Mohon tunggu...
da.styawan
da.styawan Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Pertama

Statistisi Pertama BPS Kabupaten Kebumen

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

2019 dan Visi Misi Mitigasi Bencana Alam

30 Januari 2019   22:04 Diperbarui: 31 Januari 2019   20:52 596
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bencana | (KOMPAS.com/Reni Susanti)

Menjelang pergantian tahun 2019, Indonesia diguncang dua bencana alam hebat. Gempa bumi dan tsunami. Keduanya seperti sejoli. Begitu dekat. Terus bergandeng erat. Menyapu darat. Banten, Lampung, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Setidaknya pernah merasakan pelukan hangat mereka. Pelukan yang membuat ribuan orang lari berteriak. Sanak terpisah jarak. Nyawa tertelan ombak. Seketika.

Berbagai kejadian bencana alam yang seolah akrab menyambangi Republik ini dengan jumlah korban terdampak relatif besar harusnya membuat masyarakat sadar bahwa mereka hidup berdampingan dengan bencana. Bahwa Indonesia adalah tempat tinggal dengan tingkat potensi bencana yang tinggi. 

Kondisi ini tercermin dari data Indeks Resiko Bencana (IRB) provinsi di Indonesia pada tahun 2013. Sebesar 79,00 persen atau sebanyak 26 provinsi di Indonesia memiliki IRB yang tinggi. Sedangkan 21,00 persen atau sebanyak 7 provinsi memiliki IRB sedang dan tidak ada daerah di Indonesia yang memiliki IRB rendah. Hal ini menunjukkan wilayah Indonesia memiliki resiko bencana yang relatif tinggi di dunia.

Tingginya resiko bencana di Indonesia juga terlihat dari hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sepanjang tahun 2015 hingga 2017, berdasarkan jenis bencana alam, terdapat 19.675 desa/kelurahan yang mengalami kejadian banjir, 10.246 desa/kelurahan tanah longsor, 10.115 desa/kelurahan gempa bumi, 8.587 desa/kelurahan kekeringan, 7.251 desa/kelurahan angin puyuh/puting beliung/topan, 4.394 desa/kelurahan kebakaran hutan/lahan, 1.869 desa/kelurahan banjir bandang, 1.808 desa/kelurahan gelombang pasang air laut, 623 desa/kelurahan gunung meletus, dan 12 desa/kelurahan mengalami tsunami.

Hasil Podes 2018 tersebut menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir, wilayah-wilayah di Indonesia sangat rawan terjadi banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. Kelima jenis bencana alam ini merupakan jenis bencana yang mampu menimbulkan jumlah korban terdampak relatif banyak. 

Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada tahun 2016 hingga 2017 jumlah korban bencana yang meninggal memang menurun dari 0,169 menjadi 0,120 per 100.000 orang. Demikian juga dengan jumlah korban bencana yang hilang menurun dari 0,049 menjadi 0,030 per 100.000 orang. Namun pada periode yang sama, jumlah korban bencana yang terluka justru meningkat dari 0,186 menjadi 0,390 per 100.000 orang. Dengan demikian, secara keseluruhan pada periode 2016 hingga 2017, jumlah korban terdampak bencana alam menunjukkan tren peningkatan.

Tren peningkatan jumlah korban terdampak bencana juga terjadi sepanjang tahun 2018. Dikutip dari detik.com, Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan bahwa jumlah korban dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebagai akibat dari bencana alam pada 2018 cenderung meningkat dibandingkan 2017. Secara detail, beliau menyatakan pada 2018 jumlah korban meninggal naik 984 persen, korban hilang naik 1,972 persen, korban luka-luka naik 1.996 persen, dan korban mengungsi naik 1.341 persen. Tren peningkatan ini diduga disebabkan oleh peningkatan intensitas bencana yang terjadi. Hal ini sebagai dampak dari perubahan iklim yang drastis, pemanasan global, dan semakin aktifnya pergerakan lempeng dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.

Tingginya resiko bencana di Indonesia serta semakin meningkatnya jumlah korban terdampak harus disikapi secara positif oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi dalam membangun sistem peringatan dini bencana alam yang cepat, tepat, akurat, dan mudah dipahami. Pembangunan sistem bertujuan untuk menekan jumlah korban terdampak bencana alam, baik langsung ataupun tidak langsung. Hal ini sesuai dengan target/tujuan ke-11 dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yakni secara signifikan mengurangi jumlah kematian dan jumlah orang terdampak, dan secara substansial mengurangi kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bencana, dengan fokus melindungi orang miskin dan orang-orang dalam situasi rentan.

Sistem Peringatan Dini
Pada dasarnya sistem peringatan dini bencana alam merupakan serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana alam pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Sistem peringatan dini bencana alam yang dimaksud, misalnya peringatan dini terhadap warga mengenai status ketinggian pintu air, status gunung, dsb. yang disampaikan melalui kentongan, pemberitahuan dengan loud speaker, dan lainnya.

Berkaca dari jumlah korban terdampak yang relatif tinggi dalam setiap kejadian bencana alam, setidaknya mengindikasikan bahwa sistem peringatan dini di Indonesia belum berjalan optimal. Negeri ini tidak punya alat pendeteksi bencana alam. Punya, tapi rusak. Dulu pernah punya, tapi raib tak berbekas. Atau dalam rencana punya, tapi prakteknya entah kemana. Hal-hal tersebut seringkali menjadi dalih usai bencana terjadi dan merenggut banyak jiwa. Kegaduhan dan kesimpangsiuran informasi ini harus dihentikan. Sekarang.

Lantas, bagaimana sebenarnya sistem peringatan dini bencana alam yang ada di wilayah administrasi terkecil di Indonesia, yakni setingkat Desa/Kelurahan. Podes 2018 dapat menjadi pintu masuk untuk melihat sejauh mana desa/kelurahan melakukan upaya-upaya antisipasi atau mitigasi bencana alam, baik melalui sistem peringatan dini ataupun upaya-upaya lain. 

Hasil pendataan Podes 2018 menunjukkan terdapat 7.968 desa/kelurahan yang memiliki sistem peringatan dini bencana alam dan 634 desa/kelurahan yang melakukan upaya mitigasi bencana alam melalui sistem peringatan dini tsunami. Selain itu, hasil pendataan Podes 2018 juga menyatakan terdapat 2.738 desa/kelurahan yang memiliki perlengkapan keselamatan, 5.048 desa/kelurahan telah menyediakan rambu-rambu dan jalur evakuasi, serta 19.825 desa/kelurahan telah melakukan upaya mitigasi bencana alam melalui pembuatan, perawatan, atau normalisasi sungai/kanal/tanggul.

Potret hasil pendataan Podes 2018 tersebut menunjukkan bahwa sistem peringatan dini bencana alam dan tsunami di desa/kelurahan relatif telah terbangun. Namun, sistem ini perlu lebih dioptimalkan dengan meningkatkan perlengkapan keselamatan dan menyediakan rambu-rambu serta jalur evakuasi bagi masyarakat. Rambu-rambu dan jalur evakuasi adalah rambu-rambu/tanda dan jalur atau rute khusus yang digunakan untuk evakuasi pada saat terjadi bencana alam. Rambu-rambu dan jalur atau rute ini bisa tersedia di desa/kelurahan dalam bentuk apapun, misal peta, petunjuk evakuasi, dan lokasi aman untuk berkumpul (muster point).

Hal yang terpenting adalah jika sewaktu-waktu terjadi bencana alam, masyarakat dapat mengetahui jalur atau rute evakuasi yang harus dilewati. Oleh karena itu, sosialisasi dan edukasi terkait mitigasi bencana alam harus dilakukan secara efektif. Masyarakat harus mengetahui apa yang dilakukan ketika bencana alam terjadi. Masyarakat juga harus memahami ke arah mana mereka menyelamatkan diri. Sosialisasi dan edukasi ini dapat dilakukan salah satunya melalui integrasi pendidikan mitigasi bencana alam atau pendidikan kebencanaan sejak dini ke dalam kurikulum pendidikan nasional.

2019 dan Visi/Misi Mitigasi Bencana
Momentum 2019 sebagai tahun politik harusnya juga dapat dijadikan sebagai media bagi masyarakat untuk mengetahui bagaimana visi-misi calon pemimpin mereka tentang antisipasi/mitigasi bencana alam. Bagaimana cara seorang pemimpin membangun sistem peringatan dini bencana alam. Bagaimana metode seorang pemimpin melakukan sosialisasi/edukasi mitigasi bencana alam kepada masyarakat. Bagaimana kebijakan seorang pemimpin mengelola lingkungan dan sumber daya alam agar tidak menimbulkan bencana alam. Semua itu harus diketahui oleh publik. Harus didialogkan. Sebab sebagai negara yang bersahabat dengan bencana alam, visi-misi terkait mitigasi bencana alam sangat penting agar Republik ini memiliki arah dalam membangun sistem peringatan dini bencana alam ataupun upaya-upaya mitigasi bencana alam lainnya secara berkelanjutan.

Sayangnya, rencana besar penanggulangan bencana alam relatif belum tersentuh secara konkret pada visi dan misi kedua calon pemimpin republik ini. Kubu Jokowi-Ma'ruf Amin, cenderung fokus pada percepatan peningkatan kualitas manusia Indonesia. Hal ini tertuang dalam dokumen visi-misi Jokowi - Ma'ruf Amin, yaitu "Meneruskan Jalan Perubahan untuk Indonesia Maju: Berdaulat, Mandiri, dan Berkepribadian berlandaskan Gotong Royong".

Dalam dokumen ini, peningkatan kualitas manusia Indonesia menjadi isu utama. Upaya-upaya yang dilakukan antara lain melalui reformasi sistem kesehatan, revitalisasi pendidikan dan pelatihan vokasi, pemberdayaan perempuan, serta menciptakan struktur ekonomi yang produktif, mandiri, dan berdaya saing. Adapun misi yang berkaitan dengan kebencanaan ataupun setidaknya bersentuhan dengan isu-isu lingkungan dan perubahan iklim, tercantum dalam misi kelima yakni Mencapai Lingkungan Hidup yang Berkelanjutan. Namun, Jokowi -- Ma'ruf Amin tidak secara konkret mengkaji isu kebencanaan, seperti potensi bencana alam, penanggulangan ataupun mitigasi bencana alam. Mereka lebih berbicara tentang kebijakan tata ruang, mitigasi perubahan iklim, penegakan hukum terkait kerusakan lingkungan, dan rehabilitasi lingkungan hidup, sebagai perspektif dalam mencapai lingkungan hidup yang berkelanjutan.

Sementara itu, pihak penantang yakni Prabowo-Sandi, mengangkat narasi-narasi tentang kegagalan pembangunan ekonomi sebagai dasar visi dan misi mereka. Berdasarkan dokumen Empat Pilar Menyejahterakan Indonesia: Adil Makmur Bersama Prabowo Sandi, mereka fokus pada peningkatan perekonomian dan kesejahteraan rakyat. Hal ini terjabarkan dalam beberapa pilar diantaranya menciptakan lapangan pekerjaan sebesar-besarnya, menjaga stabilitas harga bahan pokok, meningkatkan daya beli masyarakat, mempercepat penanggulangan kemiskinan, memperbaiki sistem kesehatan dan pendidikan nasional, serta membangun ketersediaan pangan, energi, dan gizi.

Terkait dengan kebencanaan, misi Prabowo-Sandi tertuang dalam Pilar Budaya dan Lingkungan Hidup, yakni pilar ke-sembilan, sepuluh, dan sebelas. Ketiga pilar tersebut adalah berperan aktif mengatasi perubahan iklim global, memberikan hukuman seberat-beratnya kepada pelaku kerusakan lingkungan, dan merevitalisasi usaha-usaha pelestarian lingkungan. Namun ketiga pilar ini belum menyentuh secara konkret persoalan kebencanaan, penanggulangan atau mitigasi bencana alam.

Dengan demikian, kedua pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden, baik Jokowi-Ma'ruf Amin maupun Prabowo-Sandi, masih dalam tataran normatif ketika berbicara tentang isu kebencanaan. Mereka sama-sama hanya mengangkat narasi tentang perubahan iklim global, penindakan hukum terhadap pelaku kerusakan lingkungan, dan revitalisasi atau rehabilitasi lingkungan hidup. Sedangkan narasi-narasi potensi dan mitigasi bencana alam relatif tidak tersentuh.

Padahal, 2019 adalah momentum yang tepat bagi para calon pemimpin republik ini untuk membangun narasi sekaligus kesadaran tentang potensi dan mitigasi bencana alam. Setidaknya hal ini dapat menjadi tema alternatif untuk mengisi ruang-ruang dialog publik. Narasi-narasi seperti ini lah yang seharusnya dimunculkan. Dihidupkan. Dikedepankan. Kalau perlu diributkan. Bukan justru sebaliknya. Meributkan hal-hal receh. Tempe setipis ATM. Kotak kardus. Rambut pete. Genderuwo. Sontoloyo. Bukan pula saling sindir. Adu nyinyir. Lalu berakhir saling lapor ke pihak yang berwajib. Yang berwenang. Polisi. Yang tidak tidur.

Narasi-narasi yang tidak substantif seperti ini harus dihentikan. Tidak perlu didialogkan. Tidak perlu pula diributkan. Harus dibuang. Kalau perlu ditendang. Jauh. Kecuali jika memang bangsa ini ingin tumbuh menjadi bangsa tempe. Berambut pete. Terkungkung dalam kardus. Rakus. Penuh genderuwo. Sontoloyo.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun