Kita, sebagai manusia, suka-ndak-suka-mau-ndak-mau, lahir dengan kodrat untuk memilih.
Yang sederhana aja, bagi seorang suami bangun pagi pun kita bisa dihadapkan pada pilihan antara nyipok istri, atau gosok gigi lebih dahulu. Yang jomblo mungkin pilihannya lebih sederhana. Karena kita tahu, nyipok pacar dalam kenangan atau mengecup layar henpon dengan napas paling bau sampah sekalipun, memang tidak pernah punya resiko bahaya seperti digaplok pake Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
Tapi apapun dan siapapun kita, pasti sadar bahwa adanya “pilihan dalam hidup” sejatinya memang suatu kodrat yang tak terelakkan. Bahkan bagi jomblo kawakan sekalipun jika ditanya kapan terakhir pacaran ia selalu punya pilihan untuk menahan tengsin dengan menyebut angka tahun, atau sekadar menjawab samar dengan jawaban, "saat Soeharto masih mayor."
***
Memilih, dalam konteks apapun akan berhadapan dengan alasan. Alasan apa yang mendasari kita pada satu pilihan.
Sebagai akibatnya, memilih alasan -lha.. ini pilihan lagi- akhirnya menjadi penting. Penting karena sejauh mana alasan itu bisa memenuhi kriteria layak, akhirnya akan menentukan dua hal: nilai kita sebagai pemilih, dan -lucunya- kelayakan alasan itu juga akan menentukan nilai dari pilihan itu sendiri.
Kalau kalimat nan njlimet di atas agak mbingungi, gampangnya kita illustrasikan dalam praktek di dunia fana. Imajinasikan dalam benak anda seorang wanita mau milih pacar. Banyak kriteria yang bisa ia gunakan untuk memilih kenapa si A layak dijadikan pacar, dan sebaliknya kenapa si B ndak cukup layak memenuhi kriteria itu.
Faktor ganteng misalnya, umumnya akan jadi kriteria yang akrab digunakan orang. Nyari pacar ya yang ganteng dikit mestinyalah. Alasan seperti ini, sesungguhnya sangat rasional. Lha, faktor ganteng itu jauh lebih mudah diukur ketimbang mengukur akhlak bukan?
Persoalannya, jika ia hanya menentukan ganteng sebagai satu-satunya kriteria yang penting, maka jangan heran kalau kemudian sang wanita sukses mendapat pacar yang gantengnya amit-amit, tapi di aspek lainnya pilihannya adalah seorang pria bodo-gak bisa kerja-tukang kepruk pasangan-doyan selingkuh-pemadat-penjudi-dan penggemar MU.
catatan: kriteria terakhir di atas belum tentu sesuatu yang negatif. Cuma gue demen aja nyelipin di situ.
Sebagai masyarakat yang bernaluri pakar-kritis-doyan komentar, kita bisa bayangkan kelanjutannya akan semudah menebak jalan cerita Sinetron kacangan. Kita kemudian juga akan memberikan penilaian pada sang wanita. Sang wanita pemilih pria yang demikian dengan mudah bisa kita masukkan dalam kuadran wanita-pemuja-kegantengan-tak-berpikir-panjang-yang-sekadar-mementingkan-kosmetik-dan-penggemar-MU belaka.