Mohon tunggu...
Dadang Pasaribu
Dadang Pasaribu Mohon Tunggu... -

pengembara mengikuti jalan yang ditempuh pengembara sebelumnya dari gelap hingga terbitnya matahari

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Belajar dari Charlotte Mason: Hakekat Anak & Pilihan Baik Buruk #2

27 Juli 2015   08:29 Diperbarui: 27 Juli 2015   08:29 127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tidak dipungkiri, kita saat ini sedang memasuki masa panen yang hebat, panen kejahatan manusia dimana-mana. Masalahnya adalah selama ini kita baru mampu memberi asupan fisiknya saja sementara lupa dengan asupan jiwanya. Kita baru mampu menyediakan makanan bagi fisik anak-anak bangsa namun kita tak mampu menghidangkan makanan bagi jiwanya. Kita sungguh asyik menggelontorkan uang trilyunan rupiah untuk membangun dermaga, jalan, jembatan, rumah, perkantoran, sekolah, dan sarana fisik lainnya. Namun kita lupa membangun mentalitas bangsa. Kita dengan mudah mampu mewisuda ribuan putra-putri bangsa sebagai insinyur dan arsitek pembangunan fisik, namun kita gagal melahirkan pemimpin yang menjadi teladan ditengah anak-anak kita. Walau sudah ribuan kali kita selalu diingatkan dalam setiap nyanyian kebangsaan “bangunlah jiwanya, bangunlah badannya”. Kita baru mampu melihat dimensi fisik manusia saja sementara kita abai melihat dimensi spritual yang sesungguhnya. Terlalu kejam jika kita mengatakan bahwa kita adalah residu peradaban yang kita cipta sendiri. Kitalah sampah peradaban itu! Semua indikator hidup dan kehidupan manusia pada wilayah fisik dan mental semakin lama semakin hancur. Ditengah dunia yang kita tiduri sendiri kita sanggup mengacak-acaknya seakan tak ada orang lain disamping kita.

Sudah saatnya kita mengaktifkan otak kanan kita dalam menembus batas-batas fisik. Kita sudah mesti melihat apa yang ada dibalik kotak-kotak, dibalik kerangka, dibalik bangunan fisik, dibalik angka-angka, dibalik kerja rutinitas dan otomatis yang senantiasa membutakan mata spritual kita. Manusia mulai terkuasai oleh kekuatan-kekuatan tersebut sehingga menjadi tergantung dan lemah. Dalam keadaan ini manusia tidak lagi menjadi subjek yang mandiri tetapi telah mengalami detotalisasi dan dehumanisasi (Erich Form). Kita menjadi teralienasi dan satu dimensi. Bahkan semua itu sudah dimulai sejak kita masih kecil. Salah paham dalam memahami anak-anak yang masih kecil ternyata sama saja dengan menuai badai masa depan yang maha dahsyat. Sambil menunggu konsep perubahan mental spritual yang sedang digodok pemerintah, tidak salah jika kita membaca pemikiran Charlotte Mason yang dihantarkan dengan sangat baik oleh Ellen Kristi menyangkut tanggung jawab orang tua. Tampaknya kita mesti menempatkan orang tua sebagai sasaran pembangunan mental bangsa ketimbang langsung fokus pada anak-anak yang sesungguhnya tak berdosa.      

Anak adalah Pribadi yang Utuh (Jiwa + Raga)

Bagaimana pemahaman (pandangan) manusia tentang manusia? Bagaimana kita menilai diri kita sendiri? Tingginya ilmu pengetahuan ternyata tidak mencerminkan manusia mengenali dirinya yang terdalam. Tingginya ilmu justru malah menempatkan manusia bagai seonggok daging, mainan atau komoditi belaka. Wajar saja jika banyak orang berilmu tinggi pekerjaannya justru bertentangan dengan kehendak manusia dan alam. Kita sadar, kerusakan alam sekitar kita berupa banjir bandang, kekeringan yang berkepanjangan, penebangan hutan liar, keracunan tanah karena proses kimia, polusi udara, bahkan kerusakan mental manusia adalah disebabkan ulah manusia itu sendiri. Dimensi raga, tampilan fisik, penampilan yang simbolik, “kebutuhan perut” dan “dibawah perut” ternyata menjadi tujuan utama.

.....pemikiran filosofis Aristoteles menempatkan manusia sebagai unit dari kingdom animalia, sains modern cenderung memahami manusia dari sisi spasial dan biologisnya sebagai binatang, manusia adalah “binatang yang beradab”, “binatang yang berjalan di dua kaki”, “binatang yang berpengetahuan”, “binatang yang berpolitik”, “binatang memiliki kemampuan memilih” dan “binatang yang suka mencontoh”. Filsafat scholastik melanjutkan pemikiran ini dengan menerima defenisi manusia sebagai “binatang yang berfikir”, sementara Benyamin Franklin mendefenisikan manusia sebagai Homo faber, “binatang pembuat perkakas”. Pada era modern La Mettrie mengajukan pendapat bahwa proses kejiwaan manusia tak lebih seperti kerja mekanis mesin, apabila kita masukkan makanan ke dalamnya akan memproduksi pikiran, suatu “rakitan dan karya pertukangan yang ulung”. Namun defenisi yang paling frontal muncul dari pemikir menjelang era Nazi Jerman. Manusia adalah benda atau komoditas. Badan manusia mengandung lemak yang cukup membuat tujuh batang sabun, besi yang cukup membuat paku ukuran sedang, fosfor yang cukup membuat dua ribu pentol korek api, sulfur yang cukup untuk membuaang kutu-kutu satu orang. Para tentara Nazi memang benar-benar membuat sabun dari lemak tubuh tawanannya di kamp-kamp konsentrasi.      

Benarkah manusia, -anak yang kita susui- adalah sekedar seekor “binatang plus”? benarkah cara berfikir seperti itu? Charlotte Mason (CM) mengatakan bahwa anak adalah pribadi yang utuh. Tidak hanya terdiri dari materi yang dapat dilihat dan diraba melainkan ia memiliki jiwa yang hidup, tumbuh dan kembang yang sanggup menghitam putihkan dunia.  

....memahami hakekat anak artinya, kita tidak memandangnya sebagai produk pasaran, bukan angka statistik melainkan pribadi yang sangat unik dan istimewa. Kepribadian adalah apa yang membuat seorang manusia menjadi manusia. Anak bukan hanya unik tapi karena pada dirinya kita menjumpai misteri dari apa yang disebut ‘manusia’. Potensi yang tersimpan dalam pribadinya itu tanpa batas dan tak teramalkan. Seorang bayi manusia bisa menjadi Albert Einstein yang mengguncang dunia, seekor bayi sapi akan menjadi sapi.

Anak Memilih : Baik atau Buruk

Kalau kita pernah melihat orang yang baik, kemudian kita respek kepadanya. Lain waktu kita melihat orang yang sama berperilaku buruk dan kita membencinya. Ingatlah bahwa baik dan buruk adalah pilihan dari manusia itu sendiri. Anak-anak kita tidak dikaruniai potensi kepribadian yang seratus persen baik dan tidak juga seratus persen buruk, kata CM. Hanya saja setiap anak dikaruniai kemampuan memilih untuk yang baik atau yang jahat. Disetiap persimpangan jalan hidup ia harus membuat keputusan bagi dirinya, sehingga jalan hidupnya tak dapat diramalkan, otobiografinya tiak bisa ditulis sebelum ia menjalani hidupnya.

Benarkah hidup adalah pilihan? Berikut pemikiran Herschel. Menurut Abraham Joshua Herschel dalam bukunya Who is Man? (1965), eksistensi manusia berjungkat jungkit di antara iblis dan keilahian, diantara yang manusia yang fitrah dan manusia yang kurang manusiawi, diantara wakil setan dan wakil tuhan, didalamnya ada kejahatan dan didalam itu juga ada harta karun ilahi kesalehan dan keluhuran, warisan abadi dari hidup kita yang fana ini. Manusia itu sedikit lebih rendah dari Tuhan (wakil Tuhan), dan bisa jatuh lebih rendah dari binatang. Seperti pendulum ia berayun kesana kemari dibawah pengaruh gravitasi duniawi dan keilahian. Karena kekuatannya yang luar biasa ia berpotensi menjadi mahluk yang paling keji sekaligus menjadi potensi sebagai mahluk yang paling mulia. Manusia selalu berada dalam tahapan kritis antara kebiadaban dan kesucian. Ia selalu berada ditengah gerak berayun entah semakin positiv atau negativ (Kristi, 2012:19-20).

CM juga memiliki pemikiran yang sama dengan Herschel,

....dia mengatakan seorang anak yang tidak dibesarkan untuk hidup terus menerus menuju tingkat yang lebih tinggi, akan terperosok makin ke bawah dan makin ke bawah. Bahkan sifat baik pun, seperti keberanian dan kedermawanan, jika porsinya berlebihan bisa menghancurkan hidup seseorang.

Namun, meskipun anak berpotensi jahat namun penangkalnya tetap ada. Obat penangkal yang utama adalah orang tua! Orang tualah sandaran terakhir nasib bangsa.

....peran orang tua sangat luar biasa dalam membantu anak memilih jalan hidup yang mulia. Sebanyak apapun perilaku buruk anak namun ortu masih berkesempatan untuk menyembuhkannya asalkan ia menanamkan kebiasaan pengganti yang berkebalikan secara ajek dan tanpa kenal lelah seperti ia merawat anaknya pulih dari campak. Caranya dengan memasok anak sebanyaknya ide positif dan inspiratif dan melatihkan kebiasaan baik kepadanya sejak dini. Seorang anak lahir dengan takdirnya masing-masing, namun orang tualah yang berperan membuka jalan dan merubah takdirnya kepada takdir yang sejati. Itulah amanah yang dititip kepada orang tua.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun