Mohon tunggu...
Rendi Fisabilillah Amin
Rendi Fisabilillah Amin Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung

Alumni pesantren Daarul Mughni Al-Maaliki Cileungsi. Dan masih melanjutkan pendidikan di Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Batasan Lingkup Fana, Baqa, dan Ittihad

25 Juni 2022   18:42 Diperbarui: 25 Juni 2022   18:51 696
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Al-fana (الفنا) dari segi bahasa berarti hilang,hancur, tiada,tidak kekal dan tidak tampak. Menurut Asmaran AS dalam bukunya yang berjudul pengantar studi akhlak. konsep Al-fana tersebut dikembangkan oleh Abu Yazid Al Bustami Taifur Ibn Surusyam yang lahir di Qum ,Persia Barat.

Namun, jika dalam perspektif sufisme atau para kalangan sufi biasa mengartikan bahwa Fana juga merupakan hilangnya sifat kehewanan pada manusia, hilangnya sifat tercela dan menggantinya dengan sifat ketuhanan. Dengan kata lain, para sufi beranggapan bahwa fana adalah sesuatu perlakuan yang menghilangkan nafsu dan syahwat. Selain itu, fana juga berarti menghilangkan sifat buruk atau kemaksiatan lahir dan batin. 

Sedangkan AL-Baqa (البقاء) artinya tetap,terus hidup,dan kekal. Baqa adalah kebalikan dari fana. Dan menurut para kaum sufi, baqa adalah kekalnya sifat terpuji atau sifat ilahiyah dalam diri manusia. Karena hilangnya sifat basyariyah (kemanusiaan) maka timbullah sifat ilahiyah (ketuhanan)

     Maka ketika Al-fana dan Baqa sudah dimengerti dan tercapai, lalu selanjutnya adalah tahap Ittihad. Dan ketika seseorang sudah mencapai tingkat Ittihad, mereka akan merasa bahwa dirinya sudah mendekat dengan sang Khaliq atau Tuhannya, bahkan bisa “menyatu” dengan tuhannya. Hal ini memang tidak sedikit di tentang oleh berbagai kalangan ulama dan para Ahli, karena seakan menunjukkan kesesatan kalau sang Khaliq disamakan dengan makhluk nya. Seperti Abu Yazid Albustomi Yang  menimbulkan salah paham terhadap pendengar bahwa Abu Yazid seakan telah mengaku dirinya sendiri sebagai Tuhan.

Yang padahal Abu Yazid Albustami ingin menunjukkan bahwa dengan melenyapkan sifat buruk dan memunculkan sifat Uluhiyah (baqa) sebagai penyambung menuju Ittihad ,maka Ittihad atau penyatuan diri terhadap sifat ketuhanan akan membuat manusia lebih berakhlak,lebih baik dan memahami perbuatan terpuji agar bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari. 

DAFTAR PUSTAKA

.Asmaran AS, pengantar studi tasawuf ,(Jakarta,rajawali press 1994)

Abudin nata,Akhlak tasawuf (Jakarta,2000 )

Mustafa Zahri, kunci memahami tasawuf (Surabaya.,1985)

Imam Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, (Beirut: Darul Fikr, tt.), jilid III, h. 56. Lihat Abuddin Nata, Op.cit., h. 3. Imam Ghazali (1059-111 M.)

NU online, ketika Abu yazid Al-bustami tidak merasakan manisnya ibadah (https://www.google.com/search?q=abu+yazid+Al+Bustami&client=ms-android-xiaomi&prmd=inv&sxsrf=ALiCzsb3vm4VQiLHkEfhxyRqnmySGw6-vw:1656157636910&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwiw_479w8j4AhWg8HMBHQlHBZcQ_AUoAXoECAIQAQ#imgrc=rOfr4R6cUrAKKM) google image , diakses pada 25 juni 2022, 18.35

Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A'raq, (Mesir: Al-Mathba'ah al Mishriyyah, 1934), cet. I, h. 40. Ibnu Miskawaih (w. 421 H./1030 M.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun