Mohon tunggu...
da.styawan
da.styawan Mohon Tunggu... Lainnya - Statistisi Pertama

Statistisi Pertama BPS Kabupaten Kebumen

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Wajah Kemiskinan Jawa Tengah di Tengah Derasnya Kucuran Dana Desa

16 Agustus 2018   23:30 Diperbarui: 16 Agustus 2018   23:35 1507
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Ingatlah wajah-wajah orang yang mengalami kemiskinan dan orang-orang yang tak berdaya yang telah kamu lihat, dan tanyakan pada dirimu sendiri langkah apa yang akan kamu ambil untuk mereka." (Mahatma Gandhi)

Kutipan dari Mahatma Gandhi di atas menyiratkan sebuah pesan bahwa kemiskinan adalah sebuah persoalan klasik yang mendera hampir setiap negara.

Kemiskinan bukan untuk dibiarkan, apalagi hanya dijadikan tema di sebuah ajang perdebatan. Kemiskinan harus diselesaikan, harus dihentikan.

Kutipan tersebut juga mengajarkan kita satu hal, bahwa sebelum mengambil langkah untuk mengatasi kemiskinan, kita harus 'melihat' wajah-wajah orang yang mengalami kemiskinan.

Kita harus melihat bagaimana potret orang-orang miskin dalam berbagai aspek kehidupan. Bagaimana potret sosial mereka, potret ekonomi mereka, potret pendidikan mereka, potret kesehatan mereka, potret kesejahteraan mereka, hingga potret kondisi rumah mereka. Rumah tempat mereka berkompromi dengan keadaan. Rumah tempat mereka menyimpan mimpi untuk keluar dari dekapan kemiskinan.

Lantas bagaimana dengan potret kemiskinan di Provinsi Jawa Tengah?

Badan Pusat Statistik (BPS) beberapa waktu lalu telah menyuguhkan beberapa potret yang menarik. Secara umum, pada periode 2011 -- 2018 tingkat kemiskinan di Jawa Tengah cenderung mengalami penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase.

Jika dilihat lebih detail lagi, pada periode September 2017 -- Maret 2018, tingkat kemiskinan mengalami penurunan yang relatif signifikan.

Pada September 2017, jumlah penduduk miskin mencapai 4,20 juta orang, atau sekitar 12,23 persen. Jumlah penduduk miskin kemudian menurun menjadi 3,90 juta orang, atau sekitar 11,32 persen.

Penurunan tingkat kemiskinan di Jawa Tengah ini patut disyukuri, sebab pemerintah telah melepaskan sekitar 300,29 ribu orang dari dekap kemiskinan.

Bahkan secara nasional, Jawa Tengah merupakan Provinsi dengan penurunan persentase penduduk miskin tertinggi, yakni sebesar 0,91 persen poin. Tentu capaian ini perlu diapresiasi secara objektif.

Namun, ada hal yang tidak boleh terlupakan, yakni masih ada sekitar 3,90 juta orang saudara-saudara kita yang sedang diuji dengan himpitan kemiskinan. Mereka inilah yang harus kita lihat, kita ingat 'wajah' kehidupannya..

Mengapa mereka disebut miskin

BPS mengukur kemiskinan makro melalui pendekatan konsep kebutuhan dasar atau basic need approach. Pendekatan ini memandang kemiskinan sebagai ketidakmampuan dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan bukan makanan, yang diukur dengan garis kemiskinan.

Komponen garis kemiskinan terdiri dari garis kemiskinan makanan dan garis kemiskinan bukan makanan. Garis kemiskinan makanan adalah nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan, yang setara dengan 2.100 kilokalori per kapita per hari. Darimana BPS mendapatkan angka 2.100 kilokalori?

Hal ini mengacu pada hasil Widyakarya Pangan dan Gizi tahun 1987. Hasil widyakarya ini menyebutkan bahwa untuk hidup sehat, dibutuhkan rata-rata 2.100 kilokalori per kapita per hari.

Selain itu, 2.100 kilokalori merupakan rekomendasi dari  Food and Agriculture Organization (FAO) dan World Health Organization (WHO). Rekomendasi ini secara khusus ditujukan kepada negara-negara berkembang, termasuk Indonesia.

Adapun garis kemiskinan bukan makanan merupakan nilai minimum pengeluaran untuk perumahan, sandang, pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan pokok bukan makanan lainnya.

Garis kemiskinan ini digunakan sebagai batas untuk mengelompokkan penduduk menjadi miskin atau tidak miskin. Penduduk miskin adalah penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.

Sebaliknya, penduduk yang memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di atas garis kemiskinan disebut penduduk tidak miskin.

Bagaimana dengan garis kemiskinan di Jawa Tengah? Selama periode September 2017 -- Maret 2018, garis kemiskinan di Jawa Tengah naik sebesar 3,56 persen. Pada September 2017, garis kemiskinan Jawa Tengah sebesar Rp. 338.815,- per kapita per bulan, kemudian pada Maret 2018 naik menjadi Rp. 350.875,- per kapita per bulan.

Sebagai ilustrasi untuk kondisi Maret 2018, misalkan suatu rumah tangga memiliki lima anggota rumah tangga, maka diperoleh garis kemiskinan sebesar Rp. 1,7 juta. Hal ini berarti, jika pengeluaran per bulan rumah tangga tersebut kurang dari Rp. 1,7 juta, maka rumah tangga tersebut dikatakan miskin. Tentu angka ini bervariasi, tergantung pada jumlah anggota rumah tangga sebagai penimbang.

Usai kita memahami bagaimana mengkategorikan penduduk sebagai penduduk miskin dan tidak miskin, permasalahan berikutnya adalah keberadaan penduduk miskin. Apakah mereka berada/tinggal di perdesaan atau justru di perkotaan?

Kemiskinan di Perdesaan dan Derasnya Dana Desa

BPS mencatat pada periode September 2017 -- Maret 2018, jumlah penduduk miskin Jawa Tengah di daerah perkotaan dan perdesaan mengalami penurunan, baik dari sisi jumlah maupun persentase. Jumlah penduduk miskin di perkotaan turun sebesar 99,42 ribu orang dan di perdesaan turun sebesar 200,88 ribu orang.

Sementara itu dari sisi persentase, kemiskinan di perkotaan turun dari 10,55 persen menjadi 9,73 persen. Sedangkan kemiskinan di perdesaan turun dari 13,92 persen menjadi 12,99 persen.

Potret di atas memberikan gambaran bahwa masih terjadi disparitas atau ketimpangan yang relatif tinggi antara tingkat kemiskinan di perkotaan dan perdesaan.

Jika kita melihat lebih jauh dengan membandingkan periode-periode sebelumnya, tingkat kemiskinan di perkotaan pada periode Maret 2013 -- Maret 2018 mengalami penurunan dari 12,87 persen menjadi 9,73 persen.

Sedangkan tingkat kemiskinan perdesaan pada periode yang sama menurun dari 15,99 persen menjadi 12,99 persen. Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kemiskinan di perkotaan menurun lebih cepat dibandingkan di perdesaan.

Cenderung lambatnya penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan tentu menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah. Sebab, capaian ini belum sejalan dengan visi-misi pemerintahan Jokowi-JK yang tertuang dalam Nawacita, yakni membangun Indonesia dari pinggiran, membangun Indonesia dari perdesaan.

Selain itu, lambatnya penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan juga bertolak belakang dengan semakin derasnya kucuran dana desa. Hal ini ditandai dengan nilai dana desa yang terus meningkat setiap tahun.

Dinas Pemberdayaan Masyarakat, Desa, Kependudukan dan Catatan Sipil (Dispermadesdukcapil) Provinsi Jawa Tengah mencatat bahwa dana desa di Jawa Tengah pada tahun 2018 ini mencapai Rp 6,74 triliun. Alokasi ini mengalami kenaikan dibanding alokasi dana desa pada tahun 2017 yang sebesar Rp 6,30 triliun.

Namun peningkatan dana desa yang tidak diikuti dengan percepatan penurunan kemiskinan di perdesaan menunjukkan penggunaan dana desa yang relatif belum maksimal. Pemerintah harus meningkatkan efektivitas dana desa agar lebih tepat sasaran dan fokus pada perbaikan kondisi ekonomi dan sosial penduduk perdesaan.

Hal itu sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 14 Tahun 2014 tentang dana desa, bahwa penggunaan dana desa diprioritaskan untuk membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat desa.

Berdasarkan data Dispermadesdukcapil Provinsi Jawa Tengah, mayoritas dana desa atau sekitar 93 persen dipergunakan untuk pembangunan infrastruktur fisik.

Pembangunan infrastruktur itu memang penting untuk memberikan akses kemudahan bagi penduduk, baik dalam menunjang aktivitas perekonomian ataupun pelayanan-pelayanan di bidang sosial, pendidikan, dan kesehatan.

Masifnya pembangunan infrstruktur ini harus bermuara pada pengentasan kemiskinan dan harus diimbangi dengan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Hal ini dapat dilakukan melalui beberapa hal.

Pertama, pembangunan infrastruktur harus diarahkan untuk memaksimalkan potensi desa, terutama di sektor pangan. Pembangunan ataupun perbaikan sarana penunjang pertanian, seperti sistem pengairan/irigasi, harus dilakukan. Hal ini agar produksi pangan menjadi lebih maksimal, sehingga kebutuhan akan pangan dapat terpenuhi dari desa sendiri.

Kedua, pembangunan infrastruktur harus memprioritaskan perbaikan sistem/jalur logistik desa. Hal ini sangat penting untuk membuka akses jalan, baik dari desa maupun yang menuju ke desa. Perbaikan jalur logistik ini akan membuat akses bahan makanan dari atau menuju desa menjadi lebih mudah, sehingga harga bahan makanan akan relatif lebih terjangkau oleh masyarakat.

Ketiga, pemberdayaan ekonomi masyarakat dapat dilakukan dengan mendorong setiap desa untuk membentuk BUMDes.

Namun, pemerintah hendaknya tidak berhenti dengan sekedar memberikan dorongan. BUMDes berdiri, lalu berhenti, selesai. Pemerintah harus melakukan pengawasan, pendampingan, dan edukasi agar BUMDes bukan sekedar nama. BUMDes harus benar-benar berjalan maksimal dan efektif dalam memberdayakan ekonomi masyarakat. Dalam hal ini, pemerintah dapat memanfaatkan ketersediaan data, baik dari BPS maupun data sektoral, untuk memetakan potensi setiap desa.

Berbagai potret di atas setidaknya memberikan gambaran  terkait kondisi kemiskinan di Jawa Tengah. Secara umum, pemerintah memang berhasil menekan tingkat kemiskinan hingga pada Maret 2018 menjadi 11,32 persen.

Namun, tingkat kemiskinan ini masih lebih tinggi dibandingkan dengan tingkat kemiskinan nasional yang sebesar 9,82 persen.

Selain itu jika dilihat berdasarkan wilayah, masih terdapat disparitas yang relatif tinggi antara perdesaan dan perkotaan. Walaupun terjadi penurunan, tingkat kemiskinan di perdesaan lebih tinggi daripada di perkotaan.

Sepanjang periode Maret 2013 -- Maret 2018, laju penurunan tingkat kemiskinan di perdesaan juga lebih lambat dibandingkan dengan di perkotaan.

Padahal, pemerintah telah mengucurkan dana desa, dengan nilai yang terus meningkat setiap tahun.

Oleh karena itu, efektivitas penggunaan dana desa menjadi pekerjaan rumah tersendiri bagi pemerintah.

Bagaimanapun juga, penggunaan dana desa yang lebih efektif dan tepat sasaran akan memberikan dampak terhadap perbaikan kesejahteraan masyarakat dan mengatasi persoalan kemiskinan di perdesaan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun