اَلْـحَيَاءُ وَ اْلإِيْمَانُ قُرِنَا جَمِـيْعًا ، فَإِذَا رُفِعَ أَحَدُهُمَا رُفِعَ اْلاَ خَرُ.
“Rasa malu dan iman itu satu rangkaian yang berkelindan, jika salah satu hilang, maka lenyap pula yang lain.” (HR al-hakim, Thabrani, Shahih Jami’ ash-Shaghir)
Pada sisi lain, justru yang dilestarikan adalah rasa malu yang salah alamat atau salah pengertian. Malu mendatangi majlis ilmu, malu bergabung dengan para fuqara’ untuk shalat berjamaah di masjid, atau malu dalam mengikuti kebenaran. Inilah malu salah sasaran salah pengertian, dan lebih pas bila disebut dengan gengsi dan kesombongan.
Adapun sifat malu yang benar, akan berdampak pada kebaikan dan tercegahnya dari kemaksiatan. Hingga Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda,
اَلْـحَيَاءُ لاَ يَأْتِيْ إِلاَّ بِخَيْـرٍ
“Malu itu tidak mendatangkan sesuatu melainkan kebaikan semata-mata.” (HR Bukhari dan Muslim)
Lantas apa hakikat sifat malu yang membuahkan kebaikan dan kemuliaan bagi pemiliknya?
Ibnu Hibban rahimahullah dalam Raudhatul ‘Uqaala’ wa Nuzhatul Fudhala’ mengatakan bahwa malu atau al-haya’ adalah satu kata yang mencakup perbuatan menghindari segala apa yang dibenci.
Sedangkan Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan, “Malu berasal dari kata hayaah (hidup), dan ada yang berpendapat bahwa malu berasal dari kata al-hayaa (hujan), tetapi makna ini tidak masyhûr.
Hidup dan matinya hati seseorang sangat memengaruhi sifat malu orang tersebut. Begitu pula dengan hilangnya rasa malu, dipengaruhi oleh kadar kematian hati dan ruh seseorang. Sehingga setiap kali hati hidup, pada saat itu pula rasa malu menjadi lebih sempurna.”
Lebih jelas lagi, Al-Junaid rahimahullah berkata, “Rasa malu yakni ketika seseorang memperhatikan nikmat lalu membandingkan dengan keteledoran(yang diperbuat) sehingga menimbulkan suatu rasa, yang kemudian disebut dengan malu. Hakikat malu ialah sikap yang memotivasi untuk meninggalkan keburukan dan mencegah sikap menyia-nyiakan hak pemiliknya.”
Intinya, rasa malu adalah perangai yang mendorong seseorang untuk meninggalkan perbuatan-perbuatan yang buruk dan tercela, sehingga mampu menghalangi seseorang dari melakukan dosa dan maksiat serta mencegah sikap melalaikan hak orang lain.”