Mohon tunggu...
Nia Samsihono
Nia Samsihono Mohon Tunggu... Penulis - Penulis

Biodata: Dad Murniah dengan nama pena penulis Nia Samsihono.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Anak Milenial?

14 Januari 2023   08:06 Diperbarui: 14 Januari 2023   08:10 3102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kata milenial selalu dikaitkan dengan hal yang baru dan berlawanan dengan tradisional, kuno, atau yang tertinggal peradabannya. Jika kita menilik Kamus Besar Bahasa Indonesia, milenial makna pertama berkaitan dengan milenium, yaitu masa atau jangka waktu seribu tahun; alaf atau makna kedua, yaitu berkaitan dengan generasi yang lahir di antara tahun 1980-an dan 200-an. Milenial yang saya ingin bicarakan, yaitu milenial makna kedua.

Jika kita amati dengan saksama, anak-anak kita dari usia balita hingga remaja telah terbiasa dengan dunia gawai, dunia internet yang berkelindan dalam kehidupan sehari-hari. Mereka terlihat abai dengan dunia sekitar, dunia sekelilingnya. Hampir dapat dikatakan, hidupnya ada di dalam genggaman tangannya. Mereka asyik menatapi kotak kecil berkedip-kedip di telapak tangannya. 

Bagi saya yang bukan dimasukkan dalam kategori "anak milenial",  hal seperti itu sangat menyedihkan. Anak-anak itu tidak dapat bermain dengan teman-temannya seperti layaknya ketika saya masih kecil. Anak-anak seusia saya bermain dengan teman-teman, bersosialisasi dengan sebaya, bersentuhan langsung dengan alam sekitar.  

Saat saya masih kecil begitu patuh pada orang tua. Melihat orang tua seakan berada di atas kita yang sangat sulit digapai dengan seenaknya. Saya melihat ayah saya mempunyai 9 bersaudara. Anak pertama dari sembilan bersaudara itu sangat dihormati adik-adiknya. Sang adik juga sangat menurut pada kakaknya. Mereka sangat patuh dan taat pada orang tuanya. Mereka menghormati dan menyayangi bahkan memuliakan orang tuanya. Cobalah kita tilik cerita dari para orang tua kita, misalnya tentang makan. Selalu yang mengambil atau diambilkan makanan (nasi dan lauknya) itu orang tua, ayah atau kakek. Tentang duduk, jika itu ayah atau orang tua, tidak pernah duduk di bawah anak-anaknya. 

Jika orang tua sedang berbicara, anak-anak tidak pernah menyela atau ikut berbicara, apalagi sampai menutup mulut ibunya (jika itu balita) untuk menghentikan pembicaraan. Ajaran yang saya dapat itu saya alami dalam kehidupan sehari-hari di Jawa. Tidak ada penolakan terhadap ajaran itu dan saya dapatkan dari tuturan lisan. Para orang tua dulu mendapat ajaran etika itu secara turun temurun dan dituturkan oleh orang tua kepada anak-anaknya untuk mengatur perilaku kehidupan sehari-hari.

Setelah saya dewasa, ternyata ajaran etika kehidupan itu sebagian besar berasal dari Konfusius. Beberapa tulisan tentang ajaran konfusius tentang penghormatan pada orang tua telah banyak ditulis dan dikemukakan oleh para pakar. Saya sendiri berpikir keras kapan putusnya ajaran seperti itu dari orang tua, khususnya di Jawa, berhenti atau lenyap. 

Ketika saya dipanggil ibu atau orang yang lebih tua, saya akan menjawab segera dengan kata "nun". Sampai setua ini jika dipanggil ibu, saya menjawab 'nun'.  Ketika kecil saya tidak tahu mengapa menjawab seperti itu dan apa arti kata 'nun'. Ternyata kata 'nun' itu berasal dari bahasa Using. Ini menurut artikel di belambangan.com yang berjudul "Nun dalam Bahasa Using" yang ditulis oleh Antariksawan Jusuf. 

Dalam bahasa Using, kata 'nun' merupakan jawaban saat nama seorang anak dipanggil. Pada artikel itu dikatakan bahwa 'nun' melambangkan atau bermakna sebuah kepasrahan, menunjukkan segala penyerahdirian dan bentuk penghormatan pada yang memanggil, biasanya orang tua. "Nun" tidak dipakai untuk menjawab panggilan dari anak sebaya karena 'nun' menjawab panggilan orang yang dihormati. Itu yang dilakukan di keluarga saya di Jawa. Saya juga heran mengapa ibu saya menggunakan bahasa Using untuk mendidik anak-anaknya saat menjawab panggilannya. Padahal kami tinggal di Jawa Tengah di wilayah Banyumas bukan di wilayah Banyuwangi yang mempunyai bahasa Using.

Anak milenial ketika orang tuanya memanggil akan diam saja sampai sang orang tua memanggil berkali-kali. Itu yang saya lihat. Mengapa? mereka sibuk dengan gawainya. Mereka merasa terusik saat dipanggil bahkan ada yang marah-marah. sehingga para ibu atau ayah akan mengancam jika apa yang mereka inginkan pada anak itu tidak dituruti. Apakah demikian "anak milenial" itu? Jika kita mencermati ajaran Konfusius dikatakan bahwa saat ibunda kita memanggil segera hentikan segala hal atau pekerjaan atau aktivitas yang dilakukan anak. Berikan jawaban panggilan dengan lembut dan sopan. Tampilkan wajah yang cerah, tersenyum menyenangkan yang ditampakkan pada ibunda. Apapun yang dikatakan ibunda akan segera dilaksanakan. Apakah anak-anak kita demikian sekarang ini?      

Mungkin kita harus lebih sering mengamati dan mencermati sekitar lalu mengambil tindakan apa yang harus kita lakukan. Kehidupan budaya kita yang adiluhung hendaknya kita terapkan dalam kehidupan sehari-hari di keluarga sebagai lingkup kecil sebuah kehidupan, sebagai sebuah dunia yang akan menjadi landasan kehidupan yang lebih luas, (DM)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun