Mohon tunggu...
Anton Da Karola
Anton Da Karola Mohon Tunggu... Freelancer - | tukang foto | tukang kliping

Citizen journalist from South Sumatera.

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Pahami Sejarah Kanal Medsos Diciptakan Sebelum Menggunakan Threads

9 Juli 2023   21:52 Diperbarui: 12 Juli 2023   14:15 333
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Repro: Republika, Selasa (8 Maret 2022) halaman 11.

Ketika memutuskan memilih lalu memakai salah satu platform (kanal) medsos, hampir sebagian besar pengguna hanya sekadar ikut-ikutan tren. Sehari setelah platform terbaru Threads diluncurkan, Pengguna Medsos Masih Terjebak Latah - Kompas, Jumat (7/7/2023).

Sebelumnya, saya bekerja  sebagai staf redaksi media lokal yang lumayan bertahan dengan bagus untuk level lembaga sosial nirlaba di luar berita politik dan atau kriminal. Salah satu kesalahan kami saat itu, membuat website yang tidak update karena itu hanya formalitas. Kami tak memiliki visi bahwa media cetak lambat laun akan punah. Ketika beralih dari offline ke online pada 2011, sudah cukup keteteran.

Sumber daya yang terbatas juga berpengaruh, seperti leletnya jaringan internet saat itu, perangkat keras yang lemot dan belum mobile. Jadi, sangat wajar bila kita hanya ikut-ikutan (follower) kita butuh pemengaruh (influencer) yang memiliki perangkat dan infrastruktur lebih dulu.

Terakhir TikTok, yang tak mau disebut medsos tetapi content distribution platform. Karena algoritma TikTok tidak mengedepankan jumlah pengikut. Dibanding kanal YouTube saya yang hanya berisi satu posting-an, TikTok lebih praktis dan to the point menjadi tempat penggunanya yang mencari pengalihan hiburan dengan video singkat yang langsung bisa diedit di smartphone yang makin lama makin murah. Ditambah lagi jaringan seluler kini sudah merata 4G mendekati 5G.

Oh ya, satu lagi yang sebenarnya memang bukan medsos tetapi lama-kelamaan menyerupai yakni aplikasi pesan singkat WhatsApp, sekilas Telegram pun sama tetapi kedua kanal ini memiliki kelebihan masing-masing. Dibanding WhatsApp (WA) yang banyak grup tetapi sering pula ditinggalkan anggota dengan alasan memory full, Telegram malah bisa jadi tempat "membuang" foto, video dengan file ukuran besar ketimbang di-posting langsung ke medsos. Selain itu, menulis draft di Telegram tak perlu di-save, sehingga bisa disalin di ponsel lain (pada akun yang sama) dengan cepat.

Dengan jumlah pengguna baru 64,3 persen dibanding WA yang 92,1 persen di Indonesia, sangat jarang ada ponsel yang tak diinstal aplikasi WA (seperti ponsel saya). Padahal, dulu peluncurannya nyaris berbarengan dengan Kakao Talk, We Chat dan Line setelah BBM mulai ditinggalkan karena terlalu eksklusif.

Jadi, memahami sejarah kanal-kanal yang ada dan yang gagal seperti Path, Google+ dan sejenisnya, kesalahan kami seperti posting konten yang sama persis di kanal yang berbeda sebagai langkah literasi bagi calon pengguna yang bijak memanfaatkan medsos, bukan malah dieksploitasi oleh platform. Mengutip cuitan akun @itsnita5 tentang alasan kenapa main di Twitter:

1. Kehidupanku gak menarik buat Instagram

2. Facebook ada Nyokap gue....

Nah, Threads apa treat, tuh?

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun