Saat ini posisi sektor pertanian di Jawa Tengah relatif termajinalkan. Marjinalisasi ini setidaknya terlihat dalam dua aspek. Pertama, kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi yang cenderung mengalami penurunan. Kedua, profesi pekerjaan sebagai petani yang semakin dipandang sebelah mata.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Jawa Tengah mencatat bahwa sepanjang periode 2013 hingga 2017, kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah selalu lebih rendah dibandingkan sektor manufaktur dan jasa. Pada tahun 2013, sektor manufaktur dan jasa masing-masing berkontribusi sebesar 48,32 persen dan 36,84 persen. Sedangkan sektor pertanian hanya berkontribusi sebesar 15,84 persen. Pola yang sama juga terjadi pada tahun 2017. Sektor manufaktur dan jasa berkontribusi sebesar 48,01 persen dan 37,90 persen. Adapun sektor pertanian hanya berkontribusi sebesar 14,09 persen.
Data BPS di atas setidaknya menggambarkan dua hal. Pertama, pertumbuhan ekonomi Jawa Tengah, sebagai salah satu lumbung pangan nasional, justru tidak lagi ditopang oleh sektor pertanian, melainkan telah digeser oleh sektor manufaktur. Kedua, kontribusi sektor pertanian terhadap pertumbuhan ekonomi pada periode 2013 - 2017 cenderung menurun.Â
Sebaliknya kontribusi sektor manufaktur dan jasa terus mengalami peningkatan. Kedua hal ini secara tidak langsung juga menunjukkan bahwa kegiatan sektor pertanian relatif stagnan, secara ekonomi, dibandingkan dengan sektor manufaktur dan jasa.
Profesi Petani tak lagi Menarik Hati
Stagnannya sektor pertanian berimplikasi pada profesi petani yang tidak lagi menarik, terutama bagi kalangan anak muda. Mereka berpandangan bahwa petani adalah profesi yang tidak bergengsi. Mereka lebih memilih masuk ke pasar kerja yang bergerak di sektor-sektor nonpertanian, baik manufaktur ataupun jasa. Kedua sektor ini dipersepsikan mampu mendatangkan penghasilan yang relatif lebih banyak dan cepat, dibandingkan dengan sektor pertanian. Hal ini tercermin dari hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) di Jawa Tengah pada periode 2007 - 2017.
Data Sakernas menunjukkan bahwa sepanjang periode 2007 - 2017, daya serap sektor pertanian terhadap tenaga kerja muda Jawa Tengah cenderung lebih rendah dibandingkan dengan sektor manufaktur dan jasa. Hanya pada 2014, daya serap sektor pertanian lebih tinggi daripada manufaktur, tetapi masih lebih rendah dibandingkan dengan sektor jasa.Â
Secara umum pada periode ini persentase pemuda Jawa Tengah yang bekerja di sektor pertanian cenderung menurun. Pada tahun 2007, terdapat sekitar 28,71 persen pemuda bekerja di sektor pertanian, kemudian cenderung terus menurun hinga di tahun 2017 menjadi 11,88 persen.
Pola penurunan persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian, pada periode yang sama, juga terjadi di wilayah perdesaan. Pada tahun 2007, masih terdapat 43,02 persen pemuda perdesaan yang menggantungkan hidupnya di sektor pertanian. Walaupun pada tahun 2014, sempat meningkat menjadi 46,41 persen, tetapi persentase ini cenderung menurun hingga pada tahun 2017 menjadi 21,73 persen. Hal ini berarti kurang dari seperempat pemuda perdesaan di Jawa Tengah yang bekerja sektor pertanian.Â
Sebaliknya, lebih dari 75 persen pemuda perdesaan memilih sektor nonpertanian, yaitu manufaktur dan jasa, sebagai lapangan pekerjaan utama mereka. Pada periode yang sama, kedua sektor ini cenderung meningkat. Sektor manufaktur tumbuh dari 27,79 persen menjadi 38,36 persen. Sementara itu, sektor jasa juga tumbuh relatif lebih pesat dari 29,19 persen menjadi 39,91 persen.
Potret di atas setidaknya memberikan gambaran bahwa telah terjadi pergeseran struktur pekerjaan pemuda perdesaan di Jawa Tengah. Pergeseran ini berupa perubahan lapangan pekerjaan utama pemuda perdesaan, yakni dari sektor yang mengandalkan sumber daya alam (pertanian) menjadi sektor yang lebih mengandalkan proses produksi (manufaktur) dan sumber daya manusia  (jasa). Â