Mohon tunggu...
Dadang Pasaribu
Dadang Pasaribu Mohon Tunggu... -

pengembara mengikuti jalan yang ditempuh pengembara sebelumnya dari gelap hingga terbitnya matahari

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Senjakala Ning Astana: 100 Hari Pemerintahan Jokowi-JK

30 Januari 2015   15:09 Diperbarui: 17 Juni 2015   12:06 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Sudah seratus hari pemerintahan Jokowi-JK. Meski tergolong masih muda, namun banyak pihak merasa cukup untuk melihat sepak terjang pemerintahan yang sedang berjalan. Pada seratus hari pemerintahan Jokowi-JK tampaknya situasi istana memang sedang ‘tak enak badan’. Pemicunya tentu saja adalah pergantian Kapolri yang diikuti saling sandera antara KPK dan POLRI. Masalah semakin serius manakala akar masalah dan dampaknya melibatkan berbagai kepentingan yang sedang ‘menggantung’ dipundak Jokowi. Sejumlah pihak pun merasa perlu untuk merespon situasi yang berkembang.

Respon Megawati (PDIP/KIH)

Megawati/PDIP tampaknya menjadi pihak yang sangat berkepentingan terhadap KAPOLRI saat ini. Bahkan dituding sebagai pihak paling bertanggung jawab terhadap polemik KPK-POLRI. Bahkan menjadi pihak tertuduh terhadap biang kerok kisruh ini. Megawati tampaknya sangat bernafsu mencengkeram Jokowi. Semua orang tau Calon Kapolri BG adalah usulan Megawati. Sementara Jokowi hanyalah suksesor untuk mensukseskan pencalonan tersebut. Penundaan pelantikan KAPOLRI tentu saja merupakan pesan buruk yang diterima Megawati dari Jokowi. PDIP bahkan mengancam akan melakukan interpelasi jika Jokowi tidak segera melantik. Tidak mau tanggung Megawati pun mengumpulkan semua petinggi PDIP untuk dapat menyusun langkah-langkah cepat guna menekan Jokowi. Ungkapan ‘sekali mandi basah’ mungkin saat ini yang tersisa dalam benak Megawati/PDIP. Tak masalah jika ‘kalah jadi abu’ ataupun ‘menang jadi arang’ yang penting misi ini mesti dituntaskan. Inilah yang oleh banyak kalangan dikatakan sebagai ‘bunuh diri’ ala PDIP.

Respon Masyarakat/KMP

Megawati/PDIP kelihatan semakin tersudut manakala masyarakat maupun elite politik mulai tersadar akan situasi yang menimpa Jokowi. Dukungan pun mulai deras mengalir kepada Jokowi. Tidak hanya Tim Independen atau Habibie yang merasa perlu datang untuk memberi dukungan. Prabowo/KMP juga merasa penting untuk memberi dukungan di Parlemen jika PDIP akan melakukan serangan interpelasi terhadap Jokowi. Sejumlah pendukung Jokowi juga mulai mengancam Jokowi agar bersikap tegas untuk mengambil sikap. Presiden diingatkan untuk tampil merdeka dan berwibawa dan tidak ragu-ragu dalam mengambil keputusan-keputusan strategis. Namun respon mendukung Jokowi yang kelihatan menguat saat ini tentu saja tidak menguntungkan bagi Jokowi. Sebab hal itu, sama saja mendorong perseteruan yang terbuka dengan Megawati/PDIP. Jika hal itu terjadi, bisa dipastikan akan semakin memicu krisis politik dinegeri ini.

Jokowi Presiden Terlemah

Sudah banyak ulasan yang menempatkan Jokowi sebagai Presiden terlemah sepanjang Indonesia merdeka. Sudah mahfum dinegeri ini ‘orang kuat’ umumnya mendirikan sendiri partai politiknya. Jadi, partai itu adalah hak milik seseorang mirip perusahaan. Jangan harap ada demokrasi pada partai politik sebab semua keputusan ada ditangan pemilik. Sebut misalnya Megawati pemilik PDIP, Demokrat dimiliki SBY, Hanura dimiliki Wiranto, Gerindra dimiliki Prabowo maupun Nasdem dimiliki oleh SP. Jokowi sama sekali tidak memiliki partai bahkan bisa dikatakan hanyalah sebagai penumpang di dalam partai. Jauhnya jarak Solo dengan Jakarta, tentu saja semakin menjauhkan dari radar Megawati untuk menjadikannya elite partai di Jakarta.

Dari sisi pendanaan juga dapat dikatakan Jokowi terlemah. Meski pengusaha namun kalibernya masih tengah-bawah. Dalam jajaran pengusaha yang berpolitik dia belum sekelas SP, Prabowo, JK, ARB, HR, Hary Tanusudibyo, maupun Sofyan Wanandi. Wajar saja untuk menjadi Presiden ditengah masyarakat yang pragmatis saat ini Jokowi ‘meminjam uang’ dari para pengusaha tersebut. Menjadi wajar jika sebagai Presiden berbagai kebijakannya akan dipengaruhi oleh ‘para cukong’ yang sudah setor untuk biaya Kampanye Presiden kemarin. Lihat saja penampilannya ditengah para pengusaha dan cukong-cukong.

Dari pergaulan politik dan militer, banyak kalangan analis menempatkan Jokowi juga bisa sebagai ‘orang baru’. Dia tak begitu banyak punya teman dari para petinggi militer maupun para pemilik partai. Mungkin, bagi para petinggi militer yang sudah pensiun maupun dari para pemilik partai, Jokowi dianggap sebagai ‘anak baik’ yang sedang tumbuh dan ‘punya sesuatu’ yang menjual kepada masyarakat. Untuk itu mereka senang melihat Jokowi dan merasa perlu untuk membantunya. Sebab jika Jokowi menang tentu saja mereka akan mendapat ‘kembalian’ dari Jokowi sebab Jokowi memang anak baik.

Pusaran Disekitar Istana

Tampaknya pusaran arus di sekeliling istana sungguh sangat kuat. Sangat sulit keluar dari pusaran yang sedang memutar kencang. Kalaupun bisa melepaskan diri dari mulut harimau dia juga akan masuk dalam mulut buaya. Meski baru 100 hari pemerintahan namun badai langsung menerjang. Pada orang yang lemah badai tentu saja tidak menghitung hari sebab yang dihitung adalah kepentingannya. Kisruh pengangkatan Kapolri yang berujung pada kisruh politik saat ini hanyalah pintu masuk bagi para elit penguasa untuk meramu jurus terbaik ‘menerkam’ Jokowi. Dalam politik tentu saja tidak ada musuh yang abadi namun yang ada hanyalah kepentingan semata. Demi kepentingan pribadi dan kelompok musuh bisa menjadi teman sebaliknya teman bisa menjadi musuh. Semuanya hanya tergantung situasi dan kondisi yang terjadi.

Penutup

Baru seratus hari pemerintahan, sudah banyak ulasan akan kejatuhan Jokowi. Meski kelihatan hanyalah sekedar ‘olok-olok’ semata namun fakta dilapangan bisa saja menjadi serius. Jika PDIP berkeras dengan maunya sendiri, maka Jokowi samasekali tidak punya pegangan yang kokoh kecuali bergandengan dengan kelompok seberang. Suatu pilihan yang tentu saja tidak mudah. Sandaran terakhir mungkin saja adalah rakyat. Bukankah rakyat yang telah memilih Jokowi saat ini? Namun bersandar pada rakyat juga tidak mudah sebab politik adalah seni berbagi terhadap berbagai kepentingan. Jika hanya bersandar pada rakyat tanpa bersandar pada parlemen tentu parlemen akan menjadi ancaman. Tidak ada pilihan lain kecuali masuk kedalam satu kekuatan blok tertentu di Parlemen. Itu artinya pusaran akan kembali berputar kencang seabab pusaran tidak menghitung hari melainkan menghitung ‘dolar’ yang masuk ke kantong. Ditengah laut yang bergelombang kuat, pada malam yang gelap gulita tampaknya tidak ada nakhkoda yang bisa tidur nyenyak. Setiap saat ancaman kematian akan datang menghampiri. Senjakala begitu cepat menghampiri istana.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun