Kenaikan harga beras menjadi trending topic beberapa hari terakhir ini. Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat kenaikan harga beras di pasaran sampai dengan minggu kedua Januari 2018 mencapai 3 persen.Â
Hal ini membuat pemerintah memutuskan mengimpor beras sebanyak 500.000 ton. Pemerintah mengambil kebijakan ini untuk mengatasi lonjakan harga beras di berbagai daerah. Selain itu, kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat cadangan beras nasional.
Keputusan impor beras di tahun politik ini tentu menimbulkan pro dan kontra di masyarakat. Beberapa pihak dapat memaklumi keputusan pemerintah demi menjaga stabilitas harga dan ketersediaan beras.Â
Di sisi lain, beberapa pihak berpendapat pemerintah tidak seharusnya mengimpor beras saat ini. Mereka menilai momen impor beras yang rencananya akan dilakukan akhir Januari 2018 kurang tepat. Hal ini disebabkan Februari -- Maret mendatang adalah masa panen raya. Momen impor beras yang berbarengan dengan masa panen raya tentu akan merugikan pihak petani.
Kebijakan impor beras, terlepas dari pro dan kontra, kembali menyadarkan kita bahwa stabilitas harga beras masih begitu krusial di Republik ini. Data BPS pun memotret hal yang sama. Pada Desember 2017, kontribusi beras terhadap inflasi sebesar 0,08 persen. Data ini menunjukkan kenaikan harga beras akan berpengaruh siginifikan terhadap laju inflasi. Laju inflasi yang meningkat tentu akan berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat.Â
Potret lain yang menarik, beras merupakan komoditas yang paling berpengaruh terhadap tingkat kemiskinan di Indonesia. Hal ini terjadi baik di perkotaan maupun perdesaan. Data BPS pada September 2017 menunjukkan bahwa beras menyumbang 18,8 persen terhadap garis kemiskinan di perkotaan. Sedangkan di perdesaan, komoditas ini memiliki andil sebesar 24,52 persen terhadap garis kemiskinan.
Potret-potret di atas seolah mengamini bahwa stabilitas harga beras sangat penting bagi Indonesia. Upaya menjaga stabilitas harga beras, tentu tidak bisa dilepaskan dari ketersediaan data produksi beras yang akurat. Data produksi yang akurat akan membantu pemerintah dalam merumuskan kebijakan beras yang tepat. Data produksi ditentukan oleh variabel produktivitas dan luas panen.Â
Produktivitas diperoleh dari hasil Survey Ubinan yang dilakukan bersama oleh BPS dan Dinas Pertanian. Adapun angka luas panen merupakan tanggungjawab penuh Dinas Pertanian. Namun, hingga saat ini pengumpulan data luas panen masih menggunakan metode konvensional melalui kuesioner Statistik Pertanian (SP). Metode ini murni berdasarkan pandangan mata petugas pengumpul data.Â
Metode ini sering disebut dengan eye estimate. Metode eye estimate memang relatif mudah dilakukan. Namun metode ini memiliki kekurangan. Salah satu kekurangannya adalah data luas panen yang dihasilkan cenderung tidak akurat. Ketidakakuratan ini disebabkan proses pengumpulan data yang tidak terukur dan sangat bergantung pada subjektivitas petugas.
Sejak tahun 2016, BPS belum lagi merilis data produksi, baik padi ataupun palawija. Saat ini BPS bersama Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) sedang mengembangkan metode baru untuk menghitung luas panen.Â
Metode yang juga memanfaatkan teknologi ini disebut dengan Kerangka Sampel Area (KSA). Prinsip dasar metode ini adalah estimasi luasan yang didasarkan pada observasi langsung di lapangan.Â
Observasi dilakukan terhadap tutupan lahan pada titik -- titik pengamatan yang sudah ditentukan di dalam sampel-sampel terpilih. Titik-titik pengamatan ini secara reguler akan dipotret oleh petugas pengumpul data dengan menggunakan ponsel berbasis android.Â
Petugas juga mengamati fase pertumbuhan padi dan kondisi sawah di setiap titik pengamatan. Uji coba penggunaan metode KSA telah dilakukan di Kabupaten Indramayu dan Garut pada tahun 2015. Kemudian di tahun 2017, dilaksanakan Survey KSA di Pulau Jawa, kecuali Provinsi DKI Jakarta. Adapun di tahun 2018, Survey KSA akan dilakukan di seluruh wilayah Indonesia.
Penggunaan metode KSA yang berbasis teknologi ini diharapkan mampu menghasilkan data produksi yang lebih objektif, akurat dan tepat waktu. Data yang akurat ini sangat dibutuhkan oleh pemerintah dalam mengambil berbagai kebijakan di sektor pertanian. Kebijakan ini terutama terkait dengan kebijakan cadangan beras, impor beras, dan stabilisasi harga beras. Â Hal ini sebagai upaya untuk menjaga ketahanan pangan rakyat dan mendukung Nawa Cita yakni terwujudnya swasembada pangan di Indonesia.Â
Pada akhirnya keriuhan kecil tentang beras telah memberikan pelajaran kepada kita tentang pentingnya data. Berbagai klaim keberhasilan yang tidak berpijak pada data hanya akan menjadi bom waktu. Klaim-klaim tersebut seolah seperti pemanis buatan yang perlahan akan merusak tubuh bangsa ini.Â
Beras juga membuka mata kita bahwa kebijakan Satu Data harus segera diimplementasikan, agar Republik ini tidak terus hanyut dalam kebingungan. Segenap komponen bangsa harus mendukung BPS agar tetap independen dalam memotret kondisi sebenarnya.Â
Biarkan data berbicara apa adanya menyuguhkan berbagai potret kehidupan. Sebab, data itu harus merdeka. Data itu harus satu. Satu data untuk Indonesia.
*) Tulisan ini dimuat di Kebumen Ekspress (Jawa Pos Group), 24 Januari 2018.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H