Al-fana (الفنا) dari segi bahasa berarti hilang,hancur, tiada,tidak kekal dan tidak tampak. Menurut Asmaran AS dalam bukunya yang berjudul pengantar studi akhlak. konsep Al-fana tersebut dikembangkan oleh Abu Yazid Al Bustami Taifur Ibn Surusyam yang lahir di Qum ,Persia Barat.
Namun, jika dalam perspektif sufisme atau para kalangan sufi biasa mengartikan bahwa Fana juga merupakan hilangnya sifat kehewanan pada manusia, hilangnya sifat tercela dan menggantinya dengan sifat ketuhanan. Dengan kata lain, para sufi beranggapan bahwa fana adalah sesuatu perlakuan yang menghilangkan nafsu dan syahwat. Selain itu, fana juga berarti menghilangkan sifat buruk atau kemaksiatan lahir dan batin.
Sedangkan AL-Baqa (البقاء) artinya tetap,terus hidup,dan kekal. Baqa adalah kebalikan dari fana. Dan menurut para kaum sufi, baqa adalah kekalnya sifat terpuji atau sifat ilahiyah dalam diri manusia. Karena hilangnya sifat basyariyah (kemanusiaan) maka timbullah sifat ilahiyah (ketuhanan)
Maka ketika Al-fana dan Baqa sudah dimengerti dan tercapai, lalu selanjutnya adalah tahap Ittihad. Dan ketika seseorang sudah mencapai tingkat Ittihad, mereka akan merasa bahwa dirinya sudah mendekat dengan sang Khaliq atau Tuhannya, bahkan bisa “menyatu” dengan tuhannya. Hal ini memang tidak sedikit di tentang oleh berbagai kalangan ulama dan para Ahli, karena seakan menunjukkan kesesatan kalau sang Khaliq disamakan dengan makhluk nya. Seperti Abu Yazid Albustomi Yang menimbulkan salah paham terhadap pendengar bahwa Abu Yazid seakan telah mengaku dirinya sendiri sebagai Tuhan.
Yang padahal Abu Yazid Albustami ingin menunjukkan bahwa dengan melenyapkan sifat buruk dan memunculkan sifat Uluhiyah (baqa) sebagai penyambung menuju Ittihad ,maka Ittihad atau penyatuan diri terhadap sifat ketuhanan akan membuat manusia lebih berakhlak,lebih baik dan memahami perbuatan terpuji agar bisa dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
DAFTAR PUSTAKA
.Asmaran AS, pengantar studi tasawuf ,(Jakarta,rajawali press 1994)
Abudin nata,Akhlak tasawuf (Jakarta,2000 )
Mustafa Zahri, kunci memahami tasawuf (Surabaya.,1985)
Imam Ghazali, Ihya' 'Ulum al-Din, (Beirut: Darul Fikr, tt.), jilid III, h. 56. Lihat Abuddin Nata, Op.cit., h. 3. Imam Ghazali (1059-111 M.)
NU online, ketika Abu yazid Al-bustami tidak merasakan manisnya ibadah (https://www.google.com/search?q=abu+yazid+Al+Bustami&client=ms-android-xiaomi&prmd=inv&sxsrf=ALiCzsb3vm4VQiLHkEfhxyRqnmySGw6-vw:1656157636910&source=lnms&tbm=isch&sa=X&ved=2ahUKEwiw_479w8j4AhWg8HMBHQlHBZcQ_AUoAXoECAIQAQ#imgrc=rOfr4R6cUrAKKM) google image , diakses pada 25 juni 2022, 18.35
Ibnu Miskawaih, Tahdzib al-Akhlak wa Tathhir al-A'raq, (Mesir: Al-Mathba'ah al Mishriyyah, 1934), cet. I, h. 40. Ibnu Miskawaih (w. 421 H./1030 M.)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H