Mohon tunggu...
Anton Da Karola
Anton Da Karola Mohon Tunggu... Freelancer - | tukang foto | tukang kliping

Citizen journalist from South Sumatera.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pahami Sejarah Kanal Medsos Diciptakan Sebelum Menggunakan Threads

9 Juli 2023   21:52 Diperbarui: 12 Juli 2023   14:15 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pengalaman pribadi pertama kali menggunakan media sosial sejak Friendster pada 2002 hingga yang terbaru Threads (2023). Ketika mengikuti seminar-seminar tentang digitalisasi media, saya baru menemukan kunci dari pertanyaan, "Mengapa di antara kita tidak bisa efektif memaksimalkan media digital?" Justru pada saat diminta bertanya dalam seminar yang menghadirkan aktor, penulis Dennis Adhiswara di Palembang.

Saat itu saya menanyakan apa sejarah atau latar belakang setiap kanal medsos diciptakan, sehingga kita tidak coba-coba tanpa arah dan akhirnya kehilangan akun dan password. Dia menjelaskan dengan gamblang (sayang sekali tidak sempat saya catat) kenapa Facebook, Twitter, dan sebagainya hadir.

Friendster hanya populer sesaat karena selain lemot, tidak lebih baik ketimbang SMS (meski sangat mahal karena dikenakan tarif Rp 350 setiap pesan singkat). Tetapi menjadi acuan sebagai situs yang lebih user friendly ketimbang website lembaga atau pun pribadi yang pasti tak mungkin memiliki tampilan seragam.

Facebook mulai digunakan pada 2009, tertinggal lima tahun dari saat diluncurkan tetapi dengan harapan tidak se-alay Friendster. Setahun sebelumnya, saya sibuk memotret untuk dokumentasi calon kepala daerah.

Satu hal yang mengganjal pikiran saya, "Apa hasil jepretan ini akan berakhir di harddisk komputer dan memory card lalu hilang begitu saja?" Seandainya saat itu saya sudah memiliki akun Facebook.

Threads sebagai pilihan atau ancaman (threat)?

Pada 2010 saya mencoba Twitter, saat itu masih berbahasa Inggris, dan tanpa akun lokal yang bisa diikuti, menggunakannya pun via komputer, bukan smartphone. Anda bisa bayangkan, akun tersebut hanya sesekali saja digunakan bahkan hampir dilupakan. Bagi yang konsisten, akunnya kemungkinan besar menjadi influencer. 

Jika memang Threads diciptakan seperti Twitter, maka penggunanya dapat merasakan sepinya interaksi di awal. Kini, Twitter bak medan tempur. Orang yang tidak saling kenal bisa saling hujat dan mengumbar kebencian. Pantas bila kebijakan baru Twitter seperti hendak mengikis data, bahkan Threads pun tak mau jadi ajang ribut, Kompas (9/7/2023).

Paling menarik adalah Instagram, awalnya hanya tersedia untuk iOS, saat disediakan untuk versi Android, justru tak sedikit pengguna Apple yang mengancam berhenti menggunakan. Polarisasi tak hanya di politik saja rupanya. Kini, Facebook dan Instagram hanya sesekali saja saya posting. 

Medsos ini berubah wajah menjadi ajang flexing, kadang terpikir untuk pensiun menggunakannya setelah berjumpa hampir semua kolega semasa sekolah dan kuliah. Mungkin hanya jomblo dan emak-emak saja yang masih rajin menggunakannya.

Ketika memutuskan memilih lalu memakai salah satu platform (kanal) medsos, hampir sebagian besar pengguna hanya sekadar ikut-ikutan tren. Sehari setelah platform terbaru Threads diluncurkan, Pengguna Medsos Masih Terjebak Latah - Kompas, Jumat (7/7/2023).

Sebelumnya, saya bekerja  sebagai staf redaksi media lokal yang lumayan bertahan dengan bagus untuk level lembaga sosial nirlaba di luar berita politik dan atau kriminal. Salah satu kesalahan kami saat itu, membuat website yang tidak update karena itu hanya formalitas. Kami tak memiliki visi bahwa media cetak lambat laun akan punah. Ketika beralih dari offline ke online pada 2011, sudah cukup keteteran.

Sumber daya yang terbatas juga berpengaruh, seperti leletnya jaringan internet saat itu, perangkat keras yang lemot dan belum mobile. Jadi, sangat wajar bila kita hanya ikut-ikutan (follower) kita butuh pemengaruh (influencer) yang memiliki perangkat dan infrastruktur lebih dulu.

Terakhir TikTok, yang tak mau disebut medsos tetapi content distribution platform. Karena algoritma TikTok tidak mengedepankan jumlah pengikut. Dibanding kanal YouTube saya yang hanya berisi satu posting-an, TikTok lebih praktis dan to the point menjadi tempat penggunanya yang mencari pengalihan hiburan dengan video singkat yang langsung bisa diedit di smartphone yang makin lama makin murah. Ditambah lagi jaringan seluler kini sudah merata 4G mendekati 5G.

Oh ya, satu lagi yang sebenarnya memang bukan medsos tetapi lama-kelamaan menyerupai yakni aplikasi pesan singkat WhatsApp, sekilas Telegram pun sama tetapi kedua kanal ini memiliki kelebihan masing-masing. Dibanding WhatsApp (WA) yang banyak grup tetapi sering pula ditinggalkan anggota dengan alasan memory full, Telegram malah bisa jadi tempat "membuang" foto, video dengan file ukuran besar ketimbang di-posting langsung ke medsos. Selain itu, menulis draft di Telegram tak perlu di-save, sehingga bisa disalin di ponsel lain (pada akun yang sama) dengan cepat.

Dengan jumlah pengguna baru 64,3 persen dibanding WA yang 92,1 persen di Indonesia, sangat jarang ada ponsel yang tak diinstal aplikasi WA (seperti ponsel saya). Padahal, dulu peluncurannya nyaris berbarengan dengan Kakao Talk, We Chat dan Line setelah BBM mulai ditinggalkan karena terlalu eksklusif.

Jadi, memahami sejarah kanal-kanal yang ada dan yang gagal seperti Path, Google+ dan sejenisnya, kesalahan kami seperti posting konten yang sama persis di kanal yang berbeda sebagai langkah literasi bagi calon pengguna yang bijak memanfaatkan medsos, bukan malah dieksploitasi oleh platform. Mengutip cuitan akun @itsnita5 tentang alasan kenapa main di Twitter:

1. Kehidupanku gak menarik buat Instagram

2. Facebook ada Nyokap gue....

Nah, Threads apa treat, tuh?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun