Menjelang pergantian tahun 2019, Indonesia diguncang dua bencana alam hebat. Gempa bumi dan tsunami. Keduanya seperti sejoli. Begitu dekat. Terus bergandeng erat. Menyapu darat. Banten, Lampung, Sulawesi Tengah, dan Nusa Tenggara Barat. Setidaknya pernah merasakan pelukan hangat mereka. Pelukan yang membuat ribuan orang lari berteriak. Sanak terpisah jarak. Nyawa tertelan ombak. Seketika.
Berbagai kejadian bencana alam yang seolah akrab menyambangi Republik ini dengan jumlah korban terdampak relatif besar harusnya membuat masyarakat sadar bahwa mereka hidup berdampingan dengan bencana. Bahwa Indonesia adalah tempat tinggal dengan tingkat potensi bencana yang tinggi.Â
Kondisi ini tercermin dari data Indeks Resiko Bencana (IRB) provinsi di Indonesia pada tahun 2013. Sebesar 79,00 persen atau sebanyak 26 provinsi di Indonesia memiliki IRB yang tinggi. Sedangkan 21,00 persen atau sebanyak 7 provinsi memiliki IRB sedang dan tidak ada daerah di Indonesia yang memiliki IRB rendah. Hal ini menunjukkan wilayah Indonesia memiliki resiko bencana yang relatif tinggi di dunia.
Tingginya resiko bencana di Indonesia juga terlihat dari hasil pendataan Potensi Desa (Podes) 2018 yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS). Sepanjang tahun 2015 hingga 2017, berdasarkan jenis bencana alam, terdapat 19.675 desa/kelurahan yang mengalami kejadian banjir, 10.246 desa/kelurahan tanah longsor, 10.115 desa/kelurahan gempa bumi, 8.587 desa/kelurahan kekeringan, 7.251 desa/kelurahan angin puyuh/puting beliung/topan, 4.394 desa/kelurahan kebakaran hutan/lahan, 1.869 desa/kelurahan banjir bandang, 1.808 desa/kelurahan gelombang pasang air laut, 623 desa/kelurahan gunung meletus, dan 12 desa/kelurahan mengalami tsunami.
Hasil Podes 2018 tersebut menunjukkan bahwa selama tiga tahun terakhir, wilayah-wilayah di Indonesia sangat rawan terjadi banjir, tanah longsor, gempa bumi, gunung meletus, dan tsunami. Kelima jenis bencana alam ini merupakan jenis bencana yang mampu menimbulkan jumlah korban terdampak relatif banyak.Â
Berdasarkan Data dan Informasi Bencana Indonesia oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), pada tahun 2016 hingga 2017 jumlah korban bencana yang meninggal memang menurun dari 0,169 menjadi 0,120 per 100.000 orang. Demikian juga dengan jumlah korban bencana yang hilang menurun dari 0,049 menjadi 0,030 per 100.000 orang. Namun pada periode yang sama, jumlah korban bencana yang terluka justru meningkat dari 0,186 menjadi 0,390 per 100.000 orang. Dengan demikian, secara keseluruhan pada periode 2016 hingga 2017, jumlah korban terdampak bencana alam menunjukkan tren peningkatan.
Tren peningkatan jumlah korban terdampak bencana juga terjadi sepanjang tahun 2018. Dikutip dari detik.com, Kepala Pusat Data dan Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho menyatakan bahwa jumlah korban dan kerugian ekonomi yang ditimbulkan sebagai akibat dari bencana alam pada 2018 cenderung meningkat dibandingkan 2017. Secara detail, beliau menyatakan pada 2018 jumlah korban meninggal naik 984 persen, korban hilang naik 1,972 persen, korban luka-luka naik 1.996 persen, dan korban mengungsi naik 1.341 persen. Tren peningkatan ini diduga disebabkan oleh peningkatan intensitas bencana yang terjadi. Hal ini sebagai dampak dari perubahan iklim yang drastis, pemanasan global, dan semakin aktifnya pergerakan lempeng dalam beberapa tahun terakhir di Indonesia.
Tingginya resiko bencana di Indonesia serta semakin meningkatnya jumlah korban terdampak harus disikapi secara positif oleh pemerintah dan masyarakat. Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi dalam membangun sistem peringatan dini bencana alam yang cepat, tepat, akurat, dan mudah dipahami. Pembangunan sistem bertujuan untuk menekan jumlah korban terdampak bencana alam, baik langsung ataupun tidak langsung. Hal ini sesuai dengan target/tujuan ke-11 dalam Sustainable Development Goals (SDGs) atau Tujuan Pembangunan Berkelanjutan, yakni secara signifikan mengurangi jumlah kematian dan jumlah orang terdampak, dan secara substansial mengurangi kerugian ekonomi yang disebabkan oleh bencana, dengan fokus melindungi orang miskin dan orang-orang dalam situasi rentan.
Sistem Peringatan Dini
Pada dasarnya sistem peringatan dini bencana alam merupakan serangkaian kegiatan pemberian peringatan sesegera mungkin kepada masyarakat tentang kemungkinan terjadinya bencana alam pada suatu tempat oleh lembaga yang berwenang. Sistem peringatan dini bencana alam yang dimaksud, misalnya peringatan dini terhadap warga mengenai status ketinggian pintu air, status gunung, dsb. yang disampaikan melalui kentongan, pemberitahuan dengan loud speaker, dan lainnya.
Berkaca dari jumlah korban terdampak yang relatif tinggi dalam setiap kejadian bencana alam, setidaknya mengindikasikan bahwa sistem peringatan dini di Indonesia belum berjalan optimal. Negeri ini tidak punya alat pendeteksi bencana alam. Punya, tapi rusak. Dulu pernah punya, tapi raib tak berbekas. Atau dalam rencana punya, tapi prakteknya entah kemana. Hal-hal tersebut seringkali menjadi dalih usai bencana terjadi dan merenggut banyak jiwa. Kegaduhan dan kesimpangsiuran informasi ini harus dihentikan. Sekarang.
Lantas, bagaimana sebenarnya sistem peringatan dini bencana alam yang ada di wilayah administrasi terkecil di Indonesia, yakni setingkat Desa/Kelurahan. Podes 2018 dapat menjadi pintu masuk untuk melihat sejauh mana desa/kelurahan melakukan upaya-upaya antisipasi atau mitigasi bencana alam, baik melalui sistem peringatan dini ataupun upaya-upaya lain.Â