Mohon tunggu...
Isma Maulana Ihsan
Isma Maulana Ihsan Mohon Tunggu... Jurnalis - Founder BelajarPolitik

Mahasiswa aktif S1 UIN Sunan Gunung Djati Bandung sekaligus pendiri BelajarPolitik.com

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Pilihan

Diskursus Islam dan Negara (Bagian I)

3 Oktober 2022   19:34 Diperbarui: 3 Oktober 2022   19:55 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) mengartikan diskursus sebagai pertukaran ide, gagasan atau bahasan. Adapun, Foucault mendefinisikan diskursus sebagai sebuah sistem berpikir, ide-ide, pemikiran dan gambaran yang kemudian membangun konsep suatu kultur atau budaya. Dalam arti yang lebih sederhana, diskursus adalah perbincangan tentang ide, gagasan atau pemikiran berkenaan dengan sesuatu.

Dalam konteks diskursus Islam dan Negara. Perdebatan ulama tentang pertanyaan; apakah ada relasi antara Islam dan Negara? untuk menjawab pertanyaan ini para ulama terbagi dalam tiga golongan jawaban berbeda; tradisionalis, sekularis dan reformis. Untuk memudahkan genealogi diskursus berkenaan Islam dan Negara, penulis akan mencoba sedikit menjelaskan terlebih dahulu tentang asal-mula politik dalam Islam.

Bahwa, sejak diutusnya Nabi SAW yang merupakan bagian minoritas dari kaum kafir Quraisy yang notabene merupakan kaum mayoritas, pada masa-masa awal Nabi melakukan dakwah secara tersembunyi sebagai bentuk politik untuk menghindari diskrimanasi oleh kaum Quraisy Makkah. Oleh sebabnya, metode yang kemudian digunakan oleh Nabi dalam hal berdakwah di Makkah adalah penanaman ideologi (keyakinan) yang mengakar kuat, sehingga dalam perjalanannya kaum Muslimin Makkah dapat benar-benar yakin dengan apa yang dibawanya. Untuk itu, kita dapat melihat bahwa upaya politis Nabi era Makkah hanya berkutat pada hal-hal untuk memperkuat keimanan. Peristiwa besar yang terjadi di era ini barangkali hanya peristiwa meminta pertolongan (suaka) dari Habasyah dan diakhiri dengan Hijrah. Yang menurut pandangan Fiqh Siyasah Asy-Syanawi merupakan langkah politik Nabi SAW paling ciamik.

Sebelum peristiwa Hijrah sendiri, Abdul Chalik dalam Negara, Islam dan Masa Depan Ideologi menyebutkan bahwasannya terjadinya perjanjian Aqabah I dan II merupakan upaya serius perencanaan Hijrah yang dapat dimaknai sebagai upaya politik progressif untuk keluar dari diskrimansi dan kriminalisasi kaum Kafir Makkah.

Di era Madinah, Nabi melakukan upaya politik yang luar biasa. Beliau, membuat piagam Madinah yang merupakan dikatakan tentangnya adalah konstitutsi tertulis pertama di dunia. Pada era ini pula, Nabi SAW menjabat bukan hanya sebagai seorang Nabi atau pemimpin agama melainkan jauh lebih dari itu dengan terkenalnya sifat Nabi yang adil, arif dan bijaksana dengan serta merta menjadikan beliau sebagai kepala Negara Madinah. Sebagai pemegang kekuasaan (penguasa sekaligus pemimpin) Nabi mengangkat beberapa orang sahabatnya untuk dijadikan Mentri. Juga beberapa sahabat lain sebagai penguasa dibeberapa kekuasaan Islam seperti Sayidina Muaz ibn Jabal di Yaman.

Selain itu, beliau juga menjalin hubungan politik luar negeri yang menurut catatan Tahir Azhari dalam bukunya Negara Hukum, Rasulallah mengirim kurang lebih 30 surat kepada kepala Negara lain diantaranya Kisra sang penguasa Persia, Heraklius penguasa Romawi hingga Almuqauqis penguasa tanah Mesir. Dalam interprestasi banyak ulama dan cendekiawan Muslim pun pada akhirnya mengklaim bahwa Negara Madinah dengan konstitusinya merupakan Negara Ideal Islam. Meskipun, Musdah Mulia mengomentari bahwa Negara ideal Madinah senyatanya tidak memberikan sesuatu yang bersifat komprehensif.

Untuk itu, perdebatan atau diskursus tentang Islam dan Negara pada senyatanya adalah persoalan pelik. Hal ini, dapat dipetakan karena dua alasan; Pertama, jangka waktu yang begitu lama sekitar 14 abad serta minimnya catatan (jika tidak bisa disebut tidak ada) antara kaitan Islam dan Negara; Kedua, beragamnya hal yang perlu diteliti dan dipelajari. Sehingga, pada gilirannya wacana tentang Islam dan Negara menjadi subyek keragaman interprestasi. Untuk itu sebabnya, meminjam penjelasan Muslim Mufti, Islam dengan Politik Islam merupakan dua hal yang berbeda. Islam merupakan sesuatu yang shahih yang sudah final dan tidak dapat diragukan kebenarannya adapun politik Islam merupakan hasil interprestasi para pemikir sehingga tingkat subyektifitasnya amat tinggi oleh karenanya sangat berpengaruh oleh kualifikasi dari si pemikir tersebut.

Politik Islam adalah gabungan dari dua suku kata, Politik dan Islam. Politik dalam Bahasa Arab diwakili oleh kata al-Siyasah yang berasal dari kata sasa-yasusu-siasatan yang bermakna mengurus. Dalam pengertian Ramlan Subakti, politik adalah interaksi antara pemerintahan dan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebiakan bersama masyarakat yang tinggi disuatu territorial tertentu. Definisi politik dalam sudut pandang Islam merupakan pengaturan atas urusan serta keurgensian umat, baik dalam negeri maupun luar negeri berdasarkan hukum-hukum Islam.

Dalam diskursus ini, Islam sunni menggunakan Istilah Khilafah untuk merujuk pada Negara atau pemerintahan (kekuasaan) sedangkan Syiah lebih sering menggunakan istilah Imamah untuk merujuk pada kekuasaan atau Negara. Imam Syuyuti mengutip pendapat Muawiyyah dan Al-Farusi bahwa khilafah adalah kepala pemerintahan umat Islam. Pendapat ini dikemukakan oleh Ibn Katsir dan Al-Qurthubi (lihat Perbandingan Fikih Siyasah, Dedi Supriyadi). Sedangkan, penggagasa teo-demokrasi Imam al-Maududi mengatakan, khilafah merupakan hakikat dari manifestasi anugerah Allah SWT sang hakim agung sebenarnya kepada manusia yang menjadi wakil di buminya yang memiliki kewajiban menegakkan kekuasaan dan hukumnya di antara manusia. Konsekuensi logisnya, jika tidak dan berlaku menegakkan hukum selain Allah adalah merupakan pemberontakan atau kudeta melawan sang Penguasa, sang hakim Agung yang hakiki dengan Bahasa yang lebih ekstrem adalah bentuk nyata mengubah anugerah menjadi musibah.

Dalam sumber lain, al-Maududi menyebut bahwa setiap manusia adalah khalifah Allah dalam kadar masing-masing yang merupakan bentuk lain dari ungkapan Nabi SAW yang besabda, "Setiap kalian adalah pemimpin...". Adapun, imamah secara harfiah sebenarnya amat sulit untuk membedakan perbedaannya dengan term Khilafah dalam sunni. Hal ini diamini oleh Qamarudhin Khan yang mengatakan terjadinya campur aduk term Khilafah dan Imamah menjadi sebab kebingungan itu sendiri, ia sendiri mengusulkan agar dua kata tersebut diartikan sebagai negara atau pemerintahan, lain tidak. Meskipun begitu, Ali Syariati menyatakan bahwa imamah merupakan doktrin keagamaan yang musti diterima dan diimani oleh seluruh umat. Imamah bukan saja pengelolaan negara dan masyarakat dalam bentuk yang ajeg, tanggung jawab imamah yang paling utama adalah dalam arti politik.

Dalam perdebatan tentang kaitan antara Islam dan Negara. Kaum Tradisionalis menyatakan bahwa secara integral politik adalah bagian dari Islam, dalam pandangan ini bahwa agama Islam adalah agama komprehensif yang mengatur segala sesuatu secara detail. Alasan paling logis yang sering dilontarkan oleh para tradisionalis ini adalah bahwa secara historis Islam selalu tumbuh dalam lindungan kekuasaan negara semenjak era Negara Madinah hingga berakhirnya kekuasaan Turki ottoman tahun 1924 silam. Jika menyetir pernyataan Al-Ghazali bahwa Agama adalah dasarnya dan kekuasaan adalah penjaganya, segala sesuatu yang tak berdasar akan rubuh dan apa-apa yang tidak berpenjaga akan rusak atau hilang.

Oleh karenanya, kehancuran dan kerusakan dunia Islam dewasa ini sebab karena antara Islam dan kekuasaan terjadi kejomplangan. Untuk itu, pertama,  khilafah kemudian menjadi perlu selain karena tuntunan akidah dan syariat Islam. Dan sebagai muslim diwajibkan untuk menerapkan semua aturan Allah tanpa terkecuali; kedua, khilafah akan mensejahterakan rakyat karena dalam Islam tidak mengenal apa yang dibenci sekaligus menjadi sistem dalam dunia hari ini yakni kapitalistik; ketiga, khilafah akan menjamin keamanan rakyat yang berbeda dengan para kaum sekular yang bahkan rela menggadaikan agama untuk dunia; keempat, khilafah akan menjaga negeri-negeri Islam dari segala ancaman yang mendera karena Islam adalah satu tubuh dan satu persaudaraan; kelima, khilafah Islam akan menyebarkan inti ajaran Islam yakni Rahmatan lil alamin jadi ketika khilafiyah tegak yang diuntungkan bukan hanya kaum Muslim tetapi non-Muslim dengan penciptaan dunia yang lebih baik dari segi ideologis maupun meteriil.

Adapun, golongan kedua adalah sekular yang menekankan bahwa Agama hanya mengatur tentang Manusia dan Tuhan (ibadah) tidak lebih dan tidak kurang. Persoalan-persoalan urusan pemerintahan dan negara harus dijauhkan dari Agama. Salah satu tokoh kontemporer yang manganut paham ini ialah Ali Abd Razieq yang beranggapan bahwa Islam sama dengan agama-agama lainnya yang tidak mengajarkan tata cara kehidupan bermasyarakat dan bernegara. Untuk itu, tidak ada keharusan untuk mendirikan khilafiyah Islam atau pun imamah, dan Nabi SAW pula bukanlah sebagai kepala negara melainkan hanya seorang Nabi (pemimpin agama).

Golongan ketiga, merupakan golongan yang mengambil jalan tengah. Dalam satu sisi, mereka tidak mengatakan bahwa Islam bukanlah agama yang hanya mengatur ibadah tetapi bukan pula ajarannya mencakup secara rinci segala hal, termasuk aturan mengenai negara. Islam cukup memberikan aturan atau prinsip dasar yang dapat dipegang manusia dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara.

Prinsip dasar pertama dalam politik Islam mencakup persoalan kedaulatan Tuhan; kedua, syura dan ijma yang mana pengambilan keputusan melalui konsensus serta konsultasi dengan pelbagai pihak; ketiga, semua warga dijamin hak-hak pokoknya; keempat, hak-hak negara. Dimana pemerintah mempunyai otoritas terhadap warganya; kelima, hak-hak khusus dan Batasan bagi warga negara yang non-Muslim yakni sama-sama memiliki hak sipil yang sama; keenam, ikhtilaf serta musyawarah yang menentukan. Sedangkan, dalam penyelenggaraan pemerintahan Islam selalu harus berdasar pada tiga hal dalam pendapatnya Muhammad Haikal yakni, persaudaraan, persamaan dan kebebasan.

Diskursus antara Negara dan Islam kontemporer pada akhirnya selalu merujuk pada tiga golongan yang sama-sama memiliki paradigmanya sendiri. Setidaknya, Muslim telah membaginya pada dua paradigma yakni, Substantif-Inklusif dan Legal-Eklusif.

Insha Allah secepatnya untuk bagian II....

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun