Sebab jika petahana mendaftar di awal mereka takut lawan tidak ada yang mendaftar sehingga Pilkada akan ditunda 2017. Sebaliknya, calon yang merasa underdog justru menunggu Pasangan Petahana mendaftar terlebih dahulu. Jika Petahana mendaftar terlebih dahulu maka bola ada ditangan mereka apakah Pilkada berlanjut atau tidak. Pada Pilkada Kabupaten Tasikmalaya, Ruhimat salah seorang calon penantang Petahana menilai, bahwa kemunduran dari gelanggang Pilkada ini supaya Pilkada Tasikmalaya dilaksanakan tahun 2017. Sehingga, pasangan calon kepala daerah yang akan maju tak ada dari petahana.  "Kalau tahun 2017 nanti kan gak ada namanya petahana. Bupati dan wakilnya kan habis masa jabatan awal 2016 nanti. Jadi kita saingannya akan semakin elegan," kata Ruhimat.

Pilkada di Kabupaten Pacitan lain lagi ceritanya. Munculnya calon satu pasangan dalam Pilkada tidak hanya karena lawan takut namun juga sebagai siasat bagi partai-partai politik lainnya untuk menjajaki kekuatan pasangan petahana tersebut. Partai politik enggan mendaftarkan calonnya karena ingin mengganjal calon Petahana Indartarto/Petahana-Yudi Sumbogo yang didukung PD, PPP, PKS, dan Nasdem. Partai sudah tidak punya pilihan lain selain membiarkan pasangan petahana berjalan sndirian. Meski parpol bertujuan untuk merebut kekuasaan namun Pilkada kali ini justru partai mengurungkan niat untuk merebut kekuasaan. Bukan karena apa-apa, karena lawan yang mereka hadapi terlalu kuat untuk dapat dikalahkan mereka.

KPU Memberi Solusi dalam Kepanikan

Fenomena calon tunggal yang tidak diprediksi oleh anggota DPR selaku pembuat undang-undang membuat panik berbagai kalangan tidak terkecuali para pemangku kepentingan. Pilihan hanya ada dua untuk mengatasinya apakah dengan PERPPU atau Menundanya sesuai dengan perintah UU Pemilukada. Presiden kemudian berdiskusi dengan lembaga-lembaga terkait termasuk KPU dan Bawaslu. Hasilnya, Bawaslu membuat rekomendasi kepada KPU untuk memperpanjang kembali pencalonan Kepala Daerah di 7 Kabupaten dan Kota dan KPU menerimanya. KPU kemudian membuat pernyataan di publik bahwa perpanjangan pendafataran calon Kepala Daerah sudah sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Terjadilah perpanjangan masa pendafataran khusus untuk 7 Kab/Kota tersebut tanpa perlu melalui PERPPU. Kpu kemudian membuat Keputusan KPU RI (PKPU) nomor 449/VIII/2015 tentang pembukaan kembali pendaftaran pasangan Calon Kepala Daerah di 7 Kabupaten/Kota

Kebijakan yang diambil KPU tersebut, yang seolah bijaksana dan tidak melanggar undang-undang ternyata tidak demikian dipahami oleh sebahagian kalangan. Adalah PERLUDEM suatu lembaga non pemerintah (ORNOP) pemerhati Pemilu yang menentang kebijakan tersebut. Alasannya, pertama KPU jelas melanggar putusannya sendiri yaitu PKPU tentang Pemilihan Kepala Daerah yang jelas-jelas menyatakan bahwa calon tunggal ketika sudah dibuka pendaftaran dan tidak ada juga yang mendaftar maka Pemilukada di daerah tersebut wajib ditunda sampai tahun 2017 tanpa ada opsi lainnya. Jadi tidak ada opsi menambah perpanjangan waktu kembali. KPU bahkan melanggar UU Pemilukada yang juga mengatur aturan yang sama. Kedua, kalaupun akan memperpanjang waktu pendaftaran selama 3 hari tanggal 11-13 Agustus yang lalu, kebijakan itu hanya dapat di lakukan dengan mengeluarkan PERPPU juga. Jadi, semua kebijakan yang bertentangan dengan UU hanya bisa dilakukan dengan menerbitkan PERPPU, apakah itu melanjutkan proses Pilkada dengan bumbung kosong, apakah itu mengangkat secara aklamasi calon tunggal atau bahkan memperpanjang kembali masa pendaftaran calon Pilkada.

Pakar Hukum Administrasi dan Tata Negara dari Universitas Bhayangkara, Surabaya, Jawa Timur, Sadjiono, juga menilai bahwa putusan memperpanjang pendaftaran bertentangan dengan PKPU 12/2015 Pasal 89. Disebutkan, bila sampai akhir masa pendaftaran pasangan calon (paslon) hanya terdapat satu paslon atau tidak ada paslon yang mendaftar, KPU memperpanjang masa pendaftaran paling lama tiga hari. Namun, kata Sadjiono, apabila sampai berakhirnya perpanjangan pendaftaran tetap satu paslon atau tidak ada yang mendaftar, maka KPU seharusnya menetapkan keputusan penundaan seluruh tahapan. “Tapi, yang terjadi di tujuh daerah, termasuk Surabaya, saat ini tidak sesuai norma alias inkonstitusional. Karena KPU atas rekomendasi Bawaslu RI memperpanjang pendaftaran kembali pada 9-11 Agustus,” jelasnya.

Berdasarkan analisis tersebut, menurut PERLUDEM (dalam wawancana dengan satu stasiun televisi nasional), sangat terbuka kemungkinan Pilkada Kota Surabaya (Jawa Timur), Pilkada Kabupaten Pacitan (Jawa Timur), dan Pilkada Kota Samarinda (Kalimantan Timur) untuk digugat ke pengadilan. Sebab Pilkada tersebut diselenggarakan hanya berdasarkan kebijakan KPU saja yang di dasari atas rekomendasi dari Bawaslu yang bertentangan dengan PKPU dan UU Pemilukada 2015.

Sebelumnya, DPC PDIP Kota Surabaya berwacana akan mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, Mahkamah Konstitusi (MK), dan Mahkamah Agung (MA) terkait PKPU Nomor 12 Tahun 2015 tentang Pencalonan Kepala Daerah. Gugatan tersebut khususnya menyangkut Pasal 89 ayat (1) PKPU Nomor 12 Tahun 2015 terkait perpanjangan masa pendaftaran pasangan calon kepala daerah yang diperpanjang paling lama tiga hari apabila hanya ada satu calon. Menurut mereka, perpanjangan dengan masa 3 hari itulah yang membuat peluang untuk terjadinya pencalonan tunggal justru terjadi. Sebab sulit bagi calon mempersiapkan diri selama 3 hari perpanjangan tersebut.

Kecaman yang keras juga datang dari Ketua Komisi A DPRD Jatim, Freddy Poernomo tentang keluarnya Keputusan KPU RI nomor 449/VIII/2015 tentang pembukaan kembali pendaftaran pasangan Calon Kepala Daerah selama 3 hari, khusus di 7 Kabupaten/Kota saja. Bahkan mereka menganggap kebijakan perpanjangan waktu pendaftaran untuk Kab/Kota yang hanya memiliki satu pasangan calon (paslon) dianggap sia-sia saja. Apalagi perpanjangan pendaftaran pilkada bertentangan dengan UU No 1/2015 tentang pengesahan Perpu No. 1/2014. Freddy Poernomo menuding KPU RI terlalu prematur dan memaksakan Pemilukada di 3 Kota/Kabupaten di Jawa Timur, yaitu Surabaya, Kabupaten Blitar dan Kabupaten Pacitan. “Kalau diperpanjang, sama saja memaksakan dan ini jelas melanggar hukum,” terang Freddy Poernomo serius. Politisi Partai Golkar ini, menilai pemerintah ingin membersihkan diri dari pelaksanaan pilkada yang amburadul. Seharusnya pemerintah membiarkan dulu pelaksanaannya, baru dilakukan evaluasi. Sebaliknya, belum dilaksanakan hasil PKPU 2/2015 tiba-tiba ada desakan Presiden agar membuat Perpu termasuk yang sekarang ada pengunduran jadwal pendaftaran pemilukada serentak selama enam hari. "Apa ini negara ingin cari amannya. Seharusnya sebelum membuat UU maupun aturan apapun namanya harus dikaji secera detail dan hati-hati agar tidak terjadi lagi seperti ini," lanjut Freddy lebih keras. Terpisah, Ketua OKK Partai Demokrat Jatim, Hartoyo mengatakan perpanjangan waktu yang diberikan KPU RI terkait pendaftaran tidak bisa memaksa parpol untuk memajukan calonnya. Namun, sebagai partai politik pihaknya akan mengikuti aturan dan ketentuan (http://dprd.jatimprov.go.id/berita/id/4925/komisi-a-dprd-jatim-ingatkan-kpu-ri-perpanjangan-pendaftaran-pilkada-cacat-hukum).

Penutup

Penting diingat, fenomena “aneh bin ajaib” pada Pilkada serentak 2015 ini bisa disebut adalah sebagai “gawean” partai politik. Partai jelas-jelas telah mengangkangi fungsinya sebagai segregasi dari kepentingan masyarakat. Partai berjalan sendiri, semaunya sendiri. Partai bergerak dengan dituntun oleh kepentingannya sendiri. Wajar saja jika kita saat ini tidak melihat adanya kader-kader partai yang handal. Ternyata partai memang tidak pernah mempersiapkan kader. Mereka hanya mempersiapkan partai sebatas “kendaraan belaka” yang siap “diperjualbelikan” dan siap “disewakan” kepada calon swasta. Kerasnya kepentingan inilah yang membuat muncul fenomena calon tunggal ini dan solusi yang tidak cerdas dari KPU.    

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun