Tahun 2018 dan 2019 adalah tahun-tahun politik. Itulah salah satu pesan yang selalu disampaikan Presiden Joko Widodo di berbagai kesempatan. Pada tahun 2018, sebanyak 171 daerah telah melakukan pemilihan kepala daerah (Pilkada) secara serentak. Lantas ditutup dengan pemilihan presiden (Pilpres) di tahun 2019.
Seluruh partai politik mulai menyalakan mesin-mesin politiknya. Tiang-tiang bendera telah terpancang. Berbagai strategi politik mulai dirancang. Bahkan strategi-strategi tersebut sudah dijalankan. Kekuatan lawan politik sebisa mungkin dihadang.
Sebaliknya, kelemahan lawan politik dikupas habis, diumbar ke publik. Aib lawan bukan lagi rahasia. Ibaratnya, mereka tak lagi jijik memakan bangkai saudaranya sendiri.
Semua itu dilakukan demi merebut hati para calon pemilih. Seluruh akrobat politik dipertontonkan hanya untuk mendulang suara, demi status juara.
Salah satu target suara yang diperebutkan partai-partai politik adalah suara generasi muda, yang kini disebut dengan generasi milenial. Apa itu generasi milenial? Menurut Hasanudin Ali, Founder and CEO Alvara Research Center, peneliti sosial sering mengelompokkan generasi milenial sebagai generasi yang lahir diantara tahun 1980 an sampai 2000 an.
Jadi generasi milenial adalah generasi yang pada tahun 2019 nanti berusia sekitar 19 -- 39 tahun. Mengapa suara generasi ini membuat partai-partai politik belingsatan, berebut perhatian? Hal ini salah satunya disebabkan oleh jumlah penduduk yang tergolong generasi milenial relatif besar.
Berdasarkan data proyeksi penduduk yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Indonesia pada tahun 2019 nanti sekitar 268 juta jiwa. Adapun jumlah penduduk yang tergolong generasi milenial pada tahun tersebut diproyeksikan mencapai 86 juta jiwa, atau sekitar 32,09 persen.
Dengan demikian, lebih dari 32 persen pemilih pada tahun 2019 mendatang adalah generasi milenial. Jumlah suara ini tentu sangat menggiurkan bagi partai-partai politik.
Generasi milenial seakan menjadi tambang suara baru yang sangat potensial bagi partai politik. Tambahan suara dari generasi ini sangat signifikan bagi partai politik untuk meraih kemenangan di Pilpres 2019.
Keunikan Generasi Milenial
Usaha merebut suara generasi milenial bukanlah sesuatu yang mudah. Hasil riset yang dilakukan oleh Alvara Research Center tahun 2014, menunjukkan bahwa generasi milenial merupakan Apathetic Voters.
Apathetic Voters, atau yang sering disebut dengan pemilih cuek, adalah pemilih yang apatis terhadap seluruh proses politik. Mereka cenderung cuek dan tidak peduli terhadap partai politik. Mereka lebih melihat pada sosok kandidat yang dicalonkan, sebagai pertimbangan mereka dalam menjatuhkan suara.
Keunikan generasi milenial ini tentu membutuhkan strategi khusus untuk merebut suara mereka. Salah satu strategi tersebut antara lain mengusung generasi milenial sebagai calon pemimpin suatu daerah. Sebagai contoh, pada Pilkada DKI Jakarta beberapa waktu yang lalu.
Koalisi Partai Demokrat, PKB, PAN, dan PPP sepakat mengusung Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta. Penunjukkan AHY, yang masih berusia 39 tahun, tentu telah melalui berbagai pertimbangan matang. AHY merupakan sosok yang mewakili generasi milenial DKI Jakarta.
Jumlah generasi milenial di Provinsi DKI Jakarta, menurut data BPS, diperkirakan mencapai 38,12 persen. Hal inilah yang menyebabkan pencalonan AHY pada waktu itu merupakan sesuatu yang logis secara perhitungan politik. Sebab, faktor milenial ini tidak dimiliki oleh dua pasangan calon yang lain.
Keputusan ini membuahkan hasil, yakni 938 ribu suara atau sekitar 17,07 persen. Hasil ini merupakan pencapaian luar biasa untuk pemuda 39 tahun yang baru pertama kali mengikuti konstelasi politik di Indonesia.
Strategi tersebut kemudian dilakukan juga oleh beberapa partai politik dalam menghadapi Pilkada serentak 2018. Koalisi Partai Golkar, Demokrat, dan Nasdem sepakat mengusung Emil Elistianto Dardak, pemuda 33 tahun, sebagai calon Wakil Gubernur Jawa Timur.
Untuk Provinsi Jawa Tengah, koalisi PDI-P, PPP, Nasdem dan Demokrat memasangkan sang petahana, Ganjar Pranowo, dengan Taj Yasin Maimun, pemuda Rembang berusia 35 tahun.
Sementara itu, di luar jawa, PDI-P juga berani mendeklarasikan Andi Sudirman Sulaiman, pemuda 34 tahun, untuk mendampingi Nurdin Abdullah sebagai calon Wakil Gubernur Sulawesi Selatan. Emil, Yasin, dan Andi mewakili generasi milenial yang sarat potensi dan prestasi.
Perlu diketahui, berdasarkan data BPS, jumlah penduduk milenial di Provinsi Jawa Timur pada tahun 2018, diproyeksikan mencapai 29,97 persen. Adapun Provinsi Jawa Tengah, jumlah generasi milenial diproyeksikan mencapai 30,07 persen.
Sementara itu, jumlah penduduk milenial di Provinsi Sulawesi Selatan diperkirakan sekitar 33,16 persen. Secara perhitungan suara, jumlah ini sangat signifikan sebagai tambahan suara.
Hal ini kemudian relatif terbukti. Ketiga pasangan tersebut berhasil keluar sebagai pemenang di daerah masing-masing. Kekuatan milenial benar-benar mampu dioptimalkan para partai politik pengusung mereka.
Lantas, bagaimana dengan Pilpres 2019 mendatang? Apakah partai-partai politik akan menggunakan strategi yang sama? Seperti kita ketahui, pada Pilpres 2019 mendatang hanya ada dua pasangan calon. Nomor urut pun telah ditetapkan bagi keduanya. Nomor 01 untuk Jokowi-Ma'ruf Amin dan 02 untuk Prabowo-Sandiaga.
Jika kita membandingan kedua calon wakil presiden, maka jelas bahwa Sandiaga lebih milenial daripada Kyai Ma'ruf. Tapi perlu diingat, bahwa Jokowi telah cukup lama memodifikasi gaya blusukannya. Pada kunjungannya ke berbagai daerah, Jokowi tampil dengan gaya kekinian. Celana casual, jaket jeans, dan sneakers hampir selalu menemaninya di berbagai kesempatan.
Begitu juga dengan pilihan cara berkomunikasinya. Twitter, Facebook, hingga vlog menjadi media baginya untuk lebih dekat dengan generasi milenial. Â Oleh karena itu, setidaknya untuk pasangan 01, milenial relatif terwakili oleh sosok Jokowi.
Terlepas dari profil kedua pasangan calon, pada dasarnya penunjukkan calon pemimpin dari generasi milenial hanyalah langkah kecil dalam sebuah petarungan politik. Langkah besarnya adalah pertarungan visi, misi, ide, dan gagasan untuk membuat Indonesia menjadi bangsa yang maju, adil, dan makmur.
Hal yang juga tak kalah penting adalah bagaimana strategi menyampaikan visi dan misi tersebut kepada generasi milenial. Tentu strategi-strategi tersebut harus sesuai dengan karakteristik generasi milenial.
Dalam White Paper yang diterbitkan oleh Alvara Research Center, "Indonesia 2020: The Urban Middle -- Class Millenials" terdapat tiga karakter generasi milenial.
Karakter pertama adalah creative. Generasi milenial merupakan generasi yang penuh dengan ide-ide kreatif. Mereka cenderung berpikir out of the box dalam menghadapi setiap persoalan. Mereka lebih menyukai hal-hal atau gagasan-gagasan baru sebagai sebuah solusi.
Karakter kedua adalah confidence, atau percaya diri. Generasi milenial memiliki rasa percaya diri yang tinggi. Mereka tidak ragu berdebat tentang apapun, dimanapun dan dengan siapapun. Mereka dengan berani akan menyampaikan pendapat pribadi mereka, bahkan di ruang-ruang publik sekalipun.
Karakter ketiga adalah connected. Generasi milenial merupakan generasi yang gemar dan mudah bersosialisasi. Mereka terhubung dalam komunitas-komunitas tertentu. Mereka aktif dalam menggunakan internet dan rajin bergerak di media sosial.
Ketiga karakter generasi milenial tersebut harus dipertimbangkan oleh partai politik untuk merebut suara mereka. Partai-partai politik harus memiliki strategi-strategi yang kreatif dalam menyampaikan sebuah visi dan misi.
Karakter ketiga dari generasi milenial, yakni connected, menunjukkan bahwa mereka tidak pernah jauh dari internet dan media sosial. Oleh karena itu, penggunaan panggung-panggung musik harus mulai bergeser pada pemanfaatan media sosial sebagai media kampanye.
Pilihan Strategi Milenial
Pemanfaatan media sosial ini tentu harus dilakukan secara kreatif dan massif. Pertama, partai politik dapat membuat infografis yang berisi visi dan misi pasangan calon. Infografis ini kemudian dibagikan/diviralkan secara massif melalui berbagai media sosial.
Infografis dengan tampilan yang unik dan menarik tentu akan lebih efektif daripada menyebar ataupun menempel berlembar-lembar pamflet, brosur, dan yang semacamnya. Infografis yang keren akan lebih efisien dibandingkan dengan memasang ribuan spanduk di jalan-jalan ataupun memaku poster di batang-batang pohon.
Kedua, para pasangan calon dapat menggunakan media sosial untuk menyampaikan pesan politik mereka kepada generasi milenial. Mereka juga dapat memanfaatkan media sosial untuk meluruskan pernyataan-pernyataan lawan politik yang merugikan mereka.
Pilkada DKI Jakarta 2017 lalu membuktikan bahwa media sosial sangat efektif dalam mengkampanyekan keunggulan suatu pasangan calon, sekaligus membongkar kekurangan pasangan calon yang lain.
Tentu pemanfaatan media sosial ini juga harus tetap memperhatikan aturan, norma, dan budaya politik yang penuh santun di Indonesia. Penyampaian pesan-pesan politik melalui media sosial harus rasional dan berorientasi pada adu program, bukan black campaign yang lebih menyerang karakter individu pasangan calon.
Ketiga, ketika generasi milenial mulai tertarik, partai-partai politik harus memanfaatkan momen tersebut dengan segera membentuk simpul-simpul relawan. Partai-partai politik harus membentuk komunitas-komunitas diantara generasi milenial. Simpul-simpul relawan dan komunitas ini kemudian digerakkan secara massif untuk mengajak generasi/masyarakat lain memilih sosok kandidat yang sama dengan pilihan mereka.
Gerakan ini dapat dilakukan dengan menggunakan media sosial, atau langsung terjun ke masyarakat melalui berbagai kegiatan sosial. Hal yang tidak bisa dipungkiri dalam kemenangan Jokowi - JK pada Pilpres 2014 lalu adalah keberhasilan gerakan para relawan.
Gerakan yang didominasi anak-anak muda (generasi milenial) ini begitu massif mengajak masyarakat lain, generasi yang lebih tua, untuk menjatuhkan suara pada Jokowi - JK. Pola-pola gerakan ini, ditambah dengan kekuatan media sosial, masih sangat relevan untuk digunakan kembali dalam Pilpres 2019.
Terlepas dari apapun strategi partai-partai politik dalam memenangkan pertempuran, kepentingan bangsa dan negara harus diutamakan. Pada hakekatnya politik hanyalah alat untuk mencapai kekuasaan. Kekuasaan itulah yang akan digunakan untuk mencapai tujuan nasional, yaitu masyarakat adil dan makmur.
Justru perhelatan politik pada tahun 2018 dan 2019 mendatang adalah momentum tepat untuk mendidik generasi milenial bagaimana berpolitik yang cerdas, santun, dan beradab. Itulah saat yang tepat untuk mengajarkan anak-anak muda bagaimana mencapai tujuan dengan cara-cara yang elegan, meraih suara tanpa menghina, menggapai kemenangan tanpa cacian.
Jadikan politik sebagai kawah untuk mendewasakan republik ini, agar kelak benar-benar tumbuh menjadi bangsa pemenang di masa depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H