Dalam konteks dunia stand-up comedy Indonesia secara keseluruhan, sebetulnya Komika-komika yang membawakan materi “mature” bukanlah tidak ada. Pandji Pragiwaksono sendiri misalnya dalam tour Messake Bangsaku membawakan bit-bit yang bermain dengan isu-isu penting di masyarakat. Demikian pula seperti Sammy Notaslimboy dengan rutin Tanpa Batasnya malah lebih jauh lagi menghadirkan banyak isu-isu “berbahaya” yang bukan hanya dibawakan oleh penampil utama tetapi juga oleh komika yang menjadi penampil pembukanya seperti Rindra (ponakannyaoom). Reggy Hasibuan, Mosidik, atau bahkan Irvan Kartawirya yang saat ini menjadi salah satu peserta ajang lomba di Kompetisi Kompas (SUCI 6), adalah sedikit di antara nama-nama lain yang sesungguhnya juga telah menampilkan stand-up comedy dengan materi-materi “serius” yang cocok untuk pasar dalam usia yang sudah tidak lagi remaja.
Namun, memang menjadi sebuah kenyataannya pula, kehadiran karakter-karakter dengan materi seperti itu dari segi kuantitas tidaklah sebanyak Komika yang bermain di target audiens remaja. Dan sebagai akibatnya kehadiran mereka seperti tidak tampak, bagi kebanyakan pemirsa dewasa yang menetapkan standar lebih tinggi untuk suguhan stand-up comedy yang ingin mereka pirsa.
***
Lantas selanjutnya apa?
Saya kira kesadaran untuk membaca peta seperti di atas cukup penting apabila kita kembalikan pada pertanyaan awal yang ingin saya sampaikan pada dunia stand-up comedy Indonesia ; Quo Vadis? Mau ke mana?
Dalam kesadaran bahwa pasar stand-up comedy di Indonesia ternyata cukup unik karena terbagi menjadi dua segmen: remaja dan dewasa, rasanya keberadaan pasar itu justru harus dilihat sebagai sebuah potensi kekuatan untuk membangun industri stand-up comedy yang lebih baik ke depan.
Dari pembacaan petanya, kita bisa melihat cukup jelas. Ada kecenderungan dunia stand-up comedy Indonesia untuk terlalu fokus pada pasar remaja, dan belum cukup mengarahkan target pasar dewasa sebagai target audiensnya. Kesadaran seperti ini yang justru membawa kita sampai pada titik untuk bisa melihat adanya sebuah persimpangan yang terbentang, di mana satu jalan menuju ke hutan rimba stand-up yang masih perawan dan belum tergarap maksimal (pasar dewasa), dan satu jalan lainnya menuju ke zona peternakan yang selama ini telah menghidupi dunia stand-up comedy Indonesia.
Hal ini tentu saja akan menarik untuk dikaji. Bagaimana strategi yang bisa kita susun bersama-sama. Bagaimana menularkan kesadaran itu pada setiap penggiat dan komunitas di daerah-daerah. Apakah memungkinkan apabila komunitas regional mulai berpikir untuk membuat event-event open mic khusus yang dibungkus dengan gaya promosi dan pemilihan lokasi yang tepat disesuaikan untuk target audiens dewasa.
Bagaimana kesadaran itu harus ditumbuhkan juga pada diri setiap Komika di Indonesia, agar bisa memacu diri dan membuka wawasan lebih jauh. Terkait dengan jenuhnya persaingan komika di segmen remaja, terbukanya pasar yang lebih mature justru akan menjadi solusi yang baik bagi perkembangan karier Komika itu sendiri. Yang terpenting tentu saja kemudian mempersiapkan diri untuk memiliki kemampuan dan wawasan untuk menciptakan bit-bit joke yang memenuhi selera pasar yang lebih dewasa.
Bagaimana kemudian menggunakan pula televisi untuk membuka target market yang baru bagi para Komika Indonesia, akan menjadi bahasan yang tak kalah pentingnya.
Dan mungkin, kesadaran-kesadaran seperti ini bukan hanya penting untuk disosialisasikan, namun juga dibicarakan dalam media yang lebih besar dari blog sederhana. Dalam sebuah event di mana semua stakeholder dunia stand-up comedy Indonesia bisa berkumpul dan berembug dan menyusun strategi bersama-sama.